Melatih Ryuna

68 6 0
                                    

"Baiklah," gumam Ryuna.

Ia kemudian mundur ke belakang kembali melakukan ancang-ancang. Tanpa bersuara, ia berlari mengarah untuk memukulku, lesatan  serangannya lebih cepat dan tegas dari sebelumnya. Namun itu belum terlalu kuat untuk mengalahkanku.

Tapi sesuai dengan yang dikatakan pedagang budak itu, dia cukup kuat untuk bisa menghilangkan nyawa para penjaga, dalam tingkat ini ia sudah setingkat prajurit beladiri yang sudah terlatih.

Sesekali aku menahan dan menghindari serangannya, lalu saat aku menyerangnya ia juga mampu menghindar.

Tendangan, pukulan, kami saling adu serangan dan bertahan. Dalam beberapa menit aku merasa ia hampir bisa mengimbangiku, saat kuperhatikan gerak tubuhnya entah kenapa muncul kilatan seperti listrik yang mengalir di otot-ototnya, mungkin itu sesuatu yang mempercepat gerakan dan memperkuatnya.

Aku merasakan sesuatu, tapi bukan sihir, serasa lebih alami.

"Terima ini!" teriaknya.

Petir keluar dari tangannya yang hampir menyambarku, sangat kebetulan aku menghindarinya, jika tidak aku akan terluka parah.

"Mari bertarung lagi!" Ryuna nampak terlihat liar, energi ditubuhnya seperti semakin mencuat bertambah besar, pandangannya menjadi tajam seolah sudah seperti pemangsa.

"Tunggu, Ryuna, kita berhen--"

"Masih kurang!"

Ia melayangkan pukulan lagi, kali ini dialiri oleh petir yang lebih pekat, bahkan gerakannya meningkat beberapa kali lipat.

Jika aku tak menggunakan kekuatan astral untuk meningkatkan status di tubuhku, ini sudah pasti menjadi luka fatal.

Gawat! gawat sekali.

Tak kusangka ia jadi seliar ini, ini bukan lagi ajang latihan, namun ajang untuk mencoba saling membunuh satu sama lain.

"Kau bilang ingin melatihku kan?!"

Dia masih sadar, namun layaknya makhluk yang kelaparan, ia seperti tak menahan dirinya. Aku pun sebenarnya curiga dengan tanduk di kepalanya, ia terlihat seperti seorang iblis, namun dari aura dirinya tak mencirikan bahwa ia adalah iblis.

"Tenanglah, Ryuna, kita lakukan latihan ini dengan lembut." Aku mencoba menenangkan dirinya. Namun itu sepertinya tak berguna.

Ryuna menyobek lengan bajunya, sepertinya ia merasa terganggu dengan kain yang terlalu besar, karena mempengaruhi pergerakan tubuhnya, "Bukan latihan namanya kalau lembut, mari kita lakukan dengan kasar dan beringas!"

Wajahnya tersenyum mengerikan, berbeda dari sebelumnya yang nampak murung. Aku tahu kalau sebenarnya aku ingin membuatnya tersenyum ceria, tapi bukan begini caranya.

Menurut kesimpulanku,

Jadi ini sifat aslinya?

"Baiklah kalau begitu, jangan mengeluh kalau kau terluka!"

"Tentu."

Ia melesat dengan tubuh yang dibalut dengan kilatan cahaya kecil. Aku menciptakan es melalui kekuatan astral dan membuatnya melayang untuk menganggu pergerakannya.

Kami kemudian saling menyerang satu sama lain. Aku menciptakan bola api lalu mengarahakan ke arahnya, tapi percuma saja kecepatan bola api lebih lamban dari gerakannya.

"Es dan api ini takkan bisa mengalahkanku!"

Sesuai dugaanku ia lebih suka menerjang serangan-serangan kecil, tapi perubahan suhu yang cepat dapat menurunkan kondisi tubuh.

Ryuna bermanuver ke belakang, saat ia mencoba menyerang punggungku, aku langsung menghindar, menangkap tangannya lalu dengan gerakan sigap, membantingnya.

"Aghh!"

"Tertangkap kau sekarang."

Ia mencoba untuk bangkit, namun aku telah mengunci kedua tangannya dengan tanganku, sementara kakinya juga sudah kutimpa dengan kaki kiriku, sehingga ia tak bergerak.

"Lepaskan aku."

"Tidak, tidak, kau pasti menyerang lagi."

"Ini belum, aku--"

"Tenanglah Ryuna, kau akan kesakitan jika terus berontak, kita bisa bersantai dulu."

Mau tidak mau aku harus melakukan ini, meskipun dia cukup muda, namun insting liarnya cukup berbahaya juga. Entah dari ras apa, tapi setelah ku berhadapan dengannya, nampaknya rasnya sangat menyukai pertarungan dan ia terlihat benar-benar tak mau berhenti sampai ia terluka parah.

"Mikka? Apa yang kau lakukan?" Sebelum sempat aku menjinakannya terdengar suara yang tak lain adalah Pinova dengan wajah dingin dan suara rendahnya itu, ia menampakkan ekspresi yang begitu jijik.

"Aku tak tahu kau suka yang seperti itu," timpal Sonra yang berada di samping Pinova dengan tatapan yang terlihat kecewa, lalu memalingkan wajah sembari menggaruk kepalanya.

Posisi ini benar-benar membuat orang lain salah paham, mengelak pun aku mungkin akan mendapatkan perlakuan yang sama.

"Ya, aku menyukainya!" jawabku tegas.

"Dasar binatang!" Pinova lalu memukul wajahku dengan tongkatnya cukup keras membuatku terlempar jauh menerjang rerimbunan dan ranting.

***

Setelah kejadian itu, Pinova dan Sonra akhirnya mengerti apa yang telah kami lakukan ketika Ryuna mulai membuka mulutnya, ini menjadi kesalahpahaman yang cukup menyakitkan.

"Kenapa kau tidak bilang sedari awal?" Pinova terlihat khawatir, ia mengobati luka di wajahku karena pukulannya sebelumnya.

"Aku pikir kalian takkan mempercayai alasanku."

"Bagaimana mungkin kami tak mempercayaimu, kau sendiri sudah menyelamatkan kami waktu itu, harusnya kau tak boleh becanda begitu." Pinova nadanya tegas dan agak meninggi. Ia terlihat benar-benar peduli.

"Aku minta maaf, ini sa-salahku karena tak mampu menahan diri." Ryuna menyela obrolan kami, ia nampak menyesal, namun itu juga bukan salahnya.

"Ya, ya, tidak masalah, lagipula ini hanya kesalahpahaman kecil, dan sekarang kami tahu kalau kau cukup kuat Ryuna, jadi ini harusnya menjadi pencapaian tersendiri." Sonra yang duduk dekat tenda pun mulai berbicara.

"Tapi kenapa kalian berdua cepat sekali kembali?" tanyaku pada mereka berdua.

"Monsternya tiba-tiba pergi lalu akhirnya kami mengurungkan niat," jawab Sonra.

***

Malam pun menjelang, kami bergantian berjaga, aku melemparkan beberapa kayu ke api unggun untuk menjaga suhu tubuh tetap terjaga. Sayangnya Sonra hanya bisa membeli penghangat ruangan yang bisa digunakan di ruangan tertutup.

"Mikka, sepertinya aku mulai sedikit ingat," gumam Pinova disampingku, wajahnya nampak sendu dari biasanya.

"Ingat soal apa?"

"Ingat soal sebagian dari diriku."

"Bukankah itu bagus?"

Ia menggelengkan kepalanya pertanda bahwa ia merasa tidak nyaman dengan ingatan itu, "Sebenarnya, aku sudah lama mati."

*****

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang