“Jadi selama ini, kau hanya mempermainkan kami?” suaraku rasanya sedikit bergetar, meski begitu aku masih mencoba tenang.
Perbedaannya terlalu besar, ia sudah seperti layaknya orang berkuasa yang bermain dengan orang-orang yang ada di bawahnya.
Doreran menyeringai dengan meletakkan sisi ujung pedangnya di pundak, salah satu tangannya bertolak pinggang. “Ya, aku cukup menikmatinya, tapi dari awal kalianlah yang bermain-main atas situasi ini, permainan Pahlawan dan Raja Iblis itu sungguh kuno.” Suaranya serasa bergema, menambah berat atmosfer sekitar.
Ia mendekat mengeluarkan energi cukup berat yang berangsur naik, ada tanda aura layaknya nyala api yang semakin pekat keluar dari dalam dirinya. “Ketika kau selesai melakukan peperangan dengan para Iblis maka selanjutnya akan ada para manusia, sesamamu yang menjadi lawanmu, bukankah begitu?”
“Kau berkata seperti itu padahal kau sendiri adalah manusia, bukankah kau sungguh bodoh? Ada banyak tantangan yang perlu diatasi dalam hidup, aku pikir pikiranmu terlahir karena kau sudah menyerah sejak awal.”
“Hahaha… Kau salah besar!” Doreran tiba-tiba sudah berada di sampingku. Sebelum aku bisa bereaksi, tangannya terayun ke arah kepalaku. Dengan cepat, aku melakukan teleportasi.
Dash!
Namun, itu adalah kesalahan fatal. Dalam sekejap, aku merasakan pukulan keras menghantam kepalaku, membuatku terlempar. Sadar bahwa ini adalah efek dari skill pengubah persepsi miliknya, aku berusaha mengendalikan tubuhku di udara.
Lalu, aku menapakkan tangan dan kaki ke tanah, menggunakan teleportasi untuk memperbaiki manuver tubuh sampai aku berhasil mendarat dengan setengah berjongkok menghadap ke arahnya.
“Sebenarnya, aku takkan peduli dengan semua itu,” kata Doreran, senyum bengis terlukis di wajahnya. “Sensasi menaikkan kemampuan dengan mendapat lawan hebat... Itulah, segalanya bagiku!”
Dia gila, benar-benar sudah gila, seseorang yang menghalalkan berbagai cara demi tujuan gilanya. Tapi apapun itu, tidak mengubah fakta bahwa sangat sulit untuk mengalahkannya.
Skill pengubah persepsi sepertinya bisa ia lakukan jika dalam jarak dekat, jadi akan sangat sulit mendekatinya jika sudah seperti ini.
“Ada apa? Apa kau mulai takut, ada apa dengan kesombonganmu tadi?" Ejek Doreran.
“Mungkin saja.”
Nampaknya ia berusaha memprovokasiku. Tapi aku masih memiliki ide untuk mengalahkannya walaupun dirasa sulit.
Dalam hal pertarungan, Tirta pernah mengatakan padaku bahwa ketakutan juga merupakan efek tubuh dalam mempertahankan dirinya, juga bisa merupakan sensor terbaik untuk menghindari serangan.
Aku tak menyangkalnya, meskipun ketakutan terkadang meragukan tapi dalam posisi tertentu ketakutan juga bisa menjadi senjata untuk diri sendiri disaat melawan musuh kuat.
Dalam pertarungan sebelumnya, Zero bawahannya seringkali menghindari serangan astralku dan juga Senjata Doreran retak ketika terkena serangan astralku, itu artinya skill dan sihir masih berada di bawah kekuatan astral.
Meskipun bisa saja ia berusaha memancing kelemahan yang salah, tapi ini patut dicoba.
Aku kemudian menciptakan api dan es di sekitarku, lalu segera melesatkan itu ke arahnya, namun sudah tentu yang terjadi adalah ia menghindarinya dengan mudah.
“Hei-hei, apa kau sedang melempariku dengan kerikil? –Aggh!”
Sejenak ketika ia lengah, aku langsung menyerangnya dengan serangan cepat menggunakan perpindahan skill, beberapa es dan api yang kuciptakan dengan kekuatan astral berhasil mengenainya, menciptakan sayatan dan ledakan kecil.
“Kau mulai menyebalkannya ya? Aku muak bermain-main denganmu.” Doreran berucap dengan nada penuh amarah ketika serangan kecilku berhasil mengenainya.
Tanah yang kupijaki mulai bergejolak, patahan tanah mulai berterbangan dan sosok banyak makhluk yang bangkit dari kematian terlihat dari bentuk tulang-belulang sampai model zombie dan monster ada di sekitarnya.
“Kau bilang kau tak ingin serius melawanku!” teriakku sembari menghindari bebatuan yang berterbangan ke arahku. Lalu beberapa makhluk itu mulai berlari berusaha menebas namun aku berhasil menghindar.
Lalu aku beberapa kali melakukan serangan balasan seperti menebasnya lalu menghancurkannya dengan skill, tapi seperti halnya yang ada dalam film, undead semacam itu tak bisa mati jika penggunanya tidak dibunuh, beberapa kali kuamati serangan astralku lebih efektif membuat regenerasi undead tersebut terhambat. Namun tetap saja menyulitkan, serangannya semakin intens.
“Aku berubah pikiran, sepertinya kau memang layak mati lebih dulu!”
Kemudian sebuah naga besar keluar dari dalam tanah langsung bergerak lurus mendorongku ke depan, membuatku menahannya dan terseret membentur beberapa pohon dan tanah terjal, sebelum aku benar-benar terpelanting kembali ku lakukan teleportasi untuk menghindari naga tersebut.
“Sayang sekali, tamatlah sudah,” ucap Doreran yang ternyata sudah berada di depanku, ia menggunakan kakinya untuk menendangku hingga terhantam kembali ke permukaan tanah.
“Aghh!”
Suara retakan dari tulang-tulangku yang patah terdengar ketika ia kembali menghantamkan kakinya. Tapi aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini dengan sekuat tenaga aku langsung memegang kakinya, dan salah satu tanganku ku ayunkan dengan senjata Renkarna yang sudah kupanjangan dengan pemadatan es, seketika aku langsung menusuk jantungnya.
“Sekarang, bagaimana kau akan—“
“Mikka?—Agh!”
Tidak mungkin—jelas-jelas yang kuserang sebelumnya adalah Doreran, namun tiba-tiba itu berubah menjadi Pinova, padahal ia sudah terluka parah.
“Pinova, tidak—Ini salahku!”
Aku berusaha berdiri dengan sekuat tenaga dan menangkapnya ketika akan terjatuh napasnya cukup berat, ada perasaan bersalah begitu kuat, bagaimana bisa perhitunganku?—
Seharusnya aku tak mendekatinya di awal-awal tadi.
“Jangan salahkan dirimu—“
Meski Pinova terluka parah ia masih mencoba bangun ketika aku menangkap tubuhnya.
Darah mengucur deras meski aku berusaha membekukan lukanya akibat seranganku, namun nampaknya tubuhnya bereaksi berbeda.
Sesaat kemudian terdengar tepuk tangan dari arah depan tidak lain adalah Doreran, “Benar-benar menarik melihat dua orang sekarat yang saling membunuh, aku memang jenius bisa melakukannya disaat-saat yang rentan, haha.”
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasiHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...