54

714 153 0
                                    

Sophia begitu antusias datang ke Pasar Rakyat. Ketika baru turun dari kereta kuda, anak gadis itu langsung berlari ke arah pintu gerbang.

"Hei, Nona. Tempat ini belum dibuka. Belum waktunya untuk masuk." Seorang polisi menghadang Sophia di depan pintu gerbang.

"Kapan akan dibuka, Tuan?"

"Sebentar lagi, mungkin setengah jam lagi. Kau tunggu saja di sini."

Sophia tampak kecewa. Untungnya, dia terhibur oleh rombongan pementas opera khas Cina, tidak jauh dari tempat Sophia berdiri. Sepertinya, mereka sedang berlatih. Beberapa orang masih terlihat berdandan dan belum mengenakan kostum.

"Paman, mengapa wajah Paman dicat putih?" Sophia menghampiri rombongan itu.

"Haiya, ini bukan cat. Ini hanya bedak."

"Oh, kenapa?"

"Agar wajah kita tidak diketahui orang. Pasalnya, aku ini malu kalau harus menari di depan banyak orang."

Laki-laki berambut panjang seperti ekor kuda itu sepertinya orang yang ramah pada anak kecil. Dia masih terlihat melempar senyum pada Sophia yang datang begitu saja dan banyak bertanya. Jawaban yang keluar dari mulutnya sekedarnya saja, demi menghibur gadis bergaun putih itu.

Sophia tertarik menyaksikan kostum yang dikenakan para pemain opera Cina. Pakaian mereka berwarna-warni. Tidak seperti pakaian miliknya yang berkisar antara berwarna putih, hitam atau abu-abu.

"Kau pernah menonton opera Cina, Nona?"

"Belum pernah, Paman."

"Kalau begitu, nanti kau boleh menonton kami."

Sophia menganggukan kepala dan merasa senang disambut oleh laki-laki yang belum dikenalnya. Sebuah keramahan yang terpancar dari seseorang yang memiliki sifat penghibur. Senyuman itu lebih jelas terlihat karena wajah si pemain opera dilukis berkarakter jenaka. 

Mata Sophia berbinar ketika melihat baju yang dikenakan salah seorang anggota rombongan. Di punggungnya terpampang sebuah gambar seekor naga sedang meliuk-liuk diantara awan-awan. Bagi Sophia, itu menjadi karya seni terindah yang pernah dilihatnya.

Ada sebagian pemain opera yang berlatih didekat "benteng" berbahan kayu dan bambu. Wajah mereka dilukis dengan karakter lebih menyeramkan dibanding laki-laki yang diajak bicara oleh Sophia. Mereka berlatih di bawah pengawasan petugas keamanan.

"Benteng" itu sepertinya sengaja dibuat untuk memisahkan area Pasar Rakyat dengan area umum berupa jalan raya. Sophia bisa melihat sendiri bagaimana antusias warga Batavia untuk datang dan masuk ke dalam area Pasar Rakyat di balik "benteng".

Bangunan yang disebut "benteng" itu hanya dinding setinggi tidak lebih dari 3 meter. Dibuat berhari-hari sebelumnya dari bahan kayu dan bambu. Cat berwarna gelap digunakan agar terkesan menyerupai benteng asli yang dibuat dari batu dan semen.

"Hei, Sophia. Sedang apa di sini? Mari kita masuk ke sana," seorang wanita menghampiri Sophia.

"Saya sedang menonton orang-orang bertopeng itu, Ibu." Sophia menunjuk pada mereka yang sedang merias wajah dengan bedak putih.

"Oh, mereka akan tampil setelah pembukaan Pasar Rakyat. Kau bisa menontonnya nanti. Sekarang, kita masuk ke dalam."

Sophia mengangguk pelan. Dengan melempar senyuman yang tersungging, Sophia meninggalkan orang-orang Cina itu. Bersama anak dari Panti Asuhan, gadis itu berjalan menuju pintu gerbang.

"Nyonya, bisa anda tunjukan surat izin," seorang petugas keamanan meminta surat khusus untuk masuk ke area Pasar Rakyat.

"Ini Tuan. Kami dari Panti Asuhan,"

"Oh, kami mengerti. Silakan masuk." Petugas itu membaca sekilas surat yang dipegang oleh si pengasuh.

Rombongan anak-anak laki-laki dan perempuan dengan pakaian rapi berjalan melewati pintu gerbang. Mereka didampingi petugas yang menunjukan tempat mereka untuk menggelar barang dagangan. Barang-barang itu akan dipamerkan pada pengunjung. Jika ada yang berminat maka pengunjung boleh membelinya.

Semua anak sumringah ketika menyaksikan arena Pasar Rakyat. Banyak sekali permainan dan jajanan sebagai hiburan.

"Ibu, kami ingin ke sana," seorang anak menunjuk komidi putar  yang lengkap dengan kuda-kudaan.

"Nanti, setelah arenanya diresmikan."

"Jadi, sekarang belum boleh?"

"Ya, belum. Bersabarlah. Anak yang sabar disayang Tuhan."

Semua anak bisa mematuhi arahan pengasuhnya. Mereka tidak sabar untuk segera menikmati semua permainan yang disediakan oleh panitia di sana. Momen-momen seperti ini langka didapatkan oleh anak-anak tanpa ibu dan ayah itu.

Sembari menunggu acara dibuka, anak-anak membereskan tenan yang dikhususkan bagi mereka. Panitia memberikan akses khusus bagi anak Panti Asuhan karena mereka sekumpulan anak yang diistimewakan oleh Pemerintah Kota.

"Masih pagi, tapi panas ya," seorang anak laki-laki mulai mengeluhkan cuaca Batavia kala itu.

"Karena cuaca sedang panas, kalian harus banyak minum. Jangan sampai lupa karena keasyikan bermain."

Semuanya mendengar apa yang disampaikan pengasuh mereka. Kemudian setiap anak memperoleh tugas masing-masing.

Ada yang merangkai bunga-bunga yang telah  dipetik dari taman sekitar gedung Panti Asuhan. Ada yang menjejerkan boneka sebagai hasil karya tangan mereka sendiri. Dan juga, beberapa pernak-pernik yang sudah terkumpul sejak lama. Semuanya akan dipamerkan setelah Pesta Rakyat resmi dimulai.

"Hei, dengar ada pengumuman," seorang anak meminta perhatian.

"Pengumuman apa?"

"Acaranya akan diresmikan!"

Semua anak berteriak kegirangan.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang