37

829 168 0
                                    

Tiga ekor kuda berlari sangat kencang. Mereka berlari demikian bukan tanpa alasan. Penunggang ketiga ekor kuda itu sedang diburu waktu, untuk bisa menemukan seseorang.

Tuan Adrian melecut tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Hal demikian bisa dilakukan karena mereka tidak menggunakan jalanan perkotaan yang padat. Disusul oleh Panca dan Bajra, kuda mereka masing-masing menyusuri jalanan tanah diantara pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi.

"Tuan, mungkinkah kita masih bisa menemui Tuan Valentjin?"

"Kuharap begitu!"

Pembicaraan diantara mereka dilakukan dengan berteriak. Meskipun jarak satu sama lain saling berdekatan tetapi hentakan kaki kuda menimbulkan suara yang mengganggu.

Kuda tunggangan yang berlari kencang cukup mengagetkan pengendara lain. Rombongan pedati yang hendak meninggalkan Batavia harus berpapasan dengan ketiga ekor kuda dengan hentakan kakinya yang menimbulkan kepulan debu. Para kusir yang duduk di bangku pedati terdengar berteriak marah-marah karena penglihatannya terganggu.

"Hei, tidak bisa pelan-pelan!"

Tentu saja para penunggang kuda itu tidak terlalu peduli dengan kepulan debu yang ditimbulkan. Satu hal yang mereka pedulikan adalah bagaimana caranya bisa sampai di pelabuhan secepat mungkin.

Membutuhkan waktu beberapa menit untuk bisa menyusuri jalan utama kemudian menemukan jalan setapak. Tuan Adrian tidak memiliki pilihan lain selain menyusuri jalan setapak diantara pohon-pohon kelapa yang sudah tumbuh di sana puluhan tahun. Pohon-pohon kelapa itu menjulang tinggi sehingga jarang manusia yang yakin bisa memanjatnya untuk sekedar memetik sebutir buah kelapa.

Akhirnya, kita sampai di pantai.

Panca mulai senang ketika melihat garis pantai yang nampak diantara deretan pohon kelapa itu. Air laut yang biru sudah nampak di depan mata. Begitupula tiang-tiang layar perahu nelayan yang akan melaut sudah terlihat jelas.

Perlahan, deburan ombak laut Jawa terdengar samar diantara hentakan kaki kuda. Kuda pun terus berlari hingga jalan setapak itu berakhir di pantai berpasir. Tampak seorang nelayan sedang memanggul jaring menuju perahu miliknya yang masih berlabuh. Dengan caping berbahan pandan laut, dia tampak bersemangat berjalan sambil sesekali berdendang.

Karena sudah menapaki pantai, ketiga ekor kuda itu berbelok ke kiri. Menyusuri garis pantai menuju ke arah barat. Bermaksud menuju pelabuhan.

Jalan menuju pelabuhan tidaklah mudah. Ketiga ekor kuda itu harus mengurangi kecepatan berlari. Ketika sore hari, banyak orang lalu-lalang di pinggir pantai. Kebanyakan dari mereka adalah nelayan yang akan melaut.

Setelah dilakukan usaha untuk mencapai pelabuhan, akhirnya Panca, Bajra dan Tuan Adrian bisa mendekati area pelabuhan yang dijaga ketat oleh banyak petugas keamanan.

"Berhenti!"

Laju kuda harus dihentikan ketika para petugas itu menyuruh mereka berhenti. Tentu saja penunggang kuda harus menurutinya. Apalagi para petugas itu sudah menodongkan senapan. Bila ingin selamat, maka siapa pun yang mendekat ke objek vital negara itu harus tunduk pada aturan.

"Ada keperluan apa kalian ke mari?"

"Saya hanya ingin menemui seseorang," Tuan Adrian menjelaskan.

"Ini bukan pintu gerbang utama bagi pengunjung. Kalian harus melewati ...."

"Tolong, Tuan. Kami tidak punya waktu. Kami harus menemui seseorang di kapal itu," seraya menunjuk sebuah kapal yang sedang menarik jangkar.

"Kapal itu mau berangkat, kalian mau apa?"

"Sebentar saja, Tuan."

Panca dan Bajra saling lirik. Mereka mendekati Tuan Adrian dan membisikan sesuatu. Laki-laki itu paham apa maksud kedua remaja itu.

"Baiklah, kalau kalian memaksa, silakan masuk!"

Entah kenapa, ketika Tuan Adrian menyodorkan kepingan uang logam dan lembaran uang kertas pada petugas itu maka urusan menjadi lancar. Tidak ada lagi basa-basi penolakan. Tanpa ekspresi, petugas jaga itu mempersilakan Panca, Bajra dan Tuan Adrian melewati pintu gerbang.

Mereka bertiga berlari sekencang yang disanggupi. Berharap ada kesempatan untuk bisa menemui salah satu penumpang yang ada di atas kapal.

Sayang, kapal uap itu sudah melepas sauh dan memutar baling-baling kemudi. Berangkat menuju laut lepas.

Teeettt!

Suara klakson terdengar keras sebagai tanda perpisahan. Tentu saja Panca, Bajra dan Tuan Adrian merasa kecewa. Kecewa karena tidak bisa menemui orang yang dicari dan dikejar-kejar.

"Kita terlambat, Tuan." Bajra menyatakan kesimpulan.

Mereka bertiga hanya bisa berdiri terpaku melihat kendaraan laut itu perlahan menjauh dari dermaga. Asap mengepul dari cerobong yang besar kemudian membumbung ke angkasa. Warna kelabu lambung kapal menjadi pemandangan terakhir sebelum benda itu benar-benar tidak tampak di pelupuk mata.

"Raden! Raden Panca!"

Terdengar orang berteriak dari kejauhan. Panca pun berusaha menelisik satu per satu siapa orang yang memanggilnya. Begitu banyak penumpang yang melambaikan tangan. Mungkin mereka melambaikan tangan kepada keluarganya yang mengantar. Di dermaga, begitu banyak orang berjejer melepas kepergian keluarga atau orang-orang yang mereka kenal.

"Lihat, Raden! Itu Marta!" Bajra menunjuk ke arah seorang gadis yang melambaikan tangannya. 

"Iya, saya melihatnya," Panca pun melambaikan tangan.

Lambaian tangan itu dibalas dengan lambaian topi dari gadis itu. Masih menggunakan pakaian yang tadi. Topi putih bundar bersama gaun putih berenda.

"Raden, kau melihat apa yang aku lihat?" Tuan Adrian bertanya untuk memastikan.

Panca, Bajra dan Tuan Adrian masih memperhatikan gadis di atas geladak. Topi yang dipegangnya hampir saja jatuh ke laut. Tapi, ada seorang laki-laki yang berhasil menangkap topi berpita itu.

"Ya, Alloh ... ternyata Tuan Valentjin berada di kapal itu bersama Marta ...."

"Aku jadi mengkhawatirkan gadis itu ...," Tuan Adrian berbicara pelan.

Ekspresi wajah ketiganya berubah seketika. Awalnya senang melihat Marta. Kini, diliputi penuh kekhawatiran.

"Tuan, hanya lembaran kertas ini yang menjadi harapan kita," Panca mengeluarkan gulungan kertas dari balik baju.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang