Sore hari, aku kembali bersama Tirta setelah cukup lama tidak berbincang di tempat ini. Kami duduk di sebuah taman, menghadap matahari terbenam yang memancarkan sinar keemasan di langit.
Udara sore ini serasa sejuk, dengan angin lembut yang menyapu dedaunan dan membawa aroma bunga yang segar.
Tirta, dengan kekuatannya, telah berhasil memperbaiki kerusakan yang terjadi di sekitar. Penyerangan telah usai, namun itu hanya sementara.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau menyuruh mereka untuk bekerja sama denganmu?" tanyaku pada Tirta. Aku tahu ia memiliki tujuan tertentu. Aku melihat rambutnya yang pernah kupotong kini tumbuh panjang, menjuntai hingga di bawah pinggulnya, menandakan betapa lamanya ia berada di dunia lain sebelum kembali ke sini.
"Lebih banyak pasukan lebih baik, bukan?" jawab Tirta sambil tersenyum tipis, matanya menatap lurus ke arah matahari yang mulai tenggelam.
"Belum tentu juga."
"Apa kau meragukan kepemimpinanku?" Tirta menoleh padaku dengan tatapan netral.
"Tidak juga."
"Hmm... Lagipula, kehidupan mereka mungkin takkan sama seperti sebelumnya," lanjut Tirta, sembari memejamkan mata sejenak lalu menatap ke kejauhan.
"Bagaimana kau tahu, Tirta?" Pernyataannya itu menimbulkan pertanyaan bagiku, serta sekelimut pikiran yang memenuhi otakku.
Masih banyak hal yang belum kuketahui tentangnya, seperti sampai mana batas pengetahuannya itu. Aku dengar ketika Tirta menyuruh mereka untuk mengikutinya, mereka dijanjikan akan diberikan hadiah untuk berkunjung kembali ke dunianya agar mereka tahu keadaan dunia mereka sebenarnya.
"Naluri seorang pimpinan," jawabnya melemparkan senyum ke arahku. Dia cukup percaya diri sekali. Terkadang hal tersebut membuatku sedikit gerogi ketika mencoba untuk mendekatinya. "Lagipula, seseorang yang berpengalaman terkadang mampu membaca banyak hal, pikiran, termasuk alur hidup orang lain," lanjutnya.
"Jangan-jangan pil waktu itu kau berikan untuk mengetahui isi pikiranku juga?"
"Tentu."
"Eh, jadi soal mimpi aku menyatakan jatuh cinta padamu, itu juga dirimu sendiri?!"
"Eh?"
"Eh?"
Aku keceplosan, jadi perkataan awal Tirta itu sebagai pancingan. Padahal aku tak ingin membahasnya, rasanya memalukan, padahal belum tentu dia tahu soal sesuatu yang aku bahas di dalam mimpi.
"Hemm ... Begitu ya?"
"Apa maksudmu, itu hanya mimpi."
Tenang-tenang, aku mencoba menenangkan diriku, karena biasanya semakin manusia menyangkal, maka kejujurannya akan semakin terlihat.
"Tapi mukamu yang malu-malu itu tak memperlihatkan bahwa hal itu sekadar mimpi."
Benar sekali sepertinya, sebenarnya aku tak ingin perasaan ini mencuat begitu saja tanpa persiapan yang pas, aku butuh rencana. Ya, rencana untuk mengelak dari semua ini. Agar aku dapat mengungkapkannya disaat yang tepat.
"Emm, begini, kadang dalam mimpi orang suka tidak sadar kan?!"
"Hooo, jadi kau suka padaku?"
"Hei dengarkan aku, kau tidak paham maksudku kan?!"
Aku mencoba untuk tidak panik, tapi pikiranku serasa semakin blank semakin ku coba mengelaknya, semakin besar perasaan yang meluap, ibarat bendungan yang sudah tak mampu menahan air.
"Tentu saja aku paham," dia malah tertawa dan tersenyum.
"Kalau begitu aku akan-"
Terdengar pengecut, jadi aku mencoba pergi ke tempat lain untuk melakukan pekerjaan lain namun Tirta langsung sigap memegang tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
Viễn tưởngHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...