47

767 159 5
                                    

Hari ini menjadi hari pertama ketibaan Panca dan Bajra di Batavia setelah sebelumnya mereka berdua pulang ke Desa Pujasari. Pagi yang cerah mengawali hari pertama mereka berdua menggelar barang dagangan.

Suasana pagi di Batavia tetap sama, ramai dan panas. Angin laut masih menguasai hawa sekitar. Berbaur dengan bau keringat manusia-manusia tanpa alas kaki.

Namun, suasana demikian hanya biasa terjadi di pelabuhan atau di pasar. Pasar tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai kalangan. Arab, Cina, Eropa dan pribumi berada dalam satu kawasan demi mendapatkan barang yang dibutuhkan.

"Raden, pasar sudah ramai. Tapi, pembeli ke lapak kita belum ramai," Bajra mulai mengeluhkan keadaan.

"Barang yang kita jual bukan barang kebutuhan pokok, makanya tidak mudah laku layaknya menjual beras," Panca memberikan alasan yang masuk akal.

"Ya, saya mengerti, Raden. Hanya saja, saya berandai-andai ... jika ada orang yang memborong barang dagangan kita. Seperti waktu itu."

"Waktu itu Tuan Adrian membutuhkan tenaga kita. Makanya, dia memborong barang dagangan kita agar bisa membantunya."

Bajra menganggukan kepala. Sembari meraba-raba gerabah di hadapannya. Sekedar mengisi waktu luang, menunggu pembeli datang.

Nampak seekor anjing mendekat. Tubuhnya penuh luka yang mulai mengering. Dia mengendus setiap beberapa gerabah yang terpajang di tanah.

"Hus, hus, pergi!"

"Mungkin dia lapar," Panca memperkirakan.

"Kasihan, anjing itu, dia hidup sendiri."

Si anjing berlari-lari kecil ke arah sekumpulan orang-orang yang sedang berbincang. Sebuah perbincangan di warung kopi kala pagi. Tentu saja si anjing kembali diusir oleh orang-orang yang duduk di bangku.

"Melihat anjing itu, aku jadi teringat anak-anak di Panti Asuhan," Panca mengingatkan Bajra akan sesuatu.

"Setelah pengasuhnya meninggal, siapa yang mengurus mereka?"

"Mungkin ada pengasuh pengganti."

"Semoga saja begitu."

"Kalau aku, lebih mengkhawatirkan Sophia."

"Ah, gadis itu tidak perlu dikhawatirkan."

"Maksudku, aku khawatir dia berbuat ulah lagi."

Bajra melirik Panca, wajah anak remaja itu tampak tegang.

"Raden, kisah di buku itu belum selesai."

"Itulah maksudku. Karena kisahnya belum tamat, apakah Sophia akan kembali melancarkan usahanya untuk berbuat jahat."

"Meniru apa yang tertulis di buku ...."

Keduanya saling tatap. Mereka sama-sama memikirkan sepak terjang Sophia yang sewaktu-waktu bisa saja berulah. Namun, ketegangan pikiran mereka berdua berubah ketika ada seorang perempuan menyapa.

"Raden Panca, berapa harga guci ini?"

"Oh, ini murah Bibi."

Percakapan berlangsung sebagaimana biasanya penjual dan pembeli. Sebagai penjual, Panca dan Bajra merasa senang ada pembeli pertama di pagi itu. Kegiatan mereka pun berjalan sebagaimana biasanya.

"Hanya ini barang yang kalian bawa?"

"Iya Bi, biasanya juga kami membawa barang dagangan satu pedati."

"Oh, begitu. Mudahan-mudahan cepat laku semuanya, ya. Besok kan perayaan Ulang Tahun Ratu. Jadi, sering ramai orang-orang berpesta."

Panca dan Bajra saling lirik. Suasana kembali tegang.

"Hei, kenapa dengan kalian? Bukankah seharusnya kalian senang? Barang dagangan kalian bisa laku keras. Banyak orang berkunjung ke sini. Bahkan orang dari luar Batavia."

Panca dan Bajra hanya tersenyum pada perempuan berkebaya itu tanpa bisa berbicara lebih banyak lagi. Setelah wanita itu pergi membawa sebuah guci yang dibelinya, kedua anak remaja itu malah terlihat semakin tidak tenang.

Mereka mengkhawatirkan hal yang sama.

"Kau masih ingat apa isi rangkuman cerita yang diberikan oleh Marta?"

"Ya, saya masih ingat, Raden."

Panca dan Bajra mengingat-ingat bagaimana akhir dari kisah Gadis dan Raja yang Lalim. Dalam pikiran mereka terbayang bagaimana kisah itu sangat menuntun Sophia untuk melancarkan kejahatannya.

"Setelah mengetahui kisah itu, perlahan aku mengerti kenapa gadis itu memiliki pikiran layaknya orang dewasa."

"Ya, dia bisa merencanakan sebuah kejahatan yang rapih. Bahkan polisi pun nyaris sulit mendapatkan bukti."

"Sayangnya, Marta tidak memberikan rincian kisah itu. Dia hanya memberikan gambaran sekilas tentang kisah Gadis dan Raja yang Lalim."

"Kalau kita bisa mengetahui rincian kejadian dalam kisah itu, setidaknya kita bisa mencegah Sophia untuk melakukan lagi hal keji."

Panca dan Bajra kembali membicarakan Sophia dan buku yang menuntunnya untuk melakukan kejahatan. Mereka berdua punya alasan kuat untuk merasa khawatir. Kejadian di Panti Asuhan beberapa hari lalu menjadi bukti jika Sophia benar-benar mengikuti arahan di buku yang diberikan oleh ayahnya, Tuan Valentjin.

"Menurutmu, apakah kemungkinan Sophia kembali melancarkan aksinya ...?"

"Jika saja Sophia patuh pada petunjuk di buku itu, maka besar kemungkinan dia akan kembali melancarkan aksinya."

Panca dan Bajra tidak menghiraukan hiruk-pikuk di sekitar mereka. Pasar yang ramai oleh pembeli hanya lalu-lalang saja di hadapan mereka. Begitupula mereka yang lalu-lalang tidak menghiraukan kedua pedagang gerabah yang masih remaja itu.

"Andai saja kita bisa membaca buku itu, setidaknya kita tahu apa isi di dalamnya."

"Mungkin kita bisa membaca buku yang sama, Raden. Tapi, di mana?"

"Buku, tentu saja ada di Perpustakaan."

Panca dan Bajra saling pandang. Kemudian mereka tersenyum.

"Kita coba datang ke sana, nanti."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang