3

3.1K 391 2
                                    

Sophia berjalan beriringan bersama gadis lain. Mereka menuju kamar masing-masing untuk menghindari berbagai kemungkinan yang bisa membahayakan anak-anak itu.

"Hewan itu ... apa namanya?" seorang anak berusia kira-kira 7 tahun bertanya pada saudaranya.

"Kalajengking. Itu kalajengking. Berbahaya jika menyengat."

Anak itu mungkin belum terlalu mengerti kenapa semua orang terlihat panik. Kepanikan seorang gadis kecil yang belum mengerti banyak hal semata-mata karena melihat orang lain pun panik. Mata biru gadis itu membulat. Antara terpana atau ketidakpahaman harus bagaimana dia bereaksi.

Gadis kecil itu duduk di sebelah Sophia. Kebetulan saat kejadian tadi gadis itu duduk bersebelahan dengan Sophia. Melihat wajah temannya terlihat begitu cemas, tangan gadis itu memegang tangan Sophia. Berusaha menenangkan.

"Kalajengking itu ... ada tepat di depan Tuan Gubernur. Saya khawatir ...."

"Kalajengking itu menyengat tangan Tuan Gubernur," Marta memberikan kesimpulan.

Semua anak melihat ke arah Marta. Dia paling tua diantara anak-anak lainnya. Omongan gadis 12 tahun itu lebih didengar oleh adik-adiknya. Sifat keibuan si gadis bisa menghipnotis anak-anak yang sedang ribut di dalam kamar. Ketika diantara mereka saling berdebat atau bahkan mengekspresikan perasaan masing-masing maka Marta mengambil peran untuk meredakan.

"Bagaimana kau tahu, Marta?" Sophia bertanya.

"Aku membaca di buku, jika seekor kalajengking menyengat manusia ... kulitnya kesakitan. Dan, tadi aku lihat Tuan Gubernur mengalami itu."

"Aku juga mengira begitu, makanya aku ketakutan ketika melihat binatang itu ada di atas meja."

Kini Sophia menjadi pusat perhatian.

"Kau berteriak maka kami pun berteriak."

"Ya, bahkan aku tidak tahu ada apa. Hanya saja melihat Sophia berteriak makanya aku pun ikut berteriak."

Mereka yang awalnya terlihat tegang, kini malah tertawa. Gadis-gadis itu menertawakan kelakuan sendiri yang sulit dimengerti.

Suasana kamar menjadi penuh keriuhan. Sungguh perubahan suasana yang sulit diperkirakan. Sudah menjadi tabi'at anak-anak, dimana mereka tidak terlalu memikirkan hal-hal berat dalam hidupnya. Bagi orang dewasa, kejadian di ruang makan bisa saja dianggap sebagai petaka yang memalukan. Tapi, tidak begitu dengan anak-anak. Tadi mereka tampak ketakutan, kini anak-anak itu sudah kembali ceria.

"Ssssttt, jangan ribut! Masih ada tamu di ruang makan," Marta mengingatkan adik-adiknya.

"Bukankah mereka sudah pulang?"

"Sepertinya belum, masih terdengar orang-orang bicara."

"Mereka membicarakan apa, Marta?"

"Mungkin tentara pengawal Tuan Gubernur masih mencari kalajengking yang kabur."

Semua anak menganggukan kepala. Apakah itu sebagai tanda mengerti atau sekedar menghindari kemarahan Ibu Panti. Mereka tahu jika terjadi keributan di dalam kamar maka Ibu Panti akan menghukum para gadis penghuni Panti Asuhan.

"Sophia, ada apa denganmu? Apakah kau masih ketakutan?" Marta memperhatikan Sophia yang masih memegang erat Si Beri, boneka beruang berwarna cokelat.

"Aku ... aku ... hanya khawatir."

"Khawatir kenapa?"

"Aku khawatir binatang itu masih ada di sekitar kamar kita."

Sontak, semua anak naik ke atas ranjang. Belasan gadis berkulit putih itu terlihat ketakutan serta mengarahkan pandangan ke segala arah. Mereka tidak mengharapkan ada kalajengking yang semakin membuat mereka takut.

"Sophia, ini bukan saatnya untuk bercanda," Marta menatap tajam ke arah Sophia.

"Aku tidak sedang bercanda, Marta. Bisa saja binatang itu datang dari sela-sela jendela atau ...."

"Sudah, Sophia. Kau jangan membuat kami takut."

Dalam keadaan yang diperlukan, Marta sering bersikap tegas pada adik-adiknya. Sepertinya dia meniru para pengasuhnya dalam hal "menertibkan" adik-adiknya.

"Maaf, aku hanya mengutarakan apa yang ada dalam pikiranku."

Marta menarik nafas panjang. Tentu saja dengan wajah yang sama-sama takut.

***

Untuk beberapa saat, para gadis tidak lagi menghiraukan kejadian yang baru saja mereka alami. Kamar berukuran luas itu tidak dipenuhi dengan gema suara-suara keributan yang tidak diperlukan. Anak-anak kembali pada kebiasaan mereka ketika berada di dalam kamar, berbicara seperlunya.

Mereka paham jika pagi hari bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Anak-anak itu seperti sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas yang harus dilakukan di Panti Asuhan. Mulai dari membersihkan kamar mandi hingga memotong rumput terbiasa dilakukan anak-anak itu saat pagi hingga menjelang siang.

Karena hari ini adalah hari spesial, maka kegiatan demikian untuk sementara dihentikan. Mereka antusias menyambut Tuan Gubernur yang masih menyempatkan diri untuk mengunjungi mereka yang terlahir tanpa ayah dan ibu.

Tok tok tok, terdengar suara pintu diketuk. Ternyata Ibu Panti membuka pintu dan diikuti oleh Kepala Pengawal yang masuk sambil membuka topi.

"Ini Sophia, Tuan. Dia yang tadi pertama kali melihat hewan itu," Ibu Panti memperkenalkan Sophia pada Kepala Pengawal.

"Hei, Sophia. Bolehkah aku bertanya beberapa hal padamu?"

"Tentu, Tuan."

Kepala Pengawal mengarahkan pandangan pada wajah gadis yang mengerumuni Sophia, "Nak, apakah kau tahu ... bagaimana bisa seekor kalajengking ada tepat di hadapan Tuan Gubernur?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang