Sophia berjalan dengan semangat. Masih dengan mendekap Beri, si beruang. Sepatu kecil gadis itu terdengar beradu dengan lantai selasar yang memanjang diantara deretan jendela jelusi berukuran besar.
Berjejer pot bunga berbagai ukuran yang menghiasi selasar bangunan Panti Asuhan. Mulai dari paku-pakuan, mawar hingga bunga anggrek tumbuh subur dengan latar tembok putih nan kokoh.
"Nah, saya menemukan kalajengking di sini, Tuan," Sophia menunjuk sebuah pot bunga berukuran besar.
"Kau yakin, Nak?"
"Tentu, Tuan."
"Apakah ada anak-anak lain yang melihat selain dirimu?" Kepala Pengawal nampaknya butuh saksi lain untuk memperkuat pernyataan Sophia.
Pria berkulit gelap itu mengarahkan pandangan ke seluruh sisi pekarangan yang luas. Diantara rumput hijau dan bunga khas daratan tropis tumbuh pula pohon-pohon dengan buahnya yang ranum.
"Mungkin binatang itu datang dari kanal yang tidak jauh dari sini," Ibu Panti ikut bicara.
Kepala Pengawal nampak berpikir seperti ingin tahu bagaimana binatang beruas itu ada di dalam pot bunga. Dia memerintahkan anakbuahnya yang berdiri tidak jauh untuk memeriksa setiap jengkal tanah pekarangan. Mungkin sekali hewan sialan itu punya teman.
"Kapan terakhir kali kau melihatnya?"
"Mmmm, sekitar seminggu yang lalu."
"Apakah besarnya sama dengan yang tadi kau lihat?"
"Hampir sama, warnanya juga sama-sama hitam."
Kepala Pengawal kembali memperhatikan pekarangan luas itu. Dia masih menunggu hasil pencarian dari anakbuahnya.
Sebuah pekerjaan yang menguras tenaga bagi seorang anggota regu pengawal. Perbedaan mencolok dengan kavaleri yang berperang di medan laga, serdadu itu lebih takut dihukum mati oleh tuannya sendiri. Bukan takut ditembak musuh. Bagi serdadu pengawal menjaga tuannya menjadi tugas utama, ketika hal demikian tidak sanggup dilakukan maka tuannya sendiri yang akan menembaknya.
"Tuan, kenapa Tuan tampak khawatir?" Sophia bertanya sekenanya.
"Aku tidak mengkhawatirkan diriku, Nak. Justru aku mengkhawatirkan keselamatan kalian."
"Kami akan baik-baik saja, Tuan. Kami terbiasa melihat binatang liar di sini."
"Oh, jadi tidak hanya kalajengking yang pernah kau temui?"
"Ya, Tuan. Saya pernah melihat ular masuk ke dalam kamar."
Kepala Pengawal melirik ke arah Ibu Panti yang masih berdiri di dekat tembok. Hei, ternyata kau tidak cukup baik menjaga anak-anak ini.
Matahari memancarkan sinarnya yang semakin terang. Tidak ada awan menaungi makhluk siang. Hanya burung gereja yang terbang diantara pohon dan atap bangunan. Suara merdu nyanyian burung kecil itu sesekali menjadi pengisi kebisuan diantara mereka yang sedang sibuk bekerja.
"Dunia sedang tidak berpihak padaku. Benar sebagaimana yang anda katakan, Nyonya ... kami lebih mengkhawatirkan nasib kami dibanding nasib orang lain," tiba-tiba Kepala Pengawal melontarkan kalimat yang sulit dimengerti apa maksudnya.
"Tuan, setiap manusia diciptakan dengan perannya masing-masing."
"Oh, sebuah kalimat yang bijak."
Kepala Pengawal mendekat ke arah Ibu Panti.
"Nyonya, asal anda tahu ... kami bekerja dengan sangat keras. Nyawa kami pertaruhkan demi pekerjaan ini. Dan, jika kali ini kami gagal menemukan jawaban ... kenapa ada seekor kalajengking di atas meja makan ... maka tamatlah riwayat kami."
"Saya juga menduga begitu, Tuan."
"Tapi, ketika kami dipersalahkan ... maka kami juga akan mencari pihak untuk kami persalahkan ...."
"Dan, itu saya?"
Kepala Pengawal tersenyum.
"Baiklah, Sophia. Aku ingin bertanya lagi padamu ... siapa yang suka menyiram bunga-bunga ini?"
"Kami bergantian, Tuan."
"Sebelumnya, siapa yang menanam bunga-bunga ini?"
"Ibu Panti, Tuan," Sophia melirik pengasuhnya.
Kepala Pengawal melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Matanya tertuju pada pot bunga yang seragam. Merah tanah menjadi warna dominan diantara dedaunan yang hijau serta warna-warni cerah bunga di taman. Tangan kasar si serdadu menyentuh permukaan salah satu pot berbahan tanah itu.
Ada motif khas dari pot yang berjejer dekat selasar. Motif batik yang dikenal lumrah di Batavia. Kepala Pengawal sering melihat motif demikian di rumah-rumah mewah milik orang Eropa.
Sebagai Kepala Pengawal seorang pemimpin negara, laki-laki itu sering mengunjungi rumah-rumah pejabat atau gedung-gedung lembaga negara. Dan, pot bunga seperti tampak di Panti Asuhan adalah barang yang biasa ditemukan.
"Nyonya, di manakah anda membeli pot bunga seperti ini?"
"Saya membelinya dari seorang pedagang di pasar."
"Motifnya tidak asing bagi saya."
Sophia masih berdiri di depan Kepala Pengawal. Anak itu setia menunggu pertanyaan apa lagi yang akan ditujukan kepadanya. Tidak seperti Ibu Panti yang terlihat resah, Sophia terlihat bersemangat mengikuti penyelidikan yang dilakukan para pengawal Gubernur Jenderal.
"Sophia, seberapa sering kau melihat kalajengking ada di pot bunga ini?"
"Cukup sering, Tuan."
"Tepatnya, berapa kali?"
"Mungkin 4 ... atau 5 kali ...."
Kepala Pengawal menatap Ibu Panti. Wanita itu enggan menatap balik.
"Nyonya, bolehkah saya memecahkan pot bunga ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...