38

810 175 5
                                    

"Malam ini, kalian menginap saja di rumahku." Tuan Adrian membuka sebotol wine dengan label lokal.

"Eee, kami terbiasa bermalam di pedati, Tuan."

"Maksudku, kita sama-sama membaca isi kertas dari Marta ... dan memahami isinya. Aku membutuhkan pendapat kalian."

Panca dan Bajra menganggukan kepala. Sulit untuk menolak tawaran dari Tuan Adrian. Laki-laki itu sungguh memanjakan kedua remaja yang baru saja dikenalnya. Perkenalan mereka baru beberapa hari saja. Namun, Tuan Adrian sudah menaruh kepercayaan pada keduanya. Si tuan rumah tidak segan untuk menyediakan banyak makanan bagi anak-anak kampung itu.

"Apakah Tuan sudah makan? Kenapa tidak menemani kami di sini?" Bajra merasa heran dengan sikap tuan rumah yang enggan menemani tamunya.

"Aku tidak biasa makan malam, sebanyak kalian. Silakan saja nikmati hidangannya."

"Tuan yakin akan minum itu?"

"Ya, hanya ... kebiasaan. Tapi, kalau kalian keberatan aku akan menyimpannya."

Tuan Adrian baru menyadari jika kedua anak itu tidak suka melihat orang meminum minuman keras. Dia lebih memilih secangkir susu hangat untuk menghangatkan tubuhnya. Ditemani sepotong roti dengan selai, laki-laki itu duduk di kursi. Bersama Panca dan Bajra, mengitari meja yang dilengkapi penerangan 5 buah lilin.

"Ternyata, masa pensiunku tidak berjalan dengan mulus," Tuan Adrian bersender di kursi sambil menyalakan sebatang sigaret.

"Itu artinya, belum waktunya bagi Tuan untuk pensiun," Bajra mencoba menyimpulkan.

"Mungkin kau benar. Rasanya urusanku di kota ini tidak pernah benar-benar selesai."

"Saya pikir, tidak akan pernah benar-benar selesai."

"Maksudmu?"

Bajra berhenti mengunyah. Dia meminum segelas air bening sebelum memulai lagi obrolan.

"Begini Tuan, saya dan Raden Panca pernah bertemu dengan Tuan Valentjin. Lebih tepatnya, kami pernah berurusan dengan orang itu."

"Dan, sekarang kalian berurusan lagi dengannya."

"Tepat. Itu maksud saya."

"Aku paham kemana arah bicaramu."

"Saya rasa, Tuan Valentjin akan datang kembali ke kota ini."

"Untuk balas dendam?"

"Bukan hanya tentang balas dendam, Tuan. Ini ... tentang ... kekuasaan."

Tuan Adrian mengisap sigaret di tangannya. Dia menganggukan kepala. "Menarik."

"Dia memiliki misi besar yang kita sendiri tidak tahu apa itu."

"Oh, sejauh itukah kau berpikir?"

"Karena kami menyaksikan sendiri, betapa orang itu sudah melakukan banyak persiapan."

"Bagian ini aku tidak mengerti."

"Tuan, anda bertugas di lingkaran kekuasaan negeri ini. Benarkah anda tidak mencium sesuatu yang 'lebih besar' dari sekedar balas dendam?"

Tuan Adrian menjauhkan punggungnya dari senderan kursi, "oh, aku tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulutmu."

Panca mengangkat alis, pertanda jika dia sudah tahu jika sahabatnya itu memang serius.

"Tuan, dia datang ke kota ini dengan mengubah namanya menjadi Valentino. Ditambah, dia membangun usaha vital yang bisa mengusik kekuasaan di Batavia."

"Perkebunan tebu. Itu hal biasa."

"Dia memiliki saham di Bank Batavia, Tuan."

"Bagaimana kau tahu?"

"Kami pernah berurusan dengannya. Tuan Valentjin memiliki banyak uang untuk mengendalikan pejabat di Batavia. Dia meminjamkan banyak sekali uang pada pengusaha di kota ini."

"Informasi darimana?"

"Tuan, kami memang anak desa. Tapi, Raden Panca ini punya banyak mata di Batavia."

"Ah, kau berlebihan." Panca menepuk pundak Bajra.

"Anda ingat kejadian kebakaran besar yang pernah melanda Batavia?"

"Ya, aku ingat."

"Dia sengaja membakar banyak sekali tempat usaha, kapal hingga kebun milik pengusaha."

"Dan, mereka bangkrut."

"Tapi, Bank Batavia memberi pinjaman dengan bunga sangat rendah dan syarat mudah untuk mengikat mereka."

"Bajingan. Kenapa aku tidak menyadari hal ini."

"Karena anda terlalu sibuk dengan urusan dalam istana. Padahal urusan di luar istana lebih ... menarik untuk diperhatikan."

Tuan Adrian masih sulit percaya jika Bajra bicara demikian layaknya pengamat politik.

"Kau belajar di mana urusan seperti ini?"

"Dari koran, Tuan. Dan, terkadang buku."

"Kau suka membaca?"

"Begitulah. Saya merasa terpana ketika membaca."

"Kau cocok jadi pejabat di istana."

"Tidak, Tuan. Saya tidak tertarik."

Tuan Adrian tertawa. Dia memadamkan api sigaret dan menyimpannya di asbak.

Bajra kembali meneruskan makan. Dia seperti kehabisan tenaga ketika berbicara panjang lebar.

"Saya sepenuhnya percaya pada sahabat saya, Tuan. Masalah yang sedang kita hadapi begitu rumit. Dan, saya harap Tuan tidak setengah hati menghadapinya."

"Oh, tentu tidak."

"Karena, yang saya pahami ... urusan kekuasaan bisa menimbulkan korban.  Harta dan nyawa."

"Baiklah. Jika Valentjin ingin menjadi penguasa di kota ini. Kenapa dia menjauh dari Batavia. Maksudku, bisa saja dia kembali mencalonkan diri menjadi pejabat."

"Menjadi penguasa itu tidak harus menjadi seorang pejabat, Tuan."

"Ya, memang. Bisa saja dia berada di belakang layar."

"Maaf, Tuan ... kalau saya harus mengatakan jika ... Tuan Gubernur Jenderal menjadi sasaran untuk dilemahkan karena ...."

"Karena dia tidak mau dikendalikan oleh lintah darat seperti Valentjin."

"Tuan Gubernur tidak akur dengan para pemilik modal di Batavia."

"Sejauh itukah pengetahuanmu?"

"Hanya perkiraan saja, Tuan."

"Hahaha, sulit percaya kalau aku membicarakan hal ini dengan anak usia 14 tahun!"

"Bagaimana, perkiraan kami benar?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang