35

872 165 1
                                    

Panca berjalan mengendap-endap. Dia tidak ingin ada orang lain yang tahu keberadaannya. Diantara daun-daun tebu yang baru menghijau anak remaja itu mencoba mengorek informasi tentang keberadaan si pemilik kebun tebu, Tuan Valentjin alias Valentino.

Setelah sebelumnya berembuk dengan Tuan Adrian, maka Panca dan Bajra sepakat untuk menggerebek si tuan tanah itu. Mereka bertiga sudah menyimpulkan jika Sophia disuruh oleh ayahnya untuk melakukan upaya pembunuhan pada Gubernur Jenderal. Hanya saja, mereka tidak bisa mengulik keterangan lebih lanjut dari Sophia karena anak gadis itu bungkam seribu bahasa.

Dan, jalan terakhir adalah mengulik keterangan dari ayahnya, Tuan Valentjin.

Hal yang tidak mudah menanyai seorang tuan tanah. Rumahnya dijaga banyak centeng yang siap membela jika tuannya diusik.

Kali ini, pandangan Panca terarah pada seorang mandor yang sedang mengawasi puluhan pekerja untuk merapikan tembakau. Ribuan lembar tembakau itu sepertinya didatangkan dari luar Batavia. Mungkin diangkut dengan kereta api menuju stasiun. Kemudian pedati akan membawanya ke gudang.

Cukup lama Panca memperhatikan keadaan di halaman gudang itu. Tidak ada orang yang dimaksud sebagai Tuan Valentjin alias Valentino. Mungkinkah dia sedang berada di dalam rumahnya?

Aku harus mendekat ke rumahnya.

Dengan menggandakan keberanian, Panca berjalan mengendap memutar ke arah berlawanan dengan jalan raya. Dia berjalan menjauh menuju halaman belakang.

"Hei, siapa itu?"

Terdengar seseorang berteriak. Panca pun kaget. Tapi, dia terus berusaha menenangkan diri. Gawat, ada yang melihatku.

Dia berjalan semakin cepat, setengah berlari diantara batang-batang tebu yang masih muda. Sayang, batang tebu itu belum cukup tinggi untuk bisa mengelabui orang yang melihat tubuhnya.

"Hei, berhenti!" 

Ternyata orang yang mengejar Panca bukan hanya seorang. Ada kawan-kawan si centeng yang turut serta mengejar Panca. Mereka berlari dengan penuh semangat. Sungguh sebuah kegiatan yang mereka nantikan, mengejar penyusup.

Diantara daun-daun tebu yang hijau, kontras pakaian mereka yang berwarna gelap. Jika dilihat dari langit, mereka seperti sekawanan serigala yang mengejar seekor kelinci di tengah padang rumput.

"Dia ke arah istal kuda!"

"Kejar jangan sampai lolos!"

Teriakan-teriakan itu sudah bisa menjadi kode bagi para centeng yang sedang berjaga untuk bergerak. Sejenak mereka bisa mengusir kejenuhan dengan berlari-lari mengejar orang tak dikenal dan tak diketahui maksudnya menyusup ke perkebunan milik tuan mereka.

Panca memang bukan pelari yang hebat. Dengan rintangan yang menghalangi, bisa saja dia tertangkap karena gerakannya yang mudah terbaca para pengejar itu.

Tapi, Panca sudah memikirkan segalanya.

Ketika orang-orang itu sedang sibuk mencari cara untuk menangkap seorang remaja laki-laki, justru remaja itu malah semakin menjauh.

Semakin menjauh karena dia dijemput oleh seekor kuda. Hewan itu berlari mendekat dengan melintasi jalan setapak diantara lebatnya kebun tebu.

"Ayo, Raden!"

"Aha!"

Ketika Bajra menjemput Panca maka para centeng malah tercengang. Mungkin mereka tidak menyangka jika anak remaja itu akan dijemput temannya dengan seekor kuda. Kuda yang berlari sangat kencang. Tidak ada satu orang pun yang sanggup mengejar.

Kuda berlari menjauh dari perkebunan Tuan Valentjin. Hewan itu menuju hutan yang tidak jauh dari perkebunan.

"Bagaimana, Raden ... Tuan Adrian sudah masuk ke rumah itu?"

Panca menoleh ke belakang. Dari kejauhan, tampak centeng-centeng itu masih berdiri terpaku. Meratapi kegagalan.

"Sepertinya Tuan Adrian sudah masuk ke rumah itu. Centeng-centeng itu masih terdiam di sana."

"Bagus, mereka belum sadar jika kita hanya menjadi umpan."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang