Daerah Kumuh, di Sudut Kota

78 6 0
                                    

Di dalam sudut kota yang terlupakan, terhampar gang kecil yang terdiri dari rumah-rumah tingkat rendah. Jendela kecil pada bangunan berdebu ini memancarkan kesan kesepian, kotoran menempel pada kaca-kaca jendela yang jarang dibersihkan.

Bau tidak sedap merayap di udara, campuran antara aroma busuk dari genangan air kotor dan aroma anyir yang berasal dari limbah sampah yang teronggok di sepanjang lorong sempit terasa tak mengenakkan.

Tali-tali jemuran dan baju yang terkibar di lantai pertengahan membuat sensasinya menjadi bercampur tidak karuan.

Tidak jarang, gubuk kecil di pinggiran gang ini menjadi tempat bagi tunawisma yang mencari tempat perlindungan dari cuaca dan kehidupan yang sulit. Mereka hidup di bawah naungan ketidakpastian, meratapi kehidupan yang keras di bawah atap retak yang melambai-lambai di atas kepala mereka.

Suasana senja menyiratkan bayangan gelap di antara bangunan-bangunan kumuh memberikan kesan suram pada latar perkotaan yang sepi.

Di tengah sepinya sore hari, langkah kaki kami terdengar bergema dari dinding-dinding sekitar, genangan air dari hujan semalam masih belum juga menyesap sepenuhnya sehingga suara dari pantulan sepatu dan bebatuan yang memecah air meredakan keheningan sekitar.

"Sonra bukankah sebaiknya kita kembali saja?" Pinova yang berada di belakang nampak tidak nyaman dengan kondisi yang ada, aku pun sebenarnya begitu.

Tapi Sonra bersikeras pergi, sehingga kami mau tak mau harus mengikutinya.

"Sebentar lagi kita sampai." Sonra nampak tak terganggu dengan situasi yang sudah ada atau sebenarnya dia memang terganggu namun antusiasme dirinya mengalahkan rasa jijik yang menyelimuti sekitar tempat ini.

"Baiklah, kita sampai." Sonra lalu masuk melalui pintu kecil diikuti kami yang berada di belakangnya. Ruangan di depan nampak kumuh lalu ada beberapa penjaga dengan senjata besar memperlihatkan senyum yang tak ramah, sampai kemudian Sonra berbicara dengan mereka.

Salah satu dari penjaga itu kemudian mengantar kami masuk ke ruangan yang lebih dalam dengan menuruni anak tangga rahasia. Penerangan dari dinding hanyalah obor, sehingga nuansa remang-remang dan kegelapan yang mencekam cukup terasa.

Tak berapa lama kami sampai di tempat yang kami tuju, suasana terasa tercekik oleh aroma yang tak sedap, campuran antara bau keringat, darah, dan ketakutan yang merasuk ke setiap sudut ruang bawah tanah ini.

Tidak lain, tempat ini adalah salah satu dari pasar budak, para manusia dan ras lain dipamerkan layaknya barang dagangan. Mereka tampak lelah dan tak berdaya, terbelenggu oleh rantai atau terikat pada tiang-tiang kayu.

Terkadang, teriakan pahit dari budak yang putus asa memecah keheningan yang menyelimuti ruangan, namun tak ada yang peduli.

Penjaga itu kemudian menyuruh kami masuk ke dalam ruangan lain, disana terlihat seseorang dengan tampilan yang glamor yang cincinnya penuh dengan emas dan berlian.

"Selamat datang tuan dan nyonya, ada yang bisa kami bantu?" ucapnya dengan cukup ramah, terlihat pakaiannya rapi dengan cincin emas dan berlian yang terpasang di jari-jarinya. 

"Kami ingin membeli budak," jawab Sonra dengan nada yang cukup santai. Nampak pedagang itu tersenyum lalu kemudian mengantar kami ke tempat lain.

Kami dipindahkan ke ruang tamu yang lebih layak dengan ornamen khas gaya pertengahan dan kursi yang terbuat dari kayu yang cukup menjadi tempat duduk kami bertiga.

Sejujurnya aku benci dengan tempat ini dan segera ingin menghancurkannya, namun walaupun tempat ini hancur belum tentu hidup para budak ini akan bebas begitu saja, dalam zaman yang identik dengan abad pertengahan. Kegilaan semacam ini meski di negara paling maju tetap saja ada, termasuk wilayah Luvlia ini.

Umumnya budak biasanya diambil dari tawanan perang, penculikan, orang yang sudah tak mampu, dan juga hasil dari menjarah suatu wilayah.

Ide dari Sonra adalah membeli budak untuk membantu perjalanan kami sampai ke negeri yang dikuasai para iblis karena murah, tapi tetap saja, kami seperti melewati garis merah yang seharusnya menjadi larangan bagi calon pahlawan seperti kami.   

"Kami punya banyak barang bagus disini, anda sekalian sudah melihatnya sebagian bukan, kami memiliki budak yang dapat bertarung, melakukan tugas-tugas kecil, bahkan pelayanan yang memuaskan, mana yang anda inginkan?" tawar pria tersebut yang sebelumnya memperkenalkan diri bernama Mollum.

Ia sepertinya menguasai beberapa area penjualan di sekitar sini, lalu tempat ini adalah pusatnya dimana ada banyak yang dikurung juga di tempat sebelumnya.

"Sonra lebih baik pilih saja yang menderita, nampaknya ada seseorang yang juga lemah dan berpenyakitan, kita beli saja dia." Pinova mencoba memberi saran.

"Kau pikir ini suatu cerita dimana kita harus membeli budak yang lemah, murah, dan tak berguna lalu mendidiknya begitu? Sehingga budak tersebut dapat mengeluarkan potensi terpendamnya. Tentu saja tidak, mana ada realita seperti itu?"

Sonra nampak tak menggubris saran dari Pinova. Sepertinya Sonra sendiri memiliki perhitungan sendiri berdasarkan logikanya, namun berbeda dari Pinova yang mengukur berdasarkan perasannya.

"Lalu apa kita akan membiarkannya mati begitu saja, itu sangat menyedihkan, dimana nuranimu?"

"Mengunjungi tempat ini pun dan mencoba bertransaksi sudah termasuk tak bernurani Pinova, kita rekan dalam kejahatan yang sama disini."

"Kalau begitu kita hancurkan saja tempat ini, lalu bebaskan para budak itu."

"Apa yang kau katakan?!" Sonra kaget termasuk aku yang berada di sampingnya. Bagaimana tidak, Pinova langsung berkata secara blak-blakan berada di depan penjualnya soal ingin menghancurkan tempat ini. Nampaknya Mollum yang mendengarnya sedikit bereaksi pada tangannya yang terlihat menggenggam.

"Abaikan saja soal itu Tuan, dia hanya becanda, kami benar-benar hanya ingin bertransaksi." Sonra berusaha untuk meredakan efek dari perkataan Pinova.

"Jangan khawatir soal itu," tanggap Mollum dengan melengkungkan bibirnya, "Bagi Nona, itu adalah reaksi yang wajar."

Mollum diam sejenak lalu kembali melanjutkan perkataannya, "Memang ini adalah bisnis yang gelap dan penuh resiko, tapi beginilah kehidupan kami dan cara kami bertahan hidup, tentu saja jika bisa kami takkan melakukan hal seperti ini."

*****

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang