29

840 171 0
                                    

Panca dan Bajra memacu kudanya dengan kecepatan sedang. Maksud mereka mengajak hewan tunggangan untuk berlari lebih kencang. Lalu-lintas di kota besar tidak memungkinkan untuk melecut kuda lebih kencang lagi karena dianggap bisa membahayakan.

"Menurutmu, ke mana Tuan Adrian pergi?"

"Mungkin sekali ke Panti Asuhan, Raden. Dia sudah tidak bekerja lagi di Istana."

Bajra bisa memperkirakan ke mana Tuan Adrian pergi. Panca pun setuju dengan pendapat sahabatnya itu.

Kedua kuda cokelat kehitaman itu berlari menyusuri jalan. Tanpa aspal, jalanan Batavia lebih berdebu ketika siang hari. Namun debu itu seketika terbang ke udara atau ditangkap oleh dedaunan di pohon-pohon besar.

Ketika kuda melaju, ternyata ada sesuatu yang harus menghentikan langkahnya. Kuda-kuda itu meringkik, memberitahu alasan kenapa harus berhenti. Sekaligus bertanya-tanya kenapa harus berhenti mendadak.
Tenaga si kuda untuk mendorong ke depan terpaksa dipakai untuk mengangkat kedua kaki depan. Mengjingkrak.

"Ada apa ini, Raden?"

"Entahlah."

"Begitu banyak orang di sini."

Panca menengadahkan pandangan ke langit. Matahari hanya sedikit bergeser dari atas kepala. Kala itu waktunya beristirahat bagi orang-orang dan berhenti sejenak ketika bekerja.

Panca turun dari kuda, dia terpaksa harus menuntun kendaraannya untuk mengimbangi langkah kaki orang-orang yang berjalan beriringan. Begitupun Bajra, melakukan hal yang sama.

Dijalan yang berdebu itu, ramai sekali orang-orang berjalan beriringan. Semuanya tanpa alas kaki. Kecuali beberapa orang dengan pakaian dinas ketentaraan, mereka memakai sepatu hitam berbahan kulit lembu.

Wajah-wajah penuh peluh itu tampak antusias berjalan meskipun matahari sedang panas menyengat. Kaki-kaki tanpa alas kaki itu seakan tidak merasakan kerikil panas yang menyentuh kulit.

Mereka datang dari setiap penjuru kota. Kuli panggul hingga ibu-ibu rumah tangga menuju tempat tujuan yang sama.

Diantara para pejalan kaki, tampak beberapa prajurit berkuda. Mereka berjaga diantara kerumunan dimana semakin lama tambah berdesakan.

Sekarang Panca dan Bajra berjalan diantara deretan gedung pertokoan. Gedung yang menghubungkan pembeli dan penjualnya. Kala itu tidak satu pun toko yang buka. Semua pintu dan jendelanya tertutup. Pemilik dan pegawainya nampaknya ikut berjalan di dalam kerumunan warga.

Kereta-kereta kuda dan pedati pun diparkir di pinggir jalan. Mereka dibiarkan terparkir ketika para kusir pun ikut dalam kerumunan. Beberapa ekor tampak memakan rumput yang disediakan dalam keranjang bambu. Rumput segar yang didapatkan jauh dari sana karena di sekitar wilayah itu tidak ada padang rumput. 

Panca dan Bajra masih belum mengerti kenapa jalan raya dipenuhi begitu banyak orang yang berjalan beriringan. Dan, sepertinya mereka menuju tempat tujuan yang sama.

"Maaf, Bibi. Ada apa ini? Orang-orang ramai berjalan beriringan seperti ini?"

Seorang wanita yang berjalan sambil menggendong bakul menoleh ke arah Panca dan Bajra. Wanita itu diam sejenak, memperhatikan kedua anak remaja itu.

"Kalian tidak tahu?"

"Memangnya, ada apa, Bi?"

"Akan ada hukuman gantung di alun-alun kota."

Panca dan Bajra berhenti melangkah. Nyonya Margareth akan dieksekusi hari ini.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang