40

805 169 2
                                    

Kerlap-kerlip lampu di kapal masih terlihat dari kejauhan. Diantara malam yang semakin pekat, lampu dari kapal lain seperti titik cahaya kunang-kunang yang terbang diantara kegelapan hutan. Marta menikmati suasana demikian.  

Gadis itu berdiri di geladak. Angin menerpa gaun putih berenda yang dikenakannya. Di sana, dia berdiri sendiri karena dia ingin menikmatinya sendiri. Penumpang lain sudah kembali ke dalam kamar masing-masing untuk beristirahat. Tapi, Marta belum puas menikmati pemandangan langka yang baru dirasakannya.

"Kau yakin tidak mau ditemani?"

"Ya, Tuan."

"Baiklah, kami tunggu kau di dalam. Hati-hati," seorang pria paruh baya yang menemani perjalanan gadis itu pun berlalu.

"Iya, Tuan. Nanti saya akan menyusul."

Marta tersenyum pada pria itu. Kemudian dia kembali asyik memandangi laut lepas yang gelap.

Cahaya rembulan belum cukup membuat lautan terlihat terang. Namun suasana demikian membawa ketenangan bagi siapa pun yang memandang. Bulatan benda langit itu tergambar di permukaan air yang bergelombang. Alhasil, bulatannya menjadi tidak sempurna dan terlihat seperti terpotong-potong.

"Nona, selamat malam. Sebaiknya anda hati-hati," seorang kelasi menyapa Marta sambil mengepel lantai kapal dengan lap basah.

"Selamat malam." Marta tersenyum pada kelasi berpakaian serba putih itu, "ya terima kasih sudah memperingatkan."

Marta senang melihat kelasi itu bekerja. Topi khas dan bajunya yang unik belum pernah dilihatnya. Pakaian khas pelaut dengan syal tergantung di dada serta topi kotak menempel di kepala.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi kelasi itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kini, dia meninggalkan dek kemudian tidak terlihat lagi setelah masuk ke salah satu pintu dekat ruang kemudi.

"Kau pertama kali naik kapal api?" seorang lelaki bertanya dari arah belakang Marta.

"Oh, Tuan."

"Maaf, aku mengagetkanmu. Sudah banyak orang yang bereaksi demikian ketika melihat wajahku ini."

"Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud menyinggung ...."

"Tidak apa-apa. Tidak perlu minta maaf," suara berat laki-laki itu terdengar serak dan berat.

"Saya baru pertama kali menumpang kapal api."

"Baru pertama kali juga pergi jauh dari Panti Asuhan?"

Marta heran dengan pertanyaan itu.

"Kau nampak kaget."

"Apakah Tuan mengenal saya?"

"Tentu saja, Marta. Aku mengenalmu, walaupun kita tidak saling akrab."

"Maaf, Tuan. Saya tidak mengenal anda sebelumnya. Kita baru bertemu di kapal ini."

"Sebenarnya tidak juga, aku pernah melihatmu bersama Sophia di Panti Asuhan."

"Anda mengenal Sophia?"

"Ya, tentu saja. Dia anakku."

Marta semakin terkaget-kaget.

"Kenapa rona wajahmu berubah, kau tak perlu takut."

Marta merasakan ada hal aneh dengan pria di hadapannya. Selain wajahnya yang penuh bekas luka bakar, sikap orang itu terkesan mengancam. Tangan kanannya yang memegang tongkat seakan bukan untuk dijadikan penopang.

"Tuan ...."

"Marta, kau sudah terlalu dalam ikut campur dalam urusan kami."

Marta terlambat memahami situasi. Dia terlalu takut sehingga tak sanggup berpikir.

"Saya tidak mengerti, Tuan."

"Kau telah membocorkan rencana kami, gadis tak tahu diri ...."

Marta melangkah mundur. Perlahan.

Gadis itu berniat untuk berlari. Tapi sayang, gaun itu terlalu mudah untuk diraih. Marta terjatuh.

"Awww! To ...."

Marta tidak meneruskan kalimatnya. Mulut gadis itu dibekap dari belakang.

***

Hanya membutuhkan waktu beberapa detik setelah itu, terdengar seseorang meminta tolong. Dia berlari, tidak, dia hanya berjalan cepat. Seorang lelaki paruh baya berjalan tergopoh dengan kakinya yang pincang.

"Tolong! Tolong!"

"Ada apa, Tuan?" Seorang kelasi merespon teriakan laki-laki itu.

"... ada orang yang terjatuh ke laut ...."

Keributan terjadi di salah satu sisi geladak. Pria dan wanita berhamburan dari kamar mereka karena penasaran. Begitupun anak-anak yang lepas dari penjagaan orang tuanya. Semuanya berjejer di sisi dek demi menyaksikan orang yang dikabarkan jatuh ke laut.

"Minggir-minggir, jangan mendekat! Biar kami yang mengurus!"

Petugas keamanan berusaha menertibkan penumpang yang berhamburan. Namun, rasa penasaran masih mengalahkan kepatuhan.

Lampu kapal menyoroti permukaan air. Tidak ada objek yang terlihat. Hanya gelombang laut yang terlihat semakin besar. Sesekali melintas kawanan burung camar yang berebutan hinggap di buritan.

Seorang kelasi yang sigap berteriak memberikan kabar pada Kapten Kapal, setelah pria berjas putih itu menghampiri kerumunan. Merasa paling bertanggungjawab ketika terjadi insiden di luar kendalinya.

"Tidak ada, Tuan! Dia sudah tenggelam!"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang