28

863 173 2
                                    

Tuan Adrian datang dengan langkah tergesa. Dia masuk ke dalam ruang tamu Panti Asuhan tanpa mengindahkan kegiatan apa yang tengah berlangsung. Kaki jenjang laki-laki itu seperti ayunan pemukul bola hoki yang siapa menendang apa di depannya. Dia tampak marah.

"Tuan, apa yang anda lakukan? Anda mau ke mana?" Wanita pengasuh yang kebetulan ada di sana turut mengikuti langkah tegap Tuan Adrian.

"Mana gadis itu? Aku harus segera menemuinya!"

"Siapa, Tuan? Sophia?"

"Ya, siapa lagi."

"Dia sedang belajar bersama anak-anak di ruang belajar. Tolong Tuan ...."

"Panggilkan dia!"

"Maaf, Tuan. Tapi, anak-anak tidak bisaa diganggu ... kasihan ...."

"Tolong, panggilkan dia. Atau, aku akan menyeretnya ...."

"Tuan, Tuan, sabarlah dahulu. Ada apa sebenarnya? Kenapa Tuan begitu gusar?"

"Kau tahu, jika hari ini Nyonya Margareth ...."

"Sssttt, jangan keras-keras. Nanti mereka mendengar. Ya, saya sudah tahu. Makanya saya sengaja membuat mereka nampak sibuk."

"Baiklah, aku mengerti. Jadi mereka tidak tahu."

Wanita bertubuh gemuk itu menganggukan kepala.

"Nyonya, apakah anda tahu jika Sophia ... masih memiliki ayah."

"Ya, saya sudah mengatakan itu pada Tuan."

"Siapa dia?"

"Oh, maaf Tuan. Kami tidak bisa memberitahu sembarang orang identitas anak asuh kami. Mohon pengertiannya. Mereka pun tidak tahu ...."

"Dengar, demi Nyonya Margareth. Tolong katakan siapa ayah anak itu?"

"Memangnya kenapa Tuan begitu ingin tahu ayah Sophia?"

Apakah aku harus mengatakan firasatku pada wanita ini. Tuan Adrian merasa bimbang.

"Tidak apa kalau Tuan tidak mau memberitahu saya."

"Begini Nyonya. Entah mengapa, aku begitu curiga ... jika Sophia ... disuruh oleh seseorang untuk ... melakukan percobaan pembunuhan pada Gubernur Jenderal."

Wanita itu malah tersenyum.

"Ini serius, Nyonya. Mungkin terdengar lucu. Tapi, aku punya firasat ke arah sana."

"Bagaimana bisa, Sophia hanya seorang gadis berusia 10 tahun."

"Justru itu, karena dia masih kecil makanya orang lain tidak mencurigainya."

"Ya, tapi bagaimana bisa ...."

"Seseorang di luar sana membimbing Sophia untuk melakukan hal keji itu."

"Membimbing? Selama ini kami mengurusnya 24 jam. Kami mengawasi gerak-gerik anak itu. Tidak ada yang mencurigakan."

"Benarkah? Namun, apakah Nyonya ... bisa mengawasi isi pikirannya?"

Wanita pengasuh itu terhenyak.

"Dia anak yang cerdas. Bisa memanipulasi pikiran anda, saya dan kita ... orang-orang dewasa."

"Saya hanya sulit mengerti. Jika benar demikian, apa motif anak itu berusaha membunuh Tuan Gubernur Jenderal?"

"Bukan anak itu yang memiliki motif. Tapi, si pembimbing."

"Baiklah, tapi bagaimana membimbing anak sekecil itu ...?"

"Tanpa harus diketahui pengasuhnya."

Wanita itu menganggukan kepala.

"Melalui sebuah surat."

"Tidak mungkin. Saya sendiri yang membaca surat-surat dari luar untuk anak-anak itu."

"Kalau dari buku?"

"Buku? Tidak mungkin. Saya sendiri yang memeriksa setiap buku. Tidak ada yang aneh."

"Bagaimana dengan buku hadiah dari ayahnya?"

"Tidak mungkin. Buku itu hanya cerita anak-anak, Tuan. Bukan buku panduan untuk membunuh orang."

"Anda yakin?"

"Ya."

"Pernah membaca seluruh isi bukunya."

"Tidak sih. Hanya memeriksa sebagian isinya."

"Anda tahu siapa penulis buku itu?"

"Eeeee, nama penulisnya ... Valen ... Valentino."

"Apakah itu nama ayahnya?"

"Bukan. Ah, akhirnya aku harus mengatakan siapa nama ayah anak itu."

"Siapa nama ayahnya?"

"Valentjin, nama ayahnya Valentjin."

"Valentjin, nama yang tidak asing bagiku."

"Tentu saja. Beliau mantan walikota Batavia."

Tuan Adrian terperangah.

Ketika mendengar nama itu, lutut Tuan Adrian menjadi lemas. Dia seperti mendengar nama sosok hantu yang menakutkan.

"Tuan, apakah anda baik-baik saja?"

"Ya, saya hanya tidak menyangka jika nama itu akan terdengar kembali di kota ini."

"Tuan Valentjin, sudah lama pergi meninggalkan Batavia. Dia menitipkan putrinya pada kami."

"Karena ibunya tewas terbakar di rumahnya."

"Anda tahu ceritanya?"

"Ya, tentu saja. Semua warga Batavia mengetahui itu."

"Maaf, jika kami merahasiakan ini sejak awal. Kami pikir tidak ada hubungannya dengan kejadian ini."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti kenapa anda melakukan itu."

"Saya pikir, Tuan Valentjin pergi dari Batavia karena ada urusan perdagangan."

"Ya, dia pergi dari Batavia ... setelah membakar hampir setengah isi kota."

"Membakar?"

"Kau ingat kebakaran di pelabuhan yang terjadi beberapa bulan lalu?"

"Ya, kami melihat Batavia seperti lautan api."

"Dia pelakunya."

Wanita pengasuh itu terhenyak. Dia tidak menyangka jika selama ini dirinya mengasuh seorang anak buronan pemerintah.

"Nyonya, selama ini anda mengasuh anak seorang musuh Pemerintah."

Wanita itu terdiam sebentar. Dia memikirkan banyak hal. Berkecamuk dalam dirinya antara rasa kesal dan rasa bersalah.

"Tuan, apa yang harus saya lakukan?"

"Ambil buku itu diam-diam. Jangan sampai Sophia tahu. Nampaknya dia sudah merasa jika dirinya dicurigai."

"Iya, saya paham. Tapi, anda yakin jika buku itu benar-benar berguna ...."

"Nyonya, saya ingin memeriksa buku itu. Sangat mungkin jalan ceritanya ...."

"Petunjuk untuk membunuh ...," wanita pengasuh itu mulai paham arah pikiran Tuan Adrian.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang