Terlepas dari hasil akhirnya, aku senang semuanya telah berakhir, ia sempat memujiku walaupun pada akhirnya aku hanya berkontribusi cukup kecil padanya. Aku sempat panik ia akan kesulitan, namun ternyata itu cukup mudah.
Kemarin seusai pertarungan tersebut aku bertanya kenapa waktu itu dia bisa sekarat waktu pertama kali bertemu denganku.
Rupanya sebelumnya ia melawan raja iblis dan 5 jendral iblis sekaligus, jadinya waktu itu energinya benar-benar telah habis.
Untung saja aku datang tepat setelah pertarungan Tirta usai, jika tidak mungkin aku sudah tak ada sekarang ini, atau terjebak dengan medan pertempuran yang mengerikan.
**
Hari berikutnya di sore hari, aku kembali belajar membaca secara mandiri di perpustakaan, aroma khas kertas tua dan kayu memenuhi udara, memberikan suasana tenang dan damai. Di sudut ruangan, ada jendela besar yang menghadap ke taman, membiarkan cahaya matahari sore masuk dan menerangi meja tempat dudukku.
Sementara di seberang ada Tirta yang sedang menulis. Cahaya matahari memantul di atas meja kayu, menciptakan bayangan lembut di wajahnya yang tampak fokus. Sesekali, Tirta berhenti menulis dan menatap kosong ke arah jendela, seakan-akan mengingat kembali kenangan dari perjalanannya yang lalu.
"Kau sedang menulis apa Tirta?" tanyaku memecah keheningan, berharap bisa mengetahui cerita di balik tulisannya.
"Sejarah suatu peradaban," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatannya, jarinya masih bermain dengan pena di atas kertas.
"Apa kau tidak punya kemampuan menuliskannya secara instan?" tanyaku dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana.
Tirta tersenyum tipis dan mengangkat alis. "Mikka, apa kau mengerti bagaimana cara menikmati hidup?"
"Em ... Baiklah?" aku menjawab ragu, sambil mencoba menebak arah pembicaraan ini.
"Maksudku," kata Tirta sambil meletakkan penanya dan menatapku, "ketika kita melakukan sesuatu secara instan, maka itu berarti kita menghilangkan salah satu esensi di dalamnya."
Sepertinya, aku tahu maksudnya. Kurang lebih itu seperti bagaimana kita mencapai sesuatu. Ada sebuah pembelajaran di dalam suatu proses, dimana kita tidak bisa menemukan hal itu jika kita tidak mengalami seperti halnya teori tanpa praktek. Kurasa itu yang ia maksud.
"Seperti halnya ketika makan," lanjut Tirta, "bisa saja aku mentransfer makanan itu langsung ke perutku."
"Tapi kau tak dapat merasakan rasa makanan itu kan?" jawabku sambil tersenyum, mulai memahami analoginya.
"Iya," Tirta mengangguk pelan. "Itu mengingatkanku pada sebuah negeri."
Tirta bercerita ketika ia berada di dunia tertentu, sebuah negeri yang dihuni banyak ras yang ceritanya berfokus antara negeri manusia dan negeri elf. Negeri manusia terkenal dengan hidup yang santai, masyarakat yang ramah dengan segala hal terpenuhi karena wilayah yang subur, namun teknologi disana tidaklah maju.
Lalu satunya lagi adalah negeri para elf dengan kemajuan teknologi yang tinggi, hidup yang sangat terstruktur namun penuh dengan persaingan karena wilayahnya kurang subur. Tapi negeri para elf adalah negeri yang kuat sehingga negeri lain pun akan berpikir dua kali untuk membuat masalah dengan negeri tersebut.
Suatu ketika negeri manusia sudah lelah dengan ketebelakangan teknologi, meskipun rakyat mereka cukup terpenuhi kebutuhannya. Jadi pemimpin mereka melakukan revolusi besar-besaran, sebagian besar rakyat juga setuju karena dengan begitu mereka akan menjadi negeri yang kuat, mereka mulai belajar dari bangsa elf, membangun wilayahnya. Lalu bangsa elf pun mulai berdatangan ke wilayah mereka untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasiaHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...