59

704 152 0
                                    

Tuan Adrian berjalan tergesa diantara himpitan pengunjung Pasar Rakyat. Tangan kanannya masih memegang sigaret yang menyala.

"Hei, Tuan. Matikan rokokmu!"

Seorang petugas keamanan membentak Tuan Adrian. Tentu saja laki-laki bertopi abu-abu itu membelalakan mata. Melotot.

"Hei, apa hakmu melarangku mengisap rokok?"

"Anda berada di keramaian. Sudah seharusnya berhati-hati. Bara api di tangan anda bisa melukai orang lain."

"Ah, persetan dengan itu semua."

Petugas keamanan itu tidak terima dibentak demikian. Kalimat yang terlontar dari mulut Tuan Adrian bukan sekedar penyanggahan. Rangkaian kata-kata itu lebih terdengar sebagai tantangan. Dan, seorang polisi tidak akan sudi ditentang demikian.

"Sekali lagi kau mengatakan itu, maka aku akan memecahkan kepalamu!"

Sebuah senapan ditodongkan ke arah wajah Tuan Adrian.

Tentu saja kejadian itu mengundang perhatian banyak orang. Bahkan seorang laki-laki Cina dengan sengaja menjadikan ini sebagai ajang taruhan. Dia berbisik pada teman sebelahnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, tentu saja jari tangan keduanya menyiratkan sebuah angka.

Kedua lelaki berambut dikepang itu manggut-manggut sambil menunjuk ke arah kedua orang yang bersitegang.   Entah kenapa kedua lelaki Cina itu begitu spontan menjadikan perkelahian orang sebagai ajang perjudian.

"Kau tidak tahu siapa aku?" Tuan Adrian bertanya dengan nada tinggi.

"Aku tahu siapa kau. Pria tua yang suka mabuk-mabukan. Tercium dari mulutmu yang masih bau alkohol."

Polisi berseragam biru gelap itu sepertinya bukan tipe orang yang mudah direndahkan harga dirinya. Dia tidak mau menyerah pada seseorang yang 'tidak memiliki jabatan'. Meskipun pakaian Tuan Adrian terlihat necis namun tidak serta merta orang akan segan padanya. Kulit yang gelap masih menjadi penanda jika dia termasuk golongan 'rakyat biasa'.

"Aku adalah ...."

"Aku tidak peduli siapa kau! Sekarang juga, buang rokok itu dari tanganmu!"

Baru beberapa hari lalu Tuan Adrian membentak anak buahnya karena kinerja mereka yang buruk. Hari ini, dia bukan lagi Komandan Pasukan Pengawal Istana dengan seragamnya yang gagah. Kini, dia hanya penduduk biasa dan dengan mudah dianggap biasa oleh seorang polisi berpangkat rendahan.

Tuan Adrian naik pitam.

Sigaret di tangannya dibuang. Namun, bukan dibuang menjauh dari kerumunan. Dia membuang benda itu ke wajah si polisi!

"Sialan!"

Tanpa berpikir panjang, si polisi mengangkat popor senapan kemudian mengarahkannya ke wajah Tuan Adrian. Hiaaatt!

Tuan Adrian sudah tidak muda lagi. Jika belum dianggap tua. Dia tidak cekatan seperti 20 tahun lalu. Tangan kiri laki-laki itu lambat menangkis serangan. Bruuk!

Dia terhuyung ke belakang.

Untung saja kedua laki-laki Cina tadi menangkap tubuhnya. Tuan Adrian tidak jadi terjatuh ke tanah. Baginya, dipermalukan oleh seorang polisi berpangkat rendahan sudah melukai harga dirinya. Apalagi ditambah dengan pukulan di kening.

Sialan, kepalaku pusing.

Tuan Adrian tidak mau menyerah. Dia  melangkah demi menghampiri si polisi penjaga Pasar Rakyat.

Tentu saja, tenaganya tidak cukup untuk menghujamkan pukulan. Meskipun hanya sekali saja.

Bruk!

Popor senapan itu kembali mendarat di kening Tuan Adrian. Dua kali sudah dia diserang. Bukan serangan brutal namun cukup untuk membuat laki-laki paruh baya itu ambruk.

Dia terbaring di tanah. Untung saja, bukan terjatuh di tanah yang keras. Rumput tebal membuat tanah itu terasa empuk.

Semua yang melihat perkelahian itu berteriak. Terutama para wanita yang sulit untuk tidak merasa khawatir. Apalagi anak-anak yang tidak biasa melihat orang dewasa bertengkar malah menangis nyaris meraung-raung.

Ada yang gembira dengan kekalahan Tuan Adrian. Si laki-laki Cina yang menjagokan si polisi. Dia tersenyum sambil membuka telapak tangan tepat di wajah temannya.

Dengan berat hati, temannya merogoh saku celana. Mengeluarkan lembaran uang kertas sebagai bukti kalah dalam taruhan.

Tuan Adrian tidak menyadari jika perkelahiannya dijadikan ajang taruhan. Matanya tidak tertuju pada kedua laki-laki Cina itu. Dia pun tidak tertarik melihat wajah si polisi yang semakin pongah karena merobohkan tubuh lawannya. Hanya dengan 2 kali pukulan.

Dari permukaan tanah berumput, Tuan Adrian lebih tertarik melihat seseorang yang sedari tadi dicarinya. Orang itu memandang tepat ke arah wajah Tuan Adrian. Diantara kaki-kaki kurus orang Pribumi, wajah orang itu terlihat tersenyum pada Tuan Adrian.

Namun, bukan senyuman keramahan. Melainkan senyuman sinis. Bahkan terkesan mengejek dan merendahkan.

Orang itu berdiri di belakang kerumunan. Hanya beberapa langkah dari orang-orang yang bermaksud menolong Tuan Adrian untuk bangkit berdiri.

Sialan, gadis berhati iblis itu ternyata ada di sini. Dari tadi dia ada di sini. Menyaksikanku tersungkur dan hampir pingsan.

"Sophia ... aku akan ...," Tuan Adrian hanya sanggup bergumam lirih.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang