51

744 156 0
                                    

Panca mengangkat kedua tangannya. Begitupula dengan Bajra.

"Hei, Tuan. Angkat tanganmu!"

Tuan Adrian enggan untuk mengangkat tangannya. Dia kesal sekaligus berusaha menantang. Laki-laki yang menodongkan senapan sepertinya tahu jika orang yang ditodong berniat melawan.

"Angkat tanganmu ... atau kepalamu akan meledak ...!"

Moncong senapan direkatkan dengan pelipis Tuan Adrian. Logam yang bersentuhan dengan kulit terasa dingin sekaligus mengisyaratkan ancaman serius.

"Hei, sebenarnya aku tidak tahu siapa kalian. Apakah di balik topeng itu kalian menyimpan dendam pada kami?"

"Tidak usah banyak bicara," suara parau terdengar dari balik kain yang menutup wajah tamu tak diundang itu.

"Apa mau kalian? Uang?"

"Kau jangan menghinaku. Aku tidak membutuhkan uangmu."

Tuan Adrian sulit mengenali suara siapakah itu. Ketika wajah sulit dikenali, maka mengenali sosok serba hitam itu hanya dari wajahnya. Tidak ada gelang atau cincin yang mudah dijadikan ciri bagi orang di balik topeng. Hal yang diingat oleh Tuan Adrian, Panca dan juga Bajra bahwa orang-orang itu pun pernah mengganggu mereka.

Beberapa saat kemudian datanglah seseorang dengan pakaian yang sama, serba hitam. Senapan di tangannya sudah siap untuk ditembakkan. Sebilah golok terlihat menjuntai di pinggang. Golok panjang untuk ukuran seorang manusia bertubuh pendek. Atau, karena dia pendek makanya golok itu terkesan panjang.

"Berdiri!"

Sontak, orang yang ditodong tidak bisa menolak perintah mereka yang membentak sambil menodongkan senapan. Mematuhi perintah lebih baik daripada mati. Meskipun merasa terhina.

Panca berjalan paling depan. Diikuti oleh Bajra kemudian Tuan Adrian. Mereka keluar dari ruangan penyimpanan plat cetakan. Dengan enggan, ketiganya terpaksa mengikuti perintah orang-orang bertopeng itu.

Setelah keluar dari ruangan itu, Panca  terhenyak ketika melihat begitu banyak orang-orang dengan pakaian serba hitam. Mereka menutup wajahnya dengan sehelai kain. Dengan penutup kepala yang sulit dikenali, dari golongan manakah mereka.

"Tuan Adrian, maafkan aku. Mereka datang sendiri," si Mandor Percetakan merasa bersalah karena tidak bisa menjamin keamanan pada tamunya.

"Tidak apa-apa, Tuan. Ini bukan salahmu."

Pembicaraan antara Tuan Adrian dengan si Mandor bukanlah percakapan yang dikehendaki para penyergap itu. Pemimpin komplotan malah membentak laki-laki berpakaian serba putih itu.

"Diam! Jangan ada yang bicara!"

Situasi menjadi lebih tegang, bahkan sangat tegang bagi para pegawai percetakan. Mereka tidak biasa berhadapan dengan bahaya. Dalam keseharian mereka, hal berbahaya adalah salah mencetak lembaran kertas hingga bisa membuang begitu banyak biaya.

Panda dan Bajra saling lirik. Mereka bisa menerka siapa sebenarnya yang datang. Hanya saja mereka berdua tidak berani bicara jika tidak diperintah.

"Apa kepentingan kalian datang ke sini?"

"Itu bukan urusan kalian," Tuan Adrian bicara sekenanya.

Tentu saja orang yang bertanya tersinggung. Dia mendekatkan wajahnya hingga berjarak tidak lebih dari sejengkal dengan wajah Tuan Adrian.

"Bisakah kau bekerjasama denganku? Agar tidak ada jiwa yang melayang."

"Hei, aku tahu siapa kalian. Sebenarnya aku bisa saja membawa kalian ke penjara ...."

"Sssttt, kau terlalu banyak bicara, Tuan."

Tuan Adrian semakin kesal dengan cara orang itu bicara. Untungnya, laki-laki berjas hitam dengan topi bundarnya itu bisa menahan emosi. Dia terbiasa menghadapi keadaan serba terdesak demikian. Hanya saja, mantan tentara pengawal itu tidak mau gegabah. Dia masih mempertimbangkan keselamatan orang-orang di sekitarnya.

Semua orang dikumpulkan di dekat pintu keluar. Deru mesin percetakan itu dibiarkan hidup. Sehingga, di luar sana tidak ada seorang pun yang menyadari jika di dalam pabrik itu sedang ada penyergapan.

"Duduk!"

Ketika diperintahkan duduk, maka semuanya duduk.

"Kecuali kalian bertiga," pria bertopeng itu menunjuk pada Panca, Bajra dan Tuan Adrian.

Tentu saja ketiga menuruti perintah.

"Sekarang, kalian pulanglah. Dan, jangan datang ke sini lagi!"

Panca mengerti kenapa mereka bertiga disuruh pulang. Bajra pun memahami keinginan para penyergap itu. Ternyata mereka tidak ingin kami mengetahui jalan cerita di buku itu.

"Dan kau Mandor, jangan biarkan lagi mereka masuk. Kami mengawasi tempat ini. Andaikan kalian tidak menuruti perintahku, maka kami akan membakar tempat ini!"

Mendengar ancaman demikian, Si Mandor terlihat semakin gugup. Nyaris saja dia menangis untuk meminta pertolongan. Tapi, itu urung dilakukan demi menjaga wibawanya di depan para pegawainya sendiri.

Dengan sangat terpaksa, Tuan Adrian berjalan gontai meninggalkan percetakan itu. Diikuti oleh Panca dan Bajra, mereka menuju kendaraan masing-masing. Tentu saja masih dalam pengawasan komplotan bersenjata itu.

Tuan Adrian menaiki kudanya. Panca dan Bajra menaiki pedati yang ditarik 2 ekor sapi. Sepanjang jalan, mereka bertiga hanya bisa mengelus dada. Usaha mereka seharian ternyata tidak mendapatkan hasil. Kembali gagal.

"Usaha kita sia-sia, Tuan."

"Bisa dibilang demikian," dari atas pelana laki-laki itu bicara pelan.

Mereka bertiga menyusuri jalan yang gelap diantara rindangnya pepohonan. Mata mereka kelelahan dan sepertinya ingin segera tertidur.

"Sudahlah, sekarang kalian istirahat. Kita sudahi saja semua ini. Biarlah ini menjadi urusan polisi."

"Tuan yakin?"

"Ya, mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa berbuat banyak."

Bajra menyimak obrolan antara Tuan Adrian dengan Panca. Dia sekaligus mengingat-ingat bagaimana jalan cerita dalam kisah Gadis dan Raja yang Lalim. Walaupun belum membaca sampai tamat, sepertinya Bajra mengerti akan ke mana arah cerita itu.

"Tuan, saya merasa ... besok adalah hari yang penting," Bajra tiba-tiba bicara demikian.

"Ya, aku tahu. Besok hari yang penting. Perayaan ulang tahun Sang Ratu."

"Apakah akan ada banyak orang berkumpul?"

"Ya, tentu saja. Ramai orang berkumpul. Pasar rakyat, permainan ...."

"Apakah para pejabat tinggi Batavia akan hadir di sana?"

Tuan Adrian menoleh pada Panca dan Bajra. Dalam cahaya yang temaram, keduanya bisa melihat bagaimana reaksi pria berkuda itu.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang