63

746 150 1
                                    

"Hei, berhenti!"

Seorang serdadu pengawal menghentikan Tuan Adrian dan Panca. Hal yang wajar jika mereka disuruh berhenti melangkah. Keduanya sudah masuk ke dalam arena pertunjukan.

"Dia ... dia ... gadis itu ...!"

Tuan Adrian sulit menjelaskan maksudnya masuk ke arena pertunjukan. Dia dipegang oleh 2 orang prajurit pengawal dan tidak diberi kesempatan untuk bicara.

"Diam! Kau menerobos barikade!" Si prajurit pengawal membentak Tuan Adrian.

Sedangkan Panca tidak bisa bicara lebih banyak. Tubuhnya dipeluk erat oleh seorang prajurit berperawakan tinggi dan kurus. Bagaimana menjelaskan pada para pengawal itu jika apa yang sedang mereka tonton adalah orang yang diawasi sedari tadi.

"Kenapa?"

"Tuan, percayalah ... gadis itu ...."

Panca kehilangan kata-kata untuk menjelaskan. Keadaan yang kalut memang bisa membuat pikiran buntu. Apa yang ingin dikatakan Panca sebenarnya hanyalah hal yang sederhana. Hanya saja, ketika dia tertekan bagaimana bisa merangkai kata menjadi sebuah kalimat.

Panca menoleh pada Tuan Adrian. Laki-laki itu terbaring di tanah berbatu kerikil. Seorang prajurit pengawal menindih tubuhnya.

"Kau tidak mengenalku? Aku mantan Kepala Pengawal!"

"Aku tidak peduli siapa dirimu. Kau telah menembus barikade. Berarti kau mengajak berduel dengan kami!"

Kedua tangan laki-laki itu ditarik ke belakang hingga dia mengerang kesakitan. "Arghh!" Dia tak berdaya.

Kemudian Panca kembali menoleh ke arah arena pertunjukan. Opera Cina sudah sampai pada akhir persembahan mereka. Musik pun berhenti. Para penari memberikan salam kepada para pejabat dan tamu undangan di depan mereka.

Seorang gadis kecil yang awalnya menari-nari, kini dia berjalan ke arah panggung utama. Gaun gadis itu bergoyang terhempas angin. Tangannya memegang rangkaian bunga berwarna-warni. Bunga mawar dengan kelopaknya yang masih segar serta beberapa helai daunnya nan hijau masih menempel di tangkai.

"Jangan!"

Hanya teriakan itu yang bisa disampaikan oleh Panca. Sedangkan Tuan Adrian entah ke mana. Laki-laki itu dibopong menjauh dari arena pertunjukan.

Panca pun dipaksa untuk menjauh dari arena pertunjukan. Tapi, dia masih bisa bertahan. Sekuat tenaga tubuhnya meronta-ronta untuk melepaskan dekapan seorang prajurit pengawal.

Sayang, usaha itu tidak berhasil melepaskan tubuhnya.

Mata Panca masih sanggup melihat jelas apa yang dilakukan oleh gadis bertudung merah. Wajahnya tersenyum. Riasan bedak putih yang menyamarkan wajahnya masih menyiratkan keramahan pada seseorang di hadapannya.

Orang itu berjalan mendekati si gadis.

Sangat dekat, tidak kurang dari 2 langkah kaki orang dewasa. Seorang pria paruh baya dengan pakaian serba putih mendekati gadis itu. Sepertinya laki-laki itu mengerti jika si gadis akan memberikan rangkaian bunga itu sebagai persembahan.

Laki-laki itu tersenyum. Terlihat kumisnya yang mengembang.

Namun, langkah pria berbaju putih terhenti. Dia seperti ragu untuk semakin mendekat dan menerima rangkaian bunga. Dia menatap rombongan pemain opera Cina yang melambaikan tangan.

Laki-laki itu bermaksud untuk mundur.

Dor dor dor !

Ternyata si gadis berkerudung merah mengacungkan pistol pada pria di hadapannya. Peluru yang keluar dari moncong senjata api itu lebih cepat dibandingkan pria di hadapannya yang bermaksud menghindar.

Sontak, semua berteriak.

"Arghhh!"

Kumpulan orang yang sedari awal antusias menonton, kini bubar tanpa ada yang memberi perintah.

Suasana meriah berubah menjadi mencekam. Wahana permainan berhenti tanpa ada yang memberi perintah. Komidi putar pun berhenti berputar.

Para pedagang yang semula semangat melayani pembeli, emosinya berubah menjadi terheran-heran. Ada apa ini?

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang