46

754 159 0
                                    

Beberapa hari kemudian ...

Dunia cepat berubah. Hari pun begitu. Namun, Tuan Adrian masih sulit untuk terlepas dari masalah yang mengganggu pikirannya.

Malam itu, dia sengaja menemui Kepala Polisi untuk membicarakan masalah itu. Masalah yang dianggapnya belum selesai.

"Tuan, saya sudah katakan jika sulit untuk membuktikan jika anak itu bersalah," Kepala Polisi bersikukuh dengan pendapatnya.

"Toples kaca itu, sidik jari ... apakah itu tidak bisa menjadi bukti jika ...."

"Awalnya kami pun mengira begitu, tapi itu belum cukup kuat untuk menyeret anak itu ke dalam penjara. Di tempat kejadian perkara, banyak sekali sidik jari. Di toples kaca itu banyak sekali sidik jari."

"Gadis itu sengaja memelihara ular ...."

"Untuk membunuh? Oh, anak-anak lain pernah melihat gadis itu menangkap seekor ular di pekarangan Panti Asuhan. Hewan itu hanya untuk dipelihara."

"Tapi, dia mengatakan jika ...."

"Ya, kami mencatat kesaksian kalian. Hanya saja, kami ragu. Terus terang kami ragu."

"Kau tidak mempercayai kesaksianku."

"Tuan, aku ingin mengatakan padamu ... jika ... sebenarnya kesaksianmu memiliki motif lain."

"Maksudmu?"

"Kau menjadikan gadis itu sebagai terduga, semata karena kau sakit hati ...."

"Sakit hati apa?"

"Kau dipecat dari Kepala Pengawal karena tidak sanggup melaksanakan tugas menjaga Tuan Gubernur Jenderal."

"Ha, pikiranmu sungguh picik."

"Sudahlah, Tuan Adrian. Nikmati saja masa pensiunmu. Biar ini menjadi urusan kami," Kepala Polisi menegaskan sikapnya sambil mengisap kembali asap dari sigaret.

Tuan Adrian menggelengkan kepala. Dia sulit menerima sikap Kepala Polisi. Matanya teralih pada sekelompok pemusik yang melantunkan lagu sendu. Dengan biola di tangan, pemusik itu seakan tahu apa yang ingin didengar oleh pengunjung.

Klab malam memang menjadi tempat yang sering dikunjungi Tuan Adrian akhir-akhir ini. Karena tahu ada Kepala Polisi sedang berkunjung, keduanya sengaja membicarakan hal serius meski bukan di saat jam kerja.

"Apakah kau tidak merasa aneh jika seorang gadis memelihara ular berbisa?" Tuan Adrian menelisik isi pikiran orang di hadapannya.

"Tidak. Bukan hal aneh. Keponakanku memelihara tarantula. Bahkan pernah memelihara biawak, sebelum ibunya menyuruh melepaskannya karena ukurannya menjadi sangat besar."

"Jika kau mengamati anak itu secara khusus ...."

"Tidak, tidak ada yang khusus apalagi aneh dengan ... siapa nama anak itu?"

"Sophia."

"Sophia. Dia gadis manis. Ketika penyelidikan, anak itu tampak ceria."

"Oh, Tuhan. Pintar sekali anak itu bersandiwara."

"Setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Terlebih, rasa ingin tahu mereka begitu tinggi. Mungkin dia bisa menjadi seorang naturalis. Meneliti makhluk hidup."

Tuan Adrian meminum segelas bir dengan sekali teguk, langsung habis. Dia merasa kesal dengan situasi yang dihadapinya.

"Energimu masih besar, Tuan. Kau bisa menggunakannya untuk hal-hal lain. Misalnya, berburu."

"Sekarang pun aku sedang berburu."

"Hahahaha, kau tidak sedang berburu. Kau mengganggu tugas kami."

Tuan Adrian terdiam. Dia mencoba menikmati suasana di klab malam. Melihat wanita-wanita berdandan rapi, wajahnya mereka terlihat begitu menawan. Para pria dengan setelan terbaiknya, sengaja berdandan untuk menegaskan jika mereka adalah pengunjung dari kalangan "atas".

"Tuan, sudikah anda berdansa dengan saya?" Seorang perempuan bertubuh ramping mengajak Tuan Adrian untuk berdansa.

"Maaf, Nona. Lain kali saja."

Kepala Polisi tersenyum melihat penolakan itu, "maaf Nona, pria ini sedang tidak enak badan. Dia sedang enggan berdansa, maunya dipeluk. Hahaha."

Wanita itu pun berlalu. Senyuman yang manis sedikit menjadi penghibur bagi laki-laki penyendiri seperti Tuan Adrian.

"Tuan, sebaiknya sekarang kau pulang. Lalu, tidurlah yang nyenyak. Biarlah Sophia menjadi urusan kami."

"Bagaimana bisa aku tidur nyenyak. Jika gadis itu masih bebas berkeliaran."

"Hei, sudah kubilang, dia gadis yang manis. Bukan gadis berbahaya ...."

"Justru dia berbahaya."

"Apa alasanmu mengatakan itu?"

"Heh, kalaupun aku mengatakannya, kau belum tentu percaya."

"Coba saja katakan. Mungkin aku bisa percaya."

"Gadis itu mendapat petunjuk dari sebuah buku."

"Oh, terinspirasi?"

"Bukan, eee ...bagaimana ya aku menjelaskannya. Begini, ada seseorang yang mengirimnya sebuah buku. Dalam buku itu jelas tertulis apa yang harus dilakukan gadis itu."

"Siapa orang itu?"

"Kalau aku menyebutkan namanya, kau pun tak akan percaya. Bisa saja kau menuduhku mengada-ada."

"Katakan saja, aku tak akan membawa ini ke ranah yang lebih serius. Anggap saja, ini hanya obrolan sambil lalu. Kau mencurahkan isi pikiranmu padaku."

"Gadis itu diberi petunjuk oleh ayahnya."

"Valentjin? Hahaha, bukankah dia sudah menghilang. Tapi, terserah padamu, itu hanya dugaan saja. Katakan saja."

"Aku yakin jika gadis itu benar-benar bersalah ketika tahu isi buku itu."

"Apa isinya?"

"Isinya persis seperti kejadian-kejadian yang memiliki hubungan dengannya. Kalajengking yang menyengat Gubernur Jenderal, Margareth dihukum gantung, pengasuh Panti Asuhan yang tewas digigit ular. Semuanya ada di buku itu."

"Menarik. Seperti sebuah fantasi ...."

"Iya, kan. Kau tidak akan mempercayaiku."

"Baiklah, anggap saja itu benar. Lalu, apalagi yang menjadi kekhawatiranmu?"

Tuan Adrian mengusap wajahnya.

"Adakah langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan gadis itu?"

"Menurut buku itu, ada."

"Siapa yang menjadi sasaran berikutnya ...?"



Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang