55

726 159 0
                                    

Sulit bagi Bajra menahan godaan untuk tidak ikut berkerumun dengan begitu banyaknya orang. Dia penasaran dengan kedatangan Gubernur Jenderal yang disambut dengan meriah.

Diawali oleh parade militer, pejabat tertinggi di Hindia Belanda itu datang dengan pengawalan ketat. Pria-pria tegap berseragam biru tua berjejer di kiri dan kanan jalan raya. Mata mereka terus mengawasi ke setiap arah.

Bajra kurang memperhatikan para serdadu yang berjaga. Matanya tertuju pada seseorang yang tampak gagah dengan pakaian dinas serba putih di atas kereta kuda. Terlihat jelas wajah serta perawakan orang itu. Dia tampak tua jika dibandingkan dengan wanita yang duduk di sebelahnya. Pasti itu istrinya.

"Hei, mundur!" seorang serdadu pengawal membentak Bajra.

Tentu saja anak remaja itu kaget. Untung saja Panca menarik bajunya agar mundur ke belakang.

"Hati-hati, kau bisa ditembak tanpa peringatan jika terlihat mencurigakan," Panca memberikan peringatan keras pada Bajra.

"Ditembak tanpa peringatan?"

"Ya, kau tahu sendiri jika Gubernur Jenderal ... ada yang mencoba membunuhnya," Panca mengingatkan Bajra dengan berbisik.

"Sophia," Bajra bergumam.

"Ssssst, jangan sebut nama itu di sini."

Bajra menganggukan kepala. Dia paham jika nama itu hanya dikenal oleh beberapa orang saja. Jangan sampai mengundang kecurigaan dari para pengawal itu.

Sang Gubernur melambaikan tangan kepada orang berjejer di pinggir jalan. Laki-laki, perempuan serta anak-anak tampak berdesakan ingin menyaksikan acara pembukaan Pasar Rakyat yang akan dilakukan tidak lama lagi.

Hari masih pagi, tetapi udara panas sanggup mengundang keringat dari tubuh-tubuh berkulit cokelat itu. Saking banyaknya orang, udara menjadi lebih panas beberapa derajat di sekitar Panca dan Bajra. Peluh di pelipis mulai bercucuran seperti butiran embun di daun talas.

"Hei, ikut dengan kami!"

Panca dan Bajra kaget ketika ada seseorang menarik baju mereka. Mereka berdua dibawa ke bawah pohon yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Ada apa, Tuan?"

"Tidak usah banyak bertanya. Justru aku yang akan bertanya-tanya kalian."

"Tentang apa, Tuan?"

"Aku mendengar kalian membicarakan Sophia. Kalian mengenalnya?"

Panca dan Bajra tidak langsung menjawab.

"Oh, aku ingat ... siapa kalian. Kalian penjual gerabah, kan?"

"Ya, Tuan. Bagaimana Tuan tahu?"

"Tentu saja aku tahu. Waktu ada kejadian di Panti Asuhan, aku ada di sana."

Bajra dan Panca saling lirik. Oh, ternyata orang ini mata-mata dari pasukan pengawal.

"Lantas, kenapa Tuan menarik kami ke sini?"

"Sssst, aku hanya ingin tahu ... sampai di mana penyelidikan kalian tentang Sophia?"

"Penyelidikan apa, Tuan. Kami tidak melakukan penyelidikan."

"Kalian tidak usah bohong. Kalian ... bersama Tuan Adrian ... melakukan penyelidikan ... tanpa sepengetahuan kami ...."

"Sebenarnya ... hanya membuktikan rasa penasaran kami."

"Katakan saja. Bantu kami."

Panca menoleh pada Bajra.

"Kenapa kalian tidak percaya padaku?"

"Tuan sendiri, berada di pihak mana?"

"Tentu saja aku berada di pihak Gubernur Jenderal. Aku pengawalnya."

"Kenapa Tuan ingin mendapatkan kabar dari kami? Apa peduli Tuan? Bukankah pasukan pengawal tidak percaya jika anak sekecil Sophia bisa melakukan kejahatan."

"Jujur, awalnya kami sulit percaya jika anak sekecil itu sanggup menjalankan rencana jahat pada Gubernur Jenderal."

"Sekarang Tuan berubah pikiran?"

Panca menatap tajam laki-laki di depannya. Siapapun tidak akan ada yang menyangka jika dia seorang anggota Pasukan Pengawal Istana. Pakaiannya tidak ada yang istimewa. Sama dengan warga lain. Memakai pangsi, kain motif batik melingkar di kepala serta tak beralas kaki.

"Kami mendengar kabar, jika kalian bertemu Mandor Percetakan tadi malam. Betulkah?"

Panca tidak mau menjawab pertanyaan itu. Dia tidak mau sembarang orang mengetahui kabar itu. Terlebih, orang yang tidak dikenal.

Panca menimbang-nimbang keadaan.

"Hei, bicaralah! Atau, kalian akan kutuduh telah bersekongkol untuk menyerang ...."

Orang itu belum menyelesaikan ucapannya. Ada seseorang yang menyela pembicaraannya.

"Apa? Maksudmu apa, mau menuduh mereka sebagai apa?"

"Maaf, Tuan. Saya ...."

"Sebelumnya kalian tidak percaya jika gadis itu berusaha membunuh Gubernur Jenderal. Lalu, kenapa tiba-tiba kalian berpikir jika Sophia layak dicurigai?"

"Begini, Tuan. Kami mendengar kabar jika gadis itu tidak bekerja sendirian. Dia didukung oleh sekomplotan orang tak dikenal untuk melakukan aksinya."

"Kalian baru menyadarinya?"

Orang itu terdiam. Mengiyakan pernyataan laki-laki di depannya.

"Dengar, Sophia ... anak Valentjin. Dia masih memiliki dendam pada petinggi negeri ini. Gadis itu hanya dijadikan bidak untuk menjalankan rencana liciknya. Sebuah rencana yang rapih, sehingga kalian tidak menyadarinya."

"Maaf atas kekeliruan kami."

"Kalian terlambat, sudah ada korban yang berjatuhan. Dan juga, kalian mengorbankan jabatanku!"

Laki-laki yang baru saja datang itu meninggikan suaranya. Untung saja keriuhan menenggelamkan percakapan yang terjadi diantara mereka.

"Sekarang kau pergi. Katakan pada komandanmu, berhati-hatilah. Gadis itu harus terus diawasi."

Orang berbaju pangsi itu pergi dengan langkah terburu-buru.

"Tuan Adrian, apakah Tuan mengenal orang itu?" Bajra bertanya dengan polosnya.

"Tentu saja, dia bekas anak buahku."

"Pantas saja dia terlihat takut pada Tuan."

Tuan Adrian menghela nafas. Dia memandang ke arah kerumunan.

"Kalian sudah melihat Sophia?"

"Belum, Tuan."

"Kita cari dia, pastikan anak itu tidak bertingkah macam-macam."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang