18

1K 186 0
                                    

Panca dan Bajra menyaksikan kerumunan anak-anak itu dari jauh. Dari seberang jalan, mereka berdua bisa menyaksikan bagaimana serombongan anak kecil berusaha masuk dalam bangunan penjara yang dikelilingi benteng tinggi.

"Raden, anak-anak itu berusaha menemui Nyonya Margareth," Bajra menegaskan apa yang dilihatnya.

"Sepertinya begitu."

"Bukankah kita seharusnya menemui mereka, Raden?"

"Bukan waktu yang tepat."

"Tapi, menurutku ini waktu yang tepat. Memberikan penjelasan pada mereka atas apa yang telah kita simpulkan."

"Jika kita mendekati mereka, maka kita akan dituduh sebagai pelakunya."

"Saya berpikir sebaliknya, jika kita menjauh ... kemungkinan menjadi tertuduh itu akan semakin besar."

Panca menimbang-nimbang perkataan sahabatnya. Anak remaja itu masih memperhatikan bagaimana kejadian di depan pintu gerbang penjara menjadi terlihat rusuh. Tidak jelas apa yang membuat anak-anak itu menjadi rusuh.

"Mungkin mereka meminta Ibu Margareth dibebaskan," Bajra seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Panca.

"Sepertinya begitu."

"Menurutmu, apakah kita pun harus meminta Nyonya Margareth untuk dibebaskan?"

"Menurutku, kita tidak usah meminta Nyonya Margareth untuk dibebaskan. Kita minta Kepala Pengawal itu untuk memikirkan kembali kasus ini. Bisa jadi ada tersangka lain dalam kasus ini."

Panca tahu apa yang disampaikan Bajra bisa masuk akal. Tapi, dia sendiri merasa takut jika orang-orang yang ada di sana malah semakin menguatkan tuduhan pada mereka berdua. Hadir dalam situasi yang tidak tepat malah bisa merugikan.

Ketika menyaksikan keributan di depan penjara, Panca pun terpikir bisa saja dia mendekam di sana. Anak remaja itu membayangkan jika suatu hari nanti dia mendekam di tempat berkumpulnya para penjahat. Perampok, perompak, pembunuh hingga pemerkosa berkumpul di balik benteng itu.

Tidur di lantai yang dingin. Gelapnya ruangan sempit dan pengap sudah terbayang dalam pikiran Panca. Bukan hal baik untuk dijadikan kenyataan.

"Bagaimana, Raden?"

"Kita tunggu anak-anak itu pergi."

"Tampaknya mereka tak akan pergi sebelum bertemu Nyonya Margareth."

Panca masih menatap lurus ke arah kerumunan anak-anak itu. Mereka tampak berdebat dengan para petugas penjara.

***

Membutuhkan waktu lumayan lama untuk menunggu para petugas jaga itu luluh hatinya. Ketegasan kata-kata dan wajah mereka tampaknya kalah oleh tangisan yang sulit berhenti dari anak-anak yang merindukan ibunya.

Panca tahu jika anak-anak itu bukan anak kandung Nyonya Margareth. Tapi, mereka adalah penghuni panti yang sudah diurus sejak kecil. Mungkin beberapa diantaranya sudah diurus sejak masih bayi. Sehingga, Ibu Panti adalah ibu mereka. Satu-satunya di dunia.

Dari seberang jalan, Panca bisa melihat pintu gerbang dibuka. Ada seseorang yang keluar dari balik benteng.

"Itu Nyonya Margareth, Raden."

Panca menganggukan kepala.

"Oh, sungguh menyedihkan," Bajra memalingkan wajah. Sulit menerima apa yang telah dilihatnya.

Wanita itu masih memakai gaun yang sama tatkala dia diseret dari Panti Asuhan. Bedanya, sekarang rambutnya tampak kusut. Tidak lagi digelung rapi layaknya wanita Eropa. Dan, kaki serta tangannya terbelenggu oleh rantai besi.

Dia lebih mirip nenek sihir.

Semua anak langsung memeluknya. Tanpa kata-kata. Tangisan sudah cukup untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

"Raden, bukankah ini waktu yang tepat untuk menyatakan maksud kita?"

Panca menganggukan kepala.

Anak remaja itu pun turun dari bangku pedati. Diikuti oleh sahabatnya, dia berjalan perlahan menyeberangi jalan.

Namun, belum sampai di depan gerbang Panca sudah dihampiri oleh petugas jaga. Seorang laki-laki dengan seragam serta memegang senapan berhenti di depan Panca. Panca pun menghentikan langkahnya.

"Sudah kukatakan, sebaiknya kalian pergi! Atau ...."

Petugas itu belum menyelesaikan kalimatnya. Ada seseorang yang meminta Panca dan Bajra mendekat.

"Biarkan mereka kemari!"

Kepala Pengawal menginginkan Panca dan Bajra mendekat.

Semua melihat kedatangan Panca dan Bajra mendekat. Begitu juga dengan anak-anak itu. Mereka menoleh kemudian menatap tajam Panca dan Bajra yang berdiri di pinggir jalan.

Dengan ragu, Panca berjalan mendekati pintu gerbang penjara. Diikuti oleh Bajra yang belum sepenuhnya bisa menerima bentakan si petugas jaga.

"Maaf, Tuan ... dan ... Nyonya," Panca membuka percakapan.

"Apa maksud kedatanganmu?" Kepala Sipir langsung bertanya pada pokok persoalan.

"Kami hanya ingin mengatakan jika ... Nyonya Margareth ...."

Dengan terbata, Panca bermaksud menyampaikan kedatangannya. Sayang, kalimatnya belum selesai. Seorang anak berjalan menghampiri Panca.

"Pergi kalian! Pergi!"

Seorang anak perempuan menyuruh Panca dan Bajra pergi. Anak itu dikenal Panca dengan nama Sophia. Mereka pernah bertemu 2 kali. Sehingga, Panca bisa mengerti kemarahan Sophia.

"Sophia, aku datang ke sini untuk ...."

"Pergi! Kalian yang telah menyebabkan Ibu Panti masuk penjara!"

"Justru kami datang ke sini untuk ...."

"Pergi!"

Sophia geram pada Panca dan Bajra. Bagi gadis itu, kesaksian mereka berdua telah mempertegas jika Nyonya Margareth memang bersalah.

"Pergi dari sini!" Sophia memukulkan boneka yang sedari tadi dipegangnya.

Boneka itu mengenai tangan Bajra. Bajra hanya bisa menahan rasa sakit tanpa mampu berkata apa pun. Tapi, pikirannya merasakan keheranan.

Aww, kenapa boneka ini keras sekali? Padahal dibuat dari kain beludru.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang