Buruk sekali, Doreran dan Zero masih dalam kondisi prima, sementara fisik dan psikisku sudah seperti rongsokan yang sudah siap dibuang di pasar loak.
Bahkan rasanya untuk mengangkat tubuh saja sudah seperti dibebani beberapa kilo karung beras di pundak.
"Kau bukan seseorang yang hebat, tapi sepertinya kemampuanmu cukup berguna." Doreran berjalan dengan santainya ke arahku, namun kemudian ia tiba-tiba menghilang dan langsung berada di depanku. "Inginnya aku sedikit bermain-main, tapi kurasa sekarang bukan saat yang tepat."
Ia kemudian mengangkat pedangnya ke langit, aku tak dapat menghindar lagi, hidupku akan tamat.
Ding!
TIba-tiba terdengar bunyi benturan senjata, tidak lain itu adalah Pinova yang menghalau serangan dari Doreran. Ini untuk kedua kalinya aku pernah diselamatkan dalam hidupku ketika sesuatu hampir membunuhku.
"Bagaimana kau masih berada disini, seharusnya kau dan Laruma sudah pergi jauh dari sini?" ucap Doreran wajahnya nampak bingung.
Pinova kemudian menyerang Doreran dengan tanah yang menjalar, itu membuatnya mundur, setelahnya Pinova mendekat ke arahku.
"Mikka, lukamu parah sekali ..."
Pinova mendekat ke arahku lalu ia mencoba membopongku, "Sebaiknya kita obati dirimu."
"Pinova, bagai--mana bisa ... Kau disini?" Aku memaksakan diriku untuk berdiri, meskipun aku menolak pertolongannya, ia pasti memaksaku, yang bisa kulakukan sekarang adalah percaya padanya.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," ucapnya dengan wajah tersenyum.
Namun kemudian pandanganku mulai sedikit kabur, kurasa aku benar-benar sudah tak dapat mempertahankan kesadaranku sebentar lagi.
Dang!
Suara dengingan dari dua senjata yang saling beradu berbunyi.
"Hei, jangan mengabaikanku!" teriak Doreran.
Ia tiba-tiba menyerang menggunakan pedang namun berhasil ditangkis oleh tongkat Pinova.
Namun dari belakang Doreran, Zero melesat dan menusuk perut Pinova.
"Pino-va ..." Aku ingin melakukan sesuatu tapi ku sudah tak dapat menggerakkan badanku. Tubuhku benar-benar sudah tak dapat dipakai rasanya.
"Lihatlah--"
"Ya, kalau kalian pikir sudah menang ketika berhasil melukaiku? Sejak awal aku tak pernah mengabaikan kalian berdua." Pinova tersenyum, aku melihat ia menggerakkan jarinya, secara seketika muncul sebuah lingkaran layaknya diagram berwarna biru nila.
"Apa kau lupa, kalau tidak hanya skill saja yang bisa digunakan untuk memindahkan seseorang? Kalian berdua salah besar."
Sesaat kemudian lingkaran yang layaknya sihir itu kemudian aktif, segera semuanya memerah lalu pemandangan berubah seketika.
Tanpa kuduga Pinova berhasil memindahkan kami semua ke rencana semula.
"Serang!" Teriak orang-orang terdengar dari sekeliling. Pinova segera mencabut pedang yang menusuk perutnya lalu segera membawaku menjauh.
**
Ia meletakkanku ke sebuah ruangan dengan wajah yang terlihat masih tentang.
"Pino ..."
"Bertahanlah, aku akan menyelematkanmu."
Sejenak kemudian aku juga mendengar langkah kaki, ia mendekat tidak lain adalah Ryuna, "Ayah, kau baik-baik saja."
"Jangan khawatir Ryuna, Ibu akan mengobati Ayah."
Pandanganku kabur, Pinova nampak melakukan sesuatu dengan melepas beberapa kancing bajuku. Ia menyayat tangannya sendiri, entah apa yang ingin ia lakukan.
Tapi kemudian pandanganku mulai gelap, rasanya tubuhku mati rasa. Aku hanya bisa mendengar ledakan dari luar ruangan dan semangat bertempur dari orang-orang yang sepertinya sedang mengepung Doreran dan Zero.
Harusnya jika hanya terkena serangan Doreran saja, aku mungkin masih sanggup bertahan walaupun sekarat, namun penggunaan teleportasi nampak benar-benar merusak sendi fisikku.
Hingga kemudian seluruhnya menjadi hilang. Suara yang semakin samar dan aku mulai tak mendengar apapun lagi.
***
Srkk! Srkk!
Aku mendengar suara sebuah sapu, seseorang sepertinya sedang menyapu sesuatu. Tapi aku tak melihat atau merasakan apapun.
Dalam perasaan yang begitu gelap, aku merasakan sebuah kehangatan, pemandangan tiba-tiba berubah menjadi suasana rumah kecil dengan sebuah kebun yang nampak berantakan.
Ini mirip seperti dalam mimpi sebelumnya, aku juga melihat Tirta, ia nampak kesal sedang menyapu ketika ia memotong beberapa tangkai pohon lain, seperti hama yang menganggu kebunnya.
"Tirta?" gumamku ketika melihatnya. Entah, ini nampak seperti lanjutan dari mimpiku.
"Mikka, kau datang juga." Ia tiba-tiba menarik tanganku lalu memperlihatkan keadaan kebun yang sebelumnya penuh dengan bunga, disisi lainnya malah ditumbuhi tanaman rumput, "Lihatlah, jangan menebar biji-bijian aneh di dalam kebun, jadinya tumbuhan bunganya, jadi tidak sehat kan?"
"Tirta, sejak kapan aku menebar biji?" Aku hanya menggelengkan kepala, aku tak mengerti maksudnya.
Namun ia menjadi agak kesal kemudian mencabut salah satu tanaman di kebun tersebut, "Lihatlah akarnya! Ini bisa mengambil nutrisi tanah untuk bunga disini."
Tapi terus terang, aku tak terlalu paham soal perkebunan, jadi apapun yang dikatakannya, itu seperti layaknya mencoba menghidupkan sepeda tanpa mesin dengan bahan bakar minyak, jelas tidak akan pernah cocok.
Namun kemudian seseorang menggenggam tangan Tirta lalu memegang batang pohon tersebut, tak lain aku melihat seorang gadis lain. Itu membuatku kaget, itu seperti Pinova namun ia tak memiliki tanduk dan terlihat lebih muda.
"Mau aku bantu?" ucapnya menatap Tirta dengan tersenyum.
"Siapa kau?"
"Pinova."
Entah mimpi macam apa ini, rasanya benar-benar aneh. Kenapa ada dua orang ini di dalam mimpiku. Kalau tidak salah sebelumnya aku hilang kesadaran karena menggunakan kekuatan yang berlebihan.
"Apa yang ingin kau lakukan, kenapa gadis asing sepertimu tiba-tiba berada disini?"
"Aku hanya ingin membantu, lagipula tanaman ini tidak sepenuhnya hama, kita bisa memanfaatkan daunnya sebagai makanan atau obat dan juga jika kita membakarnya, abunya bisa dijadikan pupuk," jelas Pinova.
"Itu memang benar, tapi jelas disini bukan itu akar masalahnya, aku hanya memiliki satu tubuh dan dua tangan, jelas aku tak sanggup jika harus mengurus keduanya, lagipula bunga dan tanaman itu saling menghimpit."
"Aku akan membantumu untuk memindahkannya."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasiHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...