27

877 173 3
                                    

Panca duduk di atas pelana kuda. Tanpa memberi arahan ke mana seharusnya si kuda berjalan.

"Melamunkan apa lagi, Raden?"

"Orang itu, kenapa dia begitu mengenalku. Sedangkan aku sendiri baru mengenalnya hari ini."

Bajra mulai mengerti kegelisahan sahabatnya itu. Namun, sepertinya ada hal lebih besar yang sedang dipikirkan Panca. Bajra pun tahu itu dari raut wajah orang di dekatnya.

"Sepertinya ada hal lain yang kau pikirkan?"

"Aku merasa, dia memiliki hubungan dengan semua ini."

"Bagaimana bisa kita membuktikannya. Kalau sekedar praduga, siapa pun bisa terlibat."

Ketika si kuda berjalan pelan, tiba-tiba Panca menarik tali kekang. Dia teringat sesuatu.

"Bajra, tuan tanah yang baru saja kita temui ... wajahnya ...."

"Bekas luka bakar. Terlihat jelas dari kulitnya yang keriput."

Panca menatap Bajra yang sama-sama menghentikan laju kudanya. Sebuah tatapan penuh makna. Bajra tahu jika sahabatnya menatap demikian maka pikirannya dipenuhi sesuatu yang menarik perhatian.

"Aku ingat siapa dia ...."

Bajra mulai penasaran dengan apa yang dikatakan Panca. Anak bertubuh gempal itu menanti kalimat selanjutnya dari Panca.

"Siapa?"

"Kau juga ... sebenarnya mengenalnya."

"Tapi, tadi dia mengatakan hanya mengenalmu, Raden."

"Mungkin dia lupa siapa kamu. Atau, dia pura-pura lupa. Entahlah."

"Apa yang membuat kau begitu yakin?"

"Untuk menjawab pertanyaanmu, sebaiknya kita tanyakan dulu pada penduduk di sekitar sini. Apakah orang yang kumaksud itu sesuai atau tidak."

Semangat Panca kembali bangkit. Dia turun dari kuda dengan penuh tenaga. Dia berjalan ke arah seseorang yang sedang memotong rumput di pinggir jalan. Orang itu bangkit berdiri setelah tahu ada orang yang menghampirinya. Sebuah bentuk keramahan pada orang asing, meskipun orang asing itu terlihat jauh lebih muda.

"Maaf, Kakek. Bolehkah saya bertanya?"

"Tentu saja boleh, Nak." Suara pelan si kakek terdengar tulus disertai senyuman dari bibirnya. Meskipun hanya beberapa gigi yang tersisa menghiasi senyumannya.

"Kakek, apakah kakek tahu siapa nama tuan tanah di rumah itu? Soalnya saya malu, jika berkunjung ke sana tapi tidak tahu namanya."

"Ada kepentingan apa kau ke sana?"

"Kami berdua bermaksud menawarkan barang dagangan, tapi kan ... akan lebih baik kalau saya tahu nama beliau."

"Oh, itu Tuan Valentino. Baru beberapa hari ada di sini. Baru tiba dari Eropa."

"Sebelumnya, rumah itu tidak dihuni?"

"Ada orang yang mengurusnya. Saya juga pernah disuruh memotong rumput di sana. Sudah lama tidak dikunjungi pemiliknya, kurang terawat."

"Oh, jadi ... sebelumnya Tuan Valentino tidak tinggal di Batavia. Tapi, apakah sebelumnya beliau pernah tinggal di sini?"

"Setahu saya, tidak pernah. Dahulu rumah ini milik pengusaha asal Inggris. Tapi,  dijual kepada Tuan Valentino."

"Tuan Valentino, namanya seperti nama Spanyol."

"Katanya, beliau orang Spanyol. Tapi, sudah lama berdagang dengan orang Nusantara."

Pantas saja dia bisa berbahasa Melayu. Panca mengerti jika bukan penduduk Batavia pun bisa berbahasa Melayu jika dia sering berkunjung ke wilayah Nusantara yang lain.

"Memangnya kau mau menawarkan barang apa padanya, Nak?"

"Kami bermaksud menawarkan gerabah hasil karya penduduk desa kami. Mungkin saja beliau bisa membantu menjualnya ke luar Batavia."

Si Kakek mengerti kenapa Panca bertanya identitas si tuan tanah. Baginya, orang yang bertanya demikian sudah sering dijumpainya. Makanya, orang tua senang ketika melayani orang lewat atau sekedar bertanya alamat.

Setelah dirasa cukup, Panca dan Bajra pun pamit. Mereka berdua menunggang kuda menuju arah berlawanan dengan tanah Tuan Valentino. Jalan kecil yang cukup untuk sebuah pedati dilalui kedua anak remaja itu. Di kiri dan kanan jalan tampak hamparan pohon tebu yang baru bertunas kembali setelah melewati masa panen.

"Tanah milik Tuan Valentino luas sekali. Dia pasti orang kaya. Hanya orang sangat kaya yang mampu membeli tanah seluas ini," Bajra menyimpulkan.

"Tuan Valentino ... ada bekas luka bakar ...," Panca malah bergumam hal lain ketika diajak bicara. Pertanyaan tentang orang itu semakin mengganggu pikirannya.

"Kau sudah mengingat siapa orang itu?"

Panca tidak langsung menjawab pertanyaan Bajra. Pandangannya malah lurus ke depan, tidak tertarik dengan suasana di sekitarnya.

"Luka bakar ... Valentino ... kakinya pincang ...," Panca terus mengatakan itu sepanjang jalan sambil mengingat sesuatu.

Bajra pun membantu mengingat-ingat nama itu. Dia menarik tali kekang kudanya. Si kuda pun menghentikan langkahnya.

"Raden! Aku ingat orang itu!"

Panca terhenyak dari lamunannya.

"Pantas saja dia mengenalmu. Dia mengenal kita."

"Menurutmu?"

"Valentino ... Valentjin ..., kau ingat nama itu?"

"Ya, tentu saja."

"Dia orang yang sama!"

"Valentjin ... Si Manusia Api ...."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang