36

837 158 1
                                    

Tuan Adrian masuk ke dalam rumah itu dengan mengendap-endap. Rumah bergaya Indo-Eropa itu sepi. Tidak ada seorang pun penghuninya yang sedang berada di sana. Atau, mungkin laki-laki itu belum menemui penghuninya.

Cahaya mentari sore masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Terang sekali cahayanya sehingga menjelaskan apa saja isi perabotan di dalamnya. Kursi berbahan kayu dan rotan lengkap dengan meja beralas sehelai kain motif batik. Rak serta lemari merapat di dinding. Isinya bukan barang yang benar-benar dibutuhkan, hanya hiasan.

Ke mana para penghuni rumah ini?
Sepi sekali.

Senja sudah tiba dan para pekerja sudah tampak menyelesaikan pekerjaannya. Namun, sang majikan tidak tampak bersantai di dalam rumahnya.

"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

Seorang wanita berkebaya tiba-tiba saja datang dari arah dapur. Dia membawa sehelai kain untuk mengelap perabotan dan sebuah sapi ijuk.

"Adakah Tuan Valentjin di rumah?"

"Maaf, Tuan. Siapakah Tuan Valentjin? Di sini tidak ada orang dengan nama itu."

"Ee, maksud saya Tuan Valentino. Adakah Tuan Valentino di rumah?"

"Oh, Tuan Valentino baru saja pergi."

"Pergi? Pergi ke mana?"

"Pergi ke Pelabuhan."

"Ke Pelabuhan? Apakah beliau akan pergi jauh?"

"Ya," wanita itu menjawab seperlunya.

"Ke mana?"

"Katanya, beliau akan pergi ke Borneo."

Tuan Adrian menganggukan kepala. Tangan kanannya memegang dagu. Dia memikirkan sesuatu, hal yang mengherankan. Semuanya serba kebetulan.

"Apakah Tuan sudah membuat janji dengan Tuan Valentino?"

"Belum."

Wanita berkebaya itu menampakan wajah penuh keheranan. Kenapa dia bisa masuk ke rumah ini tanpa dicegah boleh petugas jaga di gerbang?

Jawaban dari pertanyaan itu akan segera terjawab karena ada seseorang yang datang. Seorang lelaki berwajah sangar. Jambang dan jenggotnya begitu lebat. Berpakaian serba hitam dengan penutup kepala kain batik warna kuning kecokelatan. Di tangan kanannya melingkar gelang bahar serta jemarinya berhias batu akik warna hijau tua.

"Hei, siapa kau?"

Sebuah pertanyaan tanpa disertai keinginan untuk beramah tamah. Tentu saja Tuan Adrian tidak mau menjawab pertanyaan itu. Dia tersenyum kecut.

"Bukan urusanmu!"

Laki-laki berjas dan bertopi hitam itu langsung berlari ke arah jendela yang terbuka lebar.

"Hei, jangan pergi!"

Si pengejar ternyata lebih cekatan dari yang dikejar. Mungkin karena faktor usia mereka yang terpaut sangat jauh. Kemeja Tuan Adrian bisa diraih dengan mudah oleh centeng berwajah sangar.

Buuk, Tuan Adrian terjatuh ke lantai.

Pergumulan pun terjadi.

Si centeng bermaksud meringkus Tuan Adrian. Tapi, mantan pengawal itu tahu bagaimana cara meloloskan diri.

Ternyata, wanita berkebaya yang sedari tadi belum menyadari situasi kini sudah kembali dengan balabantuan. Dia meminta pertolongan pada petugas jaga lainnya. Jumlah mereka puluhan. Bukan lawan yang seimbang bagi pria seperti Tuan Adrian.

Tuan Adrian seperti hewan buruan yang siap dimangsa oleh sekawanan serigala. Laki-laki itu tersudut hingga ke dekat rak yang berisi banyak piring keramik buatan Cina.

Piung, piung! Piring-piring itu terbang ke arah para centeng. Tentu saja itu bukan serangan yang melumpuhkan. Terlalu mudah untuk ditangkis.

"Menyerahlah! Kami akan membiarkanmu hidup jika kau menyerah!"

"Tidak semudah itu bagiku untuk menyerah pada cecunguk seperti kalian."

Golok sudah siap untuk ditebaskan ke leher lawan. Tapi, para centeng itu menahan diri untuk tidak melukai tamu tak diundang yang datang bertandang.

"Apa maksudmu menyusup?"

"Itu bukan urusanmu."

"Dia mencari Tuan Valentino," wanita berkebaya itu masih ada di ruangan tempat pergumulan terjadi.

"Kau tidak bisa menyentuh Tuan Valentino. Siapa pun dirimu, sudah seharusnya mati karena kurang ajar masuk ke rumah orang tanpa permisi."

Tuan Adrian hanya tersenyum kecut. Tangan kiri orang itu mulai merogoh sesuatu di balik bajunya.

"Turunkan golok kalian, atau aku menembak kalian satu per satu ...."

"Hahaha, kami tidak takut."

Tuan Adrian mulai menyadari jika menggertak demikian tidak ada gunanya. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah berlari ke arah pintu. Tapi, dia hanya memegang pistol dengan peluru tunggal. Tak ada gunanya menembak satu per satu. Membutuhkan waktu untuk mengisi kembali sebutir peluru.

Mereka akan menyergapku begitu tembakan pertama dimuntahkan.

Namun, mata Tuan Adrian melihat sebuah kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian. Wanita itu ...

Dor!

Sebutir peluru terpaksa dimuntahkan ke arah wanita berkebaya di belakang puluhan laki-laki bersenjata. Dan, wanita itu pun roboh. "Arghh ...!"

Pandangan mata para centeng itu tertuju pada wanita yang telah terjatuh ke lantai.

Kesempatan emas untuk melarikan diri.

Hanya butuh kurang dari sedetik bagi Tuan Adrian untuk berlari ke arah pintu. Dia hilang dari pandangan.

"Kejar dia!"


Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang