24. Kesepakatan

108 6 0
                                    

"Dia menjadi seperti manusia?"

"Begitulah, agak menyeramkan bukan?"

"Tapi, kelihatannya lemah?"

"Kalau dalam penilaian tubuhnya ia, tapi dia sepuluh kali lebih hebat dari sebelumnya."

Matanya seluruhnya hitam, pendek dengan postur laki-laki, hanya terlihat berpakaian celana seperti terbuat dari tanaman sementara tubuhnya ia biarkan tak berbusana. Ia kemudian memandang ke arah kami namun tiba-tiba menghilang. Itu membuatku sedikit panik.

"Bagaimana kabarmu tuan Putri?" ucapnya yang sekarang sudah berada di depan kami, itu bukan teleportasi, tapi disebabkan gerakannya yang cukup cepat, ia melayang meskipun tak memiliki sayap.

"Kau sekarang tampaknya tak memiliki pengawal yang cukup bagus, apa kau sudah bisa menyerah?" ucapnya, ia berbahasa seperti kami. Nampaknya ia cukup percaya diri meskipun bentuk sebelumnya bisa dikalahkan oleh Tirta dengan mudah.

"Siapa juga yang mau jadi budak kalian, lalu melayani setiap perbuatan keji yang kalian kehendaki. Aku terlalu suci untuk itu."

"Aaah, iya. Bicara soal pelayan, kau tahu soal pelaya-"

Darr!!

"Kau tak berhak untuk bicara," peringat Tirta pelan namun dengan raut wajah dan tatapan yang terlihat penuh amarah.

Ia secara mendadak melakukan serangan yang entah darimana membuat raja iblis itu terlempar menghempas ke tanah hingga amblas menciptakan lubang dan retakan besar.

"Sadari posisimu makhluk bawah," kata Tirta dengan tegas, suaranya bergetar oleh kemarahan yang ditahan.

Namun Raja Iblis itu bangkit dengan mudah, seolah tendangan dari Tirta tak memberinya kerusakan apapun. Tubuhnya terlihat tak tergores sedikitpun.

"Kasar, sekali. Kau pikir dirimu makhluk atas, jika kau ingin marah, harusnya marahlah pada mereka yang menciptakan dunia ini, hahaha." Raja Iblis itu tertawa mengejek, seakan-akan benturan tadi tak berarti apa-apa baginya.

Terus terang aku tak berani berbicara dengan Tirta dengan dirinya yang sekarang, rasanya luapan emosinya begitu kuat yang jika aku sedikit saja berbuat kesalahan bisa jadi ia akan melampiaskannya padaku.

Tapi itu hanya berdasarkan asumsiku saja, tapi tetap saja itu membuatku khawatir. Karena terkadang seseorang yang terbawa oleh emosi akan kesulitan dalam mengambil keputusan yang tepat.

"Mikka, maaf ya memperlihatkan sisi diriku yang sangat berbeda," ucap Tirta.

"Eh ... Tidak apa-apa."

Emosinya mereda sejenak saat melihat ke arahku, namun kembali meluap ketika ia menghadap ke raja iblis itu. Sepertinya ada sisi lain yang membuatnya terlihat berbeda.

"Jangan sombong dulu meskipun kau sekarang sudah sedikit kuat!" teriak iblis, langsung memancarkan aura gelap. Tempat sekitar mulai terkikis dan terdistorsi, seperti ada kekuatan jahat yang menggerogoti alam sekitarnya. Aku tak tahu persis kenapa bisa seperti itu, tapi pemandangan ini membuat tubuhku bergidik kaku.

"Itulah yang kutunggu," ucap Tirta tersenyum.

Sesaat kemudian muncul cahaya dari bawah berbentuk tumbuhan yang menjalar cukup cepat. Debu yang berterbangan terlihat tak bergerak termasuk area yang terkena tumbuhan itu seolah waktu berhenti.

Kemudian terdengar gema nyari seperti sebuah lonceng jam. Hal itu membuat raja iblis yang terikat mengerang marah, namun tak berdaya, kemudian masuk ke dalam tanah dan menghilang tak berbekas.

"Apa yang terjadi?"

"Aku menyegelnya."

Entah kenapa, perasaanku tiba-tiba merasa lega. Beban yang menekan dadaku seakan terangkat, dan napasku yang sempat tertahan kini bisa keluar dengan bebas. Dalam beberapa menit, raja iblis itu berhasil ditaklukkan oleh Tirta.

Ada beberapa pertanyaan sebenarnya yang berputar di kepalaku, tapi untuk sekarang kurasa keheningan ini sudah cukup untuk membuatku tenang. Jantungku masih berdegup kencang, namun perlahan mulai mereda.

Tirta menatapku dengan penuh perhatian, mungkin merasa bersalah telah membuatku khawatir. "Kau tidak apa-apa, Mikka?"

"Kurasa begitu."

***

Malamnya, kami mengadakan pertemuan dengan Lina dan teman-temannya untuk membahas nasib mereka.

Kami duduk di sekitar meja panjang dalam sebuah ruangan di kastil yang biasanya digunakan untuk rapat. Penerangan cukup baik, memancarkan cahaya jingga yang hangat dari lampu-lampu gantung yang megah di atas kami.

Mereka sekarang tidak berani macam-macam karena melihat kekuatan dari Tirta. Ini seperti sebuah pesta perjamuan saja dengan kami berlima di dalamnya. Lina, Vall, dan satunya lagi bernama Moriv.

Tirta menjelaskan beberapa hal soal dunianya, dan kemudian memberikan pilihan bagi mereka untuk tinggal di dunia ini.

"Bagaimana tawaranku? Tidak begitu buruk, bukan? Lagipula, dunia kalian mungkin takkan menerima kalian lagi," kata Tirta, menatap mereka dengan tenang.

Lina dan Moriv saling pandang, terlihat ragu dan cemas, sementara Vall menatap Tirta dengan serius. "Apa maksudmu tidak menerima kami?" Ia nampaknya sedikit tersinggung dan bingung akan pernyataan Tirta.

"Sebuah kegagalan tidak akan bisa ditolerir lagipula jika kalian kembali, kalian takkan bisa bebas, dan mungkin menjadi objek eksperimen mereka."

"Tidak mungkin mereka melakukan hal seperti itu."

Vall nampaknya protes cukup keras, mungkin karena dunianya sendiri sudah nampak seperti rumah yang telah membesarkannya. Pernyataan Tirta sudah pasti seperti hinaan pada kampung halamannya sendiri.

"Perlu kalian ketahui, saat kalian berada di sini, mungkin sudah 5 tahun atau 20 tahun di sana telah berlalu," tambah Tirta dengan tenang, menatap mereka satu per satu.

Vall menggenggam pinggiran meja dengan kuat, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. "Apa katamu!?"

Mendengar percakapan mereka, itu hal yang tak pernah kuduga, sepertinya waktu setiap dunia akan berjalan berbeda dengan dunia lainnya.

Saat aku dan Tirta pergi, tempat ini juga tak terlalu banyak perubahan dari pepohonan dan debu di sekitarnya meski aku sudah beberapa hari disana. Kemungkinan itu bisa terjadi.

"Tunggu Tirta, bagaimana dengan duniaku?" itu membuatku penasaran, kalau setiap dunia memiliki waktu yang berbeda, kurasa pasti ada perbedaan juga antara duniaku dengan dunia Tirta.

"Kalau untukmu, kurasa dunia kita memiliki laju waktu yang hampir sama, jadi kau tak perlu khawatir."

Entah apa yang membuatnya bisa mengetahui hal itu, tapi dari penuturannya itu membuatku sedikit lega, apabila suatu hari nanti aku berkesempatan kembali ke duniaku meski aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal disini.

*****  

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang