42

765 161 6
                                    

"Aku hanya menginginkan ini," salah seorang diantara mereka mengambil lembaran kertas yang dipegang Bajra.

"Jangan ... jangan ...."

Tidak ada yang bisa mencegah. Sebilah golok sudah menempel di leher Bajra. Anak remaja itu ketakutan. Dia hampir pipis di celana.  Untung saja, dia lebih mampu mengendalikan diri.

"Apa gunanya buat kalian benda itu?"

"Kau tidak perlu tahu, ini urusan kami," dari balik topeng kain pemimpin komplotan bicara dengan suara parau.

"Kita bisa bicarakan ini ...," Tuan Adrian mencoba bernegosiasi.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan."

Pemimpin komplotan itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk segera pergi. Satu per satu keluar melalui lubang jendela. Tuan Adrian hanya melihat apa yang dilakukan sekumpulan laki-laki berpakaian serba hitam itu. Dengan tangan di atas kepala, laki-laki itu tidak berani bertindak lebih jauh lagi. Keselamatan kedua anak ini harus diutamakan.

Kejadian itu begitu cepat. Tidak ada yang menyangka jika lembaran kertas dari Marta _sebagai petunjuk satu-satunya_ akan raib begitu saja. Kini harapan untuk mengetahui tindakan apalagi yang akan dilakukan Sophia nyaris hilang.

Tuan Adrian marah sekali dengan kejadian ini. Dia marah pada dirinya sendiri yang telah gagal menyelamatkan lembaran itu.

Braakk!

Laki-laki itu menggebrak meja. Dia melampiaskan kemarahannya di depan Panca dan Bajra. Sontak, si kucing yang tertidur lelap kini terbangun.

"Ah, kini tidak ada lagi lembaran kertas itu," Panca bicara sambil menghela nafas sebagai pertanda kekecewaannya.

"Saya tidak menyangka jika Tuan Valentjin akan terus membuntuti kita."

"Kau yakin itu orang-orang Tuan Valentjin?"

"Siapa lagi? Orang itu sudah menyiapkan segalanya."

"Bukankah ... tadi ...."

"Ya, dia pergi menumpang kapal. Hanya saja, nampaknya dia sudah menyiapkan orang untuk membuntuti kita."

Tuan Adrian belum mau menanggapi obrolan kedua remaja yang masih duduk di kursi. Laki-laki itu malah berjalan mondar-mandir seperti orang yang kebingungan.

"Bajingan! Valentjin sengaja pergi sebagai alibi jika dia sedang tidak ada di Batavia apabila rencananya berhasil!" Tuan Adrian mencoba menyimpulkan setiap kepingan kejadian yang diamatinya hari itu.

Panca dan Bajra saling lirik, kemudian mereka menganggukan kepala.

"Tuan masih yakin ... jika Sophia akan menjalankan rencana selanjutnya?"

Tuan Adrian melirik ke arah Panca, "itu yang selalu aku khawatirkan. Kejadian tempo hari, dengan kalajengking itu ... sepertinya hanya permulaan. Aku merasa tujuan utama Valentjin bukan hanya menakut-nakuti Gubernur Jenderal."

"Tapi lebih dari itu?"

"Ya, mungkin sekali."

Tuan Adrian duduk di kursi. Dia menyalakan sigaret untuk yang kesekian kalinya. Tampak sekali kekhawatiran di wajahnya. Cara dia memegang sebatang rokok sedikit bergetar. Kaki kiri laki-laki itu tidak bisa diam. Seakan ingin menggunakannya untuk menendang komplotan pengacau yang baru saja menyatroni rumahnya.

Mata Tuan Adrian tertuju ke arah jendela yang masih terbuka. Cahaya rembulan menerangi langit Batavia. Tidak tampak bintang-bintang kerlap-kerlip di sana karena cahayanya kalah oleh sinar bulan yang lebih terang.

Tuan Adrian berjalan ke arah jendela. Dia menghembuskan asap rokok ke luar jendela. Terhirup oleh Panca dan Bajra yang duduk tidak jauh karena angin membawa kembali asap itu masuk ke dalam ruangan.

"Kalian terlihat tenang ketika mereka datang," Tuan Adrian heran dengan sikap kedua anak itu yang masih bisa bersikap tenang bahkan hingga detik itu.

"Sejujurnya, ini bukan pertama kali buat kami."

"Ya, aku percaya itu. Nama kalian tertulis di daftar keamanan kami."

"Entah kenapa, kami sering terlibat masalah-masalah pelik seperti ini."

"Bahaya, bukan hanya pelik. Kalian ditakdirkan untuk selalu berhadapan dengan bahaya. Aku melihat itu dari kalian. Makanya aku mengajak kalian, bukan orang lain."

Bajra dan Panca kembali saling lirik. Mereka mulai mengerti kenapa Tuan Adrian memilih kedua anak itu terlibat dalam masalah yang seharusnya diselesaikan oleh aparat keamanan.

"Tanpa kalian, aku tidak yakin bisa bekerja."

"Ah, anda berlebihan, Tuan."

"Kalian tidak punya kepentingan. Kalau pun ada, apa kepentingan kalian terlibat dalam urusan ini. Sedangkan, jika aparat pemerintah kulibatkan, motif mereka bukan sekedar mengamankan seorang pemimpin negara. Entah apa, mungkin uang. Jika tidak ada uangnya, aku tidak yakin mereka akan bekerja dengan benar."

"Kami hanya mencoba membantu sebisanya, Tuan. Maaf bila kami ...."

"Kalian tidak perlu minta maaf. Ini sudah lebih dari cukup. Aku sudah membahayakan nyawa kalian."

Panca dan Bajra menunggu kata-kata selanjutnya dari Tuan Adrian.

"Besok, kalian boleh pulang. Aku berterima kasih ...."

"Kenapa kami harus pulang? Urusan kita belum selesai."

"Ah, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Petunjuknya sudah hilang, biar itu jadi urusan aparat ...."

"Masih ada, Tuan. Masih ada yang bisa kita lakukan," Bajra menyela.

"Apa lagi?"

"Saya ... ingat bagaimana kelanjutan ceritanya. Saya sudah selesai membaca kertas itu ...."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang