60

740 152 0
                                    

Panca heran ketika mendapati Tuan Adrian duduk di bangku dengan tubuh lesu. Laki-laki itu masih memegang sigaret di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya memegang secangkir kopi.

"Tuan, Tuan kenapa. Wajah ...?"

"Sudahlah. Tidak usah dibahas. Mana temanmu?"

"Dia sedang ke kamar kecil, Tuan."

Tuan Adrian menghela nafas. "Kita ikuti dia. Sepertinya aku harus mencuci muka agar tubuh dan pikiranku kembali segar."

Panca masih penasaran atas apa yang terjadi pada Tuan Adrian. Mendapati kening laki-laki itu membiru sungguh hal yang mengherankan bagi Panca. Apakah Tuan Adrian berkelahi?

Tidak mau menyusahkan orang di hadapannya untuk banyak bercerita, Panca menyetujui ajakan Tuan Adrian untuk pergi ke kamar kecil. Mereka berdua berjalan diantara orang-orang yang semakin berhimpitan. Pengunjung Pasar Rakyat semakin banyak. Bahkan untuk berjalan beberapa meter saja membutuhkan waktu yang lama.

Di tempat ramai seperti Pasar Rakyat yang dimaksud kamar kecil itu bukanlah bangunan permanen yang nyaman untuk sekedar buang air kecil. Selain harus mengantri, bau kamar kecil itu begitu menyengat. Namun, mau bagaimana lagi karena tidak ada tempat yang lebih nyaman kecuali di bawah pohon rindang. Itu pun kalau tidak diusir polisi.

Tuan Adrian lebih dahulu masuk. Panca pun menunggu di luar. Bukan menunggu giliran tetapi menunggu Bajra yang belum juga terlihat batang hidungnya. Ke mana anak itu, katanya datang ke sini. Ternyata tidak ada.

Panca bersender di tiang tenda yang terbuat dari bambu. Tenda yang sengaja dibuat untuk sekedar berteduh.

Siapa dia? Mungkinkah itu ...

Batin Panca bertanya pada dirinya sendiri ketika dia melihat seseorang. Orang yang dimaksud tidak jauh. Dia berada di dekat kamar kecil khusus wanita. Mengantri menunggu giliran.

Panca terus memperhatikan orang yang dimaksud. Dari kejauhan terlihat topi serta gaun putih yang dikenali Panca.

Setengah sadar, Panca sudah berjalan beberapa langkah menjauh dari tempatnya berdiri. Dia tidak ingin kehilangan lagi sosok yang sedang dicarinya itu. Mata anak remaja itu terus mengarah pada seorang gadis kecil dengan topi berpita serta gaun putih polos tanpa motif.

"Hei, kau mau apa?"

Perhatian Panca dibuyarkan oleh seseorang yang memegang pundaknya. Panca pun menoleh pada orang itu.

"Tidak apa-apa, Tuan Polisi."

"Gerak-gerikmu mencurigakan. Kau mau mencopet?"

"Tidak, Tuan. Saya hanya ...."

"Tak usah mengelak. Matamu terus mengarah ke arah antrian kamar kecil untuk wanita. Kau mengincar salah satu diantara mereka?"

Panca sulit mengelak. Polisi memiliki alasan untuk bersikap curiga. Untuk itu tangan Panca dipegang dari belakang.

"Saya berani bersumpah ...."

"Ho, kau tidak usah bersumpah karena aku tidak percaya pada sumpahmu."

Panca tidak sanggup melawan. Bukan hanya karena kalah dalam hal tenaga. Anak remaja itu pun merasa malu tidak kepalang ketika menyaksikan orang-orang memperhatikan dia.

Mata orang-orang itu seakan setuju dengan tindakan si polisi. Kalau sanggup dia untuk menyembunyikan wajah, maka dia pun akan bersembunyi.

"Hei hei hei, ada apa ini? Kenapa denganmu Raden?"

"Tuan Adrian, saya dituduh mencopet."

Si polisi heran ketika Tuan Adrian memanggil Panca dengan sebutan "raden". Siapa pun yang mendengar itu memang akan heran karena penampilan Panca tidaklah seperti seorang priyayi. Pakaian dia sama saja seperti orang pribumi dari kalangan rakyat jelata. Dengan penutup kepala motif batik, baju serta celana pangsi warna gelap serta tidak beralas kaki hanya biasa ditemui pada pribumi tak berpunya. Bukan seseorang dari golongan priyayi yang biasa disebut "raden".

"Raden, lagipula kenapa kau ada di sini? Bukankah tadi kau menunggu di sana?" Tuan Adrian menunjuk ke arah antrian laki-laki yang menunggu di depan kamar kecil.

"Tadi, saya melihat ... Sophia."

Tuan Adrian langsung mengarahkan pandangan ke antrian para perempuan bergaun. Mana? Tidak ada anak itu?

"Benar, Tuan. Tadi saya melihatnya. Saya tidak bohong."

Panca meringis kesakitan ketika tangannya dipiting ke belakang punggung.

"Lepaskan, dia. Aku sebagai jaminan. Aku Adrian, mantan Kepala Pengawal Istana."

Mata Tuan Adrian meyakinkan si polisi. Nampaknya pria berseragam itu mengingat-ingat wajah orang di hadapannya. Sepertinya, aku mengenalnya.

Dengan menghiraukan perasaan malu, Panca berjalan menjauh dari si polisi dan kerumunan orang yang mengantri. Mengikuti Tuan Adrian, anak laki-laki itu menggerutu karena merasa kesal dengan apa yang menimpa dirinya.

"Bajra, ke mana saja kau?"

Ternyata mereka berdua berpapasan dengan Bajra. Bajra memasang wajah serius.

"Tadi saya melihat Sophia mengarah ke sini. Kalian melihatnya?"

Panca menganggukan kepala.

"Sekarang, dia kembali menghilang."

Ketiganya menghela nafas. Semangat mereka menurun.

Membutuhkan waktu beberapa saat untuk kembali menghadirkan semangat. Dan, semangat itu kembali hadir ketika Bajra mendongak ke atas.

"Kenapa kau tersenyum, Bajra?"

Bajra melihat sesuatu yang menarik.

"Oh, aku paham," Panca tersenyum.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang