Sebenarnya, waktu sepagi itu menjadi hal yang menguntungkan bagi pedagang seperti Panca. Ketika banyak orang yang datang menghampiri lapak, anak remaja itu malah tampak kebingungan. Dia sulit untuk bersikap ramah pada pelanggan karena pikirannya sedang berada di tempat lain.
"Hei, kau ditanya diam saja. Jualan malah melamun," seorang pembeli memperingatkan Panca.
Panca terlihat kaget. Sikap yang bisa dimengerti oleh Bajra ketika sama-sama mendengar kalimat dari seorang perempuan yang menjadi pelanggannya.
"Raden, sebaiknya kita membereskan barang dagangan. Kau sudah tidak bisa berpikir jernih."
"Lha, sedang ramai pembeli malah mau berhenti jualan. Memangnya kalian berdua kenapa?"
"Begini Nyonya ...," Bajra bermaksud menjelaskan tapi Panca menyela.
"Tidak ada apa-apa, Nyonya. Saya hanya sedikit kurang sehat."
"Oh."
Panca mengedipkan mata pada Bajra sebagai kode untuk tidak membicarakan hal yang sedang dipikirkannya pada orang lain. Apa yang dipikirkan Panca bukan hal yang boleh disampaikan kepada sembarang orang.
Dengan terpaksa, Panca harus memasang wajah ramah agar para pembeli merasa terpuaskan. Saya harus menyelesaikan urusan penjualan ini karena ini pun penting bagi kami.
Panca dan Bajra sudah beberapa hari berjualan di pasar. Kota Batavia masih menjadi tempat menarik bagi para penjaja dagangan dari luar kota. Begitupula Panca dan Bajra datang dari Desa Pujasari yang jauh. Mereka menuju Batavia dari arah selatan kota dengan berkendara sebuah pedati yang ditarik seekor sapi.
Ketika berjualan, si sapi diistirahatkan. Dia diikat di bawah pohon yang menjadi antara kanal dan jalan raya. Pemandangan yang lumrah sehingga mudah ditemui di sepanjang jalan menuju pasar.
Suasana begitu ramai pagi itu. Matahari yang menyinari jalan nan berdebu menambah kehangatan bagian kota tempat bertemunya begitu banyak orang dari berbagai kalangan. Orang Jawa, Sunda, Cina, Arab, Makasar, Ambon dan tentu saja orang Eropa begitu mudah ditemui di pasar.
Namun, suasana seramai itu belum mampu menghibur kegundahan hati Panca. Pikirannya masih melayang di Panti Asuhan. Masih terngiang kejadian kemarin siang ketika dia dan Bajra menjadi saksi seorang wanita diseret paksa oleh 2 orang serdadu.
Ketika pembeli mulai berlalu meninggalkan lapak, Bajra bisa bicara dengan Panca walau harus pelan. Dia berharap orang-orang yang sedang berbelanja di toko kelontong seberang jalan tidak memperhatikan obrolan mereka.
"Raden, apa yang harus kita lakukan? Saya pun memikirkan hal yang sama."
"Entahlah, Bajra. Aku merasa tak berguna karena tidak bisa berbuat banyak."
"Saya masih sulit melupakan wajah anak-anak itu. Tangisannya masih terngiang di telinga."
"Wanita itu diseret seperti seorang maling yang terpergok. Para serdadu itu tidak memperlakukan dia sebagai wanita terhormat."
"Mungkin para serdadu itu sudah kehilangan muka sehingga mereka bertindak berlebihan."
"Apakah koran memberitakan kasus ini?"
"Sebentar lagi. Mereka bisa membuat masalah ini menjadi semakin besar. Seakan ini masalah terbesar yang pernah ada di Batavia."
Perkiraan Panca memang benar adanya. Karena tidak membutuhkan waktu lama, penjaja koran berteriak-teriak. Dia membawa sesuatu yang menarik bagi warga Batavia yang haus berita.
"Berita penting! Berita hangat!"
Dari seberang jalan terdengar seorang anak kecil meminta perhatian khalayak. Tanpa alas kaki, anak itu terlihat menghampiri toko kelontong yang telah buka sejak pagi buta. Nampaknya, pemilik toko itu adalah pelanggan utamanya. Tanpa harus banyak bertanya, seorang pria Cina berkumis tipis membeli sehelai koran dan menyodorkan uang receh.
"Hei, koran! Kami beli selembar!"
Bajra pun tertarik untuk membeli. Anak remaja itu memang haus berita. Dia senang ketika ada tukang koran membawa barang berisi kabar tentang Batavia dan sekitarnya.
"Kang, ada berita penting. Telah terjadi percobaan pembunuhan pada Gubernur Jenderal."
Ketika mendengar si tukang koran mengatakan topik berita utama, ternyata pedagang lain pun tertarik untuk membeli.
"Ah, benarkah?"
"Benar, Paman. Kalau tidak percaya, silakan baca. Itu pun kalau Paman bisa membaca."
Semua tertawa ketika mendengar perkataan tukang koran itu. Sebuah kalimat merendahkan, karena si tukang koran tahu tidak banyak pedagang yang bisa membaca.
"Tenang, Paman. Saya bantu membacakan," Bajra tersenyum.
Si tukang koran berlalu setelah menerima sekeping uang. Kemudian para pedagang dan pembeli yang masih berada di dekat Bajra dan Panca segera mendekat. Berkerumun.
"Seorang wanita Eropa ditangkap pasukan pengawal Istana karena telah melakukan usaha pembunuhan. Wanita itu menggunakan hewan kalajengking supaya menyengat Tuan Gubernur ...."
Semua mendengarkan dengan seksama ketika Bajra membacakan sebuah berita di Koran Batavia. Bahasa Melayu yang tertulis cukup mudah untuk dipahami mayoritas warga pribumi.
"... Dia adalah pengasuh Panti Asuhan untuk anak-anak Eropa di Batavia. Wanita itu diancam dengan hukuman paling berat yaitu hukum gantung ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...