"Tuan, kenapa anda menuduh saya? Adakah bukti untuk menguatkan tuduhan itu?"
Tuan Adrian tidak segera menjawab pertanyaan Sophia. Dia malah bertanya-tanya dalam hatinya, anak ini terlihat aneh. Dia begitu tenang.
"Tuan, anda tidak menjawab pertanyaan saya?"
Tuan Adrian mendekatkan wajahnya pada wajah Sophia. "Nak, aku memang tidak punya bukti untuk menguatkan tuduhanku. Karena ...."
"Karena apa, Tuan?"
"Karena buktinya telah kau sembunyikan."
Tuan Adrian beranjak dari kursinya. Dia berjalan ke arah lorong yang diapit oleh deretan pintu kamar.
"Tuan, anda mau ke mana?"
Sophia pun berjalan mengikuti laki-laki itu berjalan. Langkah kecil gadis itu tidak bisa mengimbangi ayunan orang di depannya.
"Tuan, kenapa Tuan masuk ke kamar kami?"
Sophia bertanya setelah tahu laki-laki itu membuka pintu salah satu kamar. Kamar yang ditempati oleh Sophia dan belasan anak perempuan.
Kamar itu gelap. Hanya sebatang lilin yang menerangi kamar yang begitu luas. Deretan ranjang terlihat seperti deretan gundukan tanah di pemakaman.
"Nak, di mana boneka milikmu itu?"
"Saya simpan di lemari."
Tuan Adrian berjalan ke arah lemari kecil di sebelah ranjang kosong.
"Tuan, maaf. Anda bisa mengganggu anak-anak yang sedang tidur," ternyata wanita pengasuh itu mengikuti Tuan Adrian dan Sophia masuk ke dalam kamar.
"Tenang, Nyonya. Saya tidak berisik."
Tuan Adrian membuka lemari dengan perlahan. Tidak terlihat jelas apa yang ada di dalamnya. Tangan kanan laki-laki itu menggapai suatu benda yang tidak asing bagi orang di sekitarnya.
"Kenapa Tuan mengambil boneka saya, anda tidak berhak untuk melakukan itu!"
Sophia meninggikan suaranya. Buku di tangan kanannya diletakan di ranjang. Anak gadis itu marah.
"Tuan, anda sudah lancang!"
Tuan Adrian masih punya alasan kuat untuk melakukan apa yang telah dilakukannya. Dan, dia tidak mau kalah oleh seorang gadis kecil seperti Sophia.
"Aku lancang? Hei, gadis kecil ... apakah kau tidak melihat pakaian seragamku? Aku adalah Kepala Pengawal Istana Gubernur Jenderal. Berhak melakukan ini pada siapa pun."
"Tapi, itu barang milikku."
"Aku tahu."
Sophia bukan hanya marah. Air anak itu mulai menetes. Jika saja cahaya cukup untuk menerangi wajahnya maka akan tampak kulit putih gadis itu menjadi memerah.
"Letakan Beri di lemari!" Sophia berteriak sambil menunjuk ke arah lemari.
"Tidak!" Kepala Pengawal tidak mau melakukan perintah si gadis kecil.
Tangan kanan Tuan Adrian memegang sebuah boneka berwarna cokelat. Boneka berbentuk beruang atau koala, nyaris tidak ada bedanya.
"Simpan!"
Pertengkaran antara Sophia dan Kepala Pengawal telah berhasil membuat semua gadis di kamar itu terbangun. Mereka terbangun bukan hanya karena teriakan yang berisik. Juga, mereka terbangun karena otak anak-anak itu menangkap situasi yang asing telah terjadi di sana.
"Ada apa ini?" seorang anak bertanya sambil menggosok-gosokan tangan ke matanya.
"Tidak ada apa-apa, Nak. Tidurlah lagi. Aku hanya mengambil boneka ini." Tuan Adrian menggoyangkan benda di tangan kanannya sambil tersenyum pada semua yang memperhatikannya.
Laki-laki itu pun berjalan ke arah pintu. Tapi, dia kembali lagi. Dia tertarik pada sesuatu yang tergeletak di ranjang.
"Jangan, Tuan. Ini milik saya. Anda jangan merampas ini. Cukup boneka itu saja ...."
"Kenapa kau begitu kuat mempertahankan buku itu?"
Sophia tidak menjawab pertanyaan itu. Jawaban itu justru datang dari Marta, gadis tertua yang masih duduk di ranjang.
"Itu hadiah dari ayahnya, Tuan."
"Benarkah?"
Sophia menganggukan kepala.
"Jadi kau masih punya ayah. Baiklah, aku hanya memerlukan boneka ini."
Tuan Adrian pun berlalu dan meninggalkan kamar para gadis. Dia menoleh kepada wanita pengasuh yang masih berdiri di samping pintu.
"Terima kasih, Nyonya."
"Tuan, tunggu dulu."
"Ya?"
"Boneka itu ... kenapa harus dibawa. Apakah perlu?"
"Tentu, Nyonya."
"Saya hanya tidak ingin Sophia sedih. Anda paham kan? Dia masih kecil untuk ...."
"Terlibat dalam masalah ini?"
Wanita itu mengangguk.
"Dengar Nyonya. Aku hanya ingin tahu, apa boneka ini ... bukan barang yang membahayakan."
"Membahayakan? Tuan tidak sedang bercanda kan? Itu hanya boneka, Tuan."
Tuan Adrian melirik ke boneka yang dipegangnya. Dia menarik nafas panjang.
"Nyonya, apakah boneka ini juga dari ayahnya?"
"Setahu saya, iya."
Tuan Adrian membelalakan mata. Dia seperti mendapat pencerahan dari perkataan wanita pengasuh itu.
Tuan Adrian membawa boneka di tangannya ke bawah cahaya lampu yang tertempel di dinding. Bukan cahaya yang terang tapi cukup untuk mengetahui bagaimana bentuk benda itu.
Kedua mata boneka itu dibuat dari kancing. Hidungnya berwarna cokelat tua tanpa lubang. Kedua tangannya panjang melebihi pinggang. Sedangkan kakinya menjuntai tidak terkesan kaku.
Tuan Adrian membalikan benda di tangannya. Ada 3 kancing yang dipasang di punggung mainan anak-anak itu. Kenapa harus memakai kancing?
Laki-laki itu membuka ketiga kancing berwarna senada dengan kain cokelat gelap. Ketika dibuka, ternyata hanya berisi pintalan kapas halus yang dijejalkan. Dia gadis pintar. Isian tubuh boneka ini bisa diganti sesuai kebutuhan.
"Nyonya, kau mengatakan jika benda ini pemberian ayah gadis itu?"
"Ya, Tuan."
"Kau mengenalnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...