Beberapa orang mungkin saat ini sedang memperjuangkan sesuatu. Beberapa lagi sedang dalam masa akhir hidupnya. Ada juga yang bersenang-senang, sebagian lagi mungkin sedang merenungkan hidupnya, sepertiku.
Meski hidupku penuh kenyamanan untuk saat ini, tapi ini hanya untuk sesaat. Aku sekarang adalah seorang pengangguran yang jadi korban dari pemecatan perusahaan manufaktur beberapa hari lalu.
Tentu saja masih ada uang tabungan untuk beberapa bulan, tapi krisis utamanya bukanlah soal uang namun kepercayaan. Harusnya sejak awal aku membangun relasi dengan orang-orang. Tidak hanya fokus melakukan pekerjaan saja.
Membangun kepercayaan memanglah sulit. Seperti sekarang pun terkadang tak percaya apakah aku mampu melewati masa sulit seperti sekarang.
Sejenak kupejamkan mata lalu kembali memandang kipas angin yang berputar perlahan di langit-langit apartemen.
Aku perlu melakukan langkah lain, tidak bisa berdiam tempat disini saja dan hanya menunggu panggilan kerja di perusahaan lain.
Sesaat kemudian ponselku berdering lalu aku mengangkatnya.
"Pak, Anda harus membuat surat pengund--"
"Kalian buat saja sendiri suratnya."
Aku langsung menutup panggilan, begitulah intrik perusahaan yang tak mau memberikan kompensasi kepada pegawainya, jika mereka ingin memanipulasi aturan pemerintah kenapa tidak sekalian saja membuat suratnya sendiri.
Ada banyak teknologi manipulasi saat ini, apa susahnya?
Aku benar-benar sudah lelah dengan segala drama yang terjadi, dari krisis ekonomi saat ini sampai ancaman lingkungan hidup, itu juga penyebab dimana banyaknya orang-orang yang menganggur saat ini, tapi bukan berarti ini adalah akhir.
***
Pagi-pagi aku mengemasi barang-barang lalu segera keluar dari apartemen. Tujuan perjalanan berikutnya adalah pulang ke kampung halaman, mungkin aku bisa mendapatkan pandangan baru disana, walaupun tidak yakin dengan situasi di rumah saat ini.
Melihat pemandangan kota terkadang terlalu sesak. Udara pagi masih serasa dingin namun polutan udara sudah berterbangan kesana-kemari. Membuatku harus memakai jaket tebal dan dobel masker, sekaligus kacamata hitam karena cahaya yang dipantulkan dari kaca gedung-gedung sekitar terkadang terlalu silau. Aku terus berjalan menenteng tas beserta koper besar kemudian duduk di sebuah halte menunggu bus datang, ini adalah saat-saat yang membosankan.
"Tolonglah, adikku ..."
Saat aku masih berada dalam lamunan pagi tiba-tiba terdengar suara samar yang masuk ke gendang telinga, ku toleh ke arah kanan kiri, tidak ada siapapun yang terlihat sedang memanggil. Mungkin hanya perasaanku saja, karena aku masih setengah mengantuk.
"Tolong selamatkan!"
Suara itu terdengar lebih keras dari sebelumnya, inginnya aku abaikan tapi rasa penasaranku mengalahkannya. Suaranya terdengar dari arah samping kanan agak jauh, aku berjalan menuju ke arah bangunan yang belum jadi, lalu sampai melewati gang sempit mencari sumber suara namun tidak ada siapapun.
Aneh sekali, mungkin ini disebut halusinasi suara? Tapi aku bahkan tidur cukup dan paling anti yang namanya mabuk-mabukan.
Namun saat aku masih mengamati sekitar tiba-tiba terasa anomali yang mendistorsi ruang dan waktu.
Tubuhku sedikit lebih berat lalu pemandangan berubah menjadi cukup mencekam. Langit berwarna merah, tekstur tanah yang kasar dan berwarna hitam menjadi pemandangan yang mendominasi di sekitar, aneh sekaligus mengagetkan.
Tempat apa ini? Mimpi, kurasa tidak.
Badanku berkeringat, napasku sedikit tercekat. Dengan langkah gontai aku berlari mengitari dataran hitam yang terhampar luas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasyHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...