25

949 178 3
                                    

Beberapa hari telah berlalu ...

Pedati terlalu lamban untuk menjalankan tugas. Panca dan Bajra lebih suka menunggang kuda ketika berkeliling Batavia. Si sapi dan barang muatan pedati dititipkannya kepada seorang sahabat yang bisa dipercaya. Mereka menggunakan uang pemberian Tuan Adrian untuk menyewa 2 ekor kuda berwarna cokelat kehitaman, lengkap dengan pelana dan sadel berbahan kulit lembu.

"Kita sudah melakukan ini selama berhari-hari. Tapi, hasilnya tetap nihil," Bajra mulai dihinggapi putus asa.

"Aku tahu ini bukan tugas mudah, tapi kan kita sudah terlanjur menyetujui semua persyaratan dari Tuan Adrian."

"Apakah tidak bisa kita batalkan tugas ini?"

"Tidak bisa. Dia bukan hanya memberi kita tugas ini. Tapi dia mengikat kita agar tidak pergi begitu saja."

"Maksudnya, dia pun punya kecurigaan pada kita."

"Sepertinya begitu. Dia hanya ingin kita tidak pergi dari Batavia sebelum masalah ini selesai. Terlebih, Nyonya Margareth sudah diputuskan bersalah dan akan segera dihukum gantung."

"Jadi, kita harus mencari bukti tambahan sebelum itu terjadi."

Panca menganggukan kepala tanda setuju atas kesimpulan Bajra.

Dari atas punggung kuda, kedua anak remaja itu memusatkan perhatian pada setiap jengkal tanah yang mereka lewati. Jika ada seseorang yang kebetulan berpapasan, mereka akan mengingat-ingat apakah ciri orang itu sesuai dengan yang dicari.

"Orang Si Pembawa Pesan itu sepertinya menyamar. Buktinya ciri-ciri orang seperti yang kita cari tidak ada."

"Setiap perkumpulan sudah kita datangi. Perkumpulan orang Jawa sudah kita datangi. Perkumpulan orang Sunda, perkumpulan orang Makassar, orang Ambon ... semuanya mengaku jika mereka tidak mengenal orang itu."

"Perkumpulan orang Arab mengaku tidak mengenal orang itu. Apalagi orang-orang Cina, ciri fisiknya pun jauh berbeda."

"Ada perkumpulan yang belum kita datangi."

"Perkumpulan orang Eropa?"

"Ya. Tapi bagaimana caranya masuk ke sana. Mereka pasti akan mengusir kita sebelum kita menginjakan kaki di rumahnya."

Mereka berdua berhenti berbincang ketika tersaji di hadapan sebuah rumah besar dengan halaman yang luas. Banyak orang sedang bekerja di sana. Didominasi oleh pekerja laki-laki. Ada juga beberapa orang wanita dewasa yang sedang mengumpulkan banyak hasil bumi.

"Ini rumah tuan tanah seorang Eropa. Apakah kita akan bertanya pada orang-orang di sana?" Bajra bertanya dengan maksud mengusulkan.

"Kita coba. Siapa tahu ada orang yang dimaksud."

Panca turun dari kuda, begitupula Bajra. Kedua anak remaja itu memberanikan diri berjalan mendekati sebuah rumah dengan penjagaan ketat. Ketika mereka menuntun kuda masing-masing, ternyata sudah ada yang memperhatikan dari kejauhan.

Seorang centeng datang berjalan menghampiri Panca dan Bajra. Tanpa alas kaki, laki-laki itu melangkahkan kakinya seakan menyapu tanah. Dia terlihat bertenaga ketika menggunakan tungkai kakinya.

"Hei, siapa kalian?" Sebuah pertanyaan biasa namun terdengar menggeretak.

"Maaf, Paman. Perkenalkan saya Panca dan ini teman saya, Bajra."

"Mau apa kalian ke sini?" Lagi, pertanyaan biasa namun terdengar menekan lawan bicaranya. Apalagi orang itu jelas memperlihatkan golok di pinggang. Tangan kirinya memegang sarung benda tajam itu, seakan bicara kau jangan macam-macam denganku!

"Bolehkah saya bertanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kami sedang mencari seseorang."

"Siapa?"

"Kami tidak tahu namanya. Tapi, dia punya ciri-ciri ...."

"Sebentar. Kalian mencari seseorang yang ... namanya saja tidak kalian ketahui?"

"Maaf, Paman. Mungkin Paman pernah melihat orang dengan ciri-ciri ...."

"Ah, aku tak tahu. Kalian pergi saja!"

Panca sulit untuk mencari informasi dari orang yang tidak mau berbagi informasi. Laki-laki itu malah mengusir Panca dan Bajra. Centeng itu tidak tertarik dengan maksud kedatangan Panca dan Bajra.

Tapi, dia tertarik dengan uang.

"Paman, saya akan memberi Paman uang jika mau memberitahu saya sesuatu."

Si centeng membalikan badan. Dia tertarik juga jika membicarakan uang.

"Baiklah. Kalian mau tahu tentang apa?"

Panca menoleh pada Bajra. Mereka berdua tersenyum.

"Paman, apakah Paman pernah melihat orang dengan ciri-ciri ... laki-laki, berambut putih, kulitnya gelap, berkumis putih ...."

"Tidak. Aku tidak pernah melihat orang demikian."

"Paman yakin?"

"Ya, kau tidak percaya padaku?"

"Maksud saya, coba ingat-ingat lagi. Mungkin dia pernah lewat ke sini."

Panca menghela nafas ketika mendapati orang di depannya tidak mengingat apa pun. Kecewa untuk kesekian kalinya.

Panca pun mengalihkan pandangan ke pekarangan luas rumah bergaya Indo Eropa itu. Tidak ada satu pun orang yang mirip dengan ciri-ciri yang dimaksud. Hanya tampak tumpukan tembakau, berkarung-karung cengkeh serta kopi. Meskipun dibungkus rapi oleh karung, mudah ditebak apa isinya karena dibubuhi tulisan dalam 2 bahasa yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda.

Jika memperhatikan alam sekitarnya, hasil bumi itu tidak ditanam di sana. Mungkin pemilik rumah ini adalah bandar hasil bumi dari berbagai daerah. Dia orang yang suka bepergian ke luar Batavia.

Ketika sedang terjadi percakapan antara Panca dengan seorang centeng, ternyata ada seseorang yang berteriak. Orang itu datang dengan berjalan sambil menggunakan tongkat di tangan kanannya. Dengan topi warna putih, baju dan celana pun putih, laki-laki itu berjalan terseok-seok.

"Ada apa ini!?"

"Hanya orang menumpang bertanya, Tuan!" Si centeng menjawab dengan berteriak.

Laki-laki itu terus berjalan menghampiri Panca, Bajra dan sekelompok centeng yang tengah berdiri tepat di pintu gerbang menuju  rumah si tuan tanah.

"Hei, apa kabarmu?"

"Baik, Tuan." Panca menjawab sambil terheran. Sepertinya dia mengenalku.

"Raden Panca, kau tidak ingat denganku? Sudah lama kita tidak berjumpa."

"Maaf Tuan, apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?"

"Hahaha, kau benar-benar tidak mengingatku?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang