51. Ruang Tak Berujung

78 7 0
                                    

"Apa kau mau mempelajarinya?"

Aku terkejut itu dapat dipelajari, aku kemudian berkata padanya, "Ya tentu."

Namun Tirta tertawa ketika mendengar perkataanku, Ia menutupi mulutnya ketika tertawa terpingkal-pingkal.

"Tirta, kau baik-baik saja?"

Ia tertawa lebih keras, lalu sejenak ia mulai dapat mengendalikan tawanya, "Ya-ya, sebenarnya itu tak dapat dipelajari."

"Kenapa tak bilang saja dari tadi."

Ia menjadi lebih tenang kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku ingin melihat reaksimu, sebenarnya ini terpisah mirip dengan simbol yang ada di tanganku."

Sepertinya yang ini tidak terlalu lucu, tapi aku cukup lega ketika ia tak melakukan hal-hal yang membahayakan seperti komedi yang dilakukannya beberapa waktu lalu.

"Baiklah, mari kita berangkat."

Setelah itu, kami kembali keluar dari gua lalu menyusuri lereng dan lembah yang curam, bebatuannya memiliki tingkat kelicinan yang lumayan ekstrim.

Selama hampir satu jam kami melakukan hal yang sama, berjalan dan berteduh sesekali.

Sepanjang perjalanan, nampak pemandangan hanya terlihat warna putih dan hitam.

Sampai kemudian kami melihat sebuah piramid yang tertata seperti bebatuan yang saling menghimpit satu sama lain layaknya segitiga tak beraturan, berada di tengah-tengah dua tebing bebatuan yang tinggi, piramid ini seperti simbol dari sebuah kemegahan dan kemewahan di antara tebing-tebing yang tergerus oleh salju dan angin.

Meskipun bentuknya tak beraturan, namun permukaannya benar-benar kokoh seperti tak dapat tergores oleh apapun. Warna kuning dari piramid seperti lapisan emas menyingkap tiap salju yang turun sehingga tak ada yang menutupi kilauan piramid ini.

"Akhirnya kita sampai ke salah satu wilayah raja Iblis, persiapkan dirimu," ucap Tirta.

Aku segera mengambil tongkat dari saku, lalu sedikit melakukan pemanasan.

Raja Iblis yang akan kami serang adalah Raja Iblis Naga, jika sebelumnya raja iblis Goblin yang mampu merasuki fisik orang lain dan banyak makhluk lainnya, dan juga raja Iblis Serigala yang mampu melenyapkan apapun.

Kali ini kami berhadapan dengan raja iblis yang lebih kuat lagi. Raja iblis ini mampu menciptakan ruang apapun.

Kami kemudian menyusup ke bangunan yang berbentuk segitiga melalui beberapa celah, tiap dindingnya benar-benar berlapiskan emas. Ini seperti sarang tawon saja, namun teksturnya benar-benar halus.

***

Saat masuk semakin dalam, aku melihat beberapa makhluk aneh, seperti ular berkaki dua, lalu ada pasukan iblis yang berbentuk kadal dengan napas api.

"Tirta, kenapa raja iblis tersebut tak memiliki nama?" bisikku padanya di belakang.

Ia kemudian melihat ke arahku dan mendekat lalu berbisik, "Jangan katakan itu, mereka akan semakin kuat jika dipanggil namanya, Itulah kenapa aku tak mengatakan sewaktu menjelaskannya pada kalian."

Aku baru tahu tentang hal itu, tapi dipikir-pikir bisa juga terjadi, di duniaku pun pemberian nama terdapat kepercayaan turun-menurun bahwa nama yang baik atau tepat akan membawa seseorang tersebut ke dalam kesuksesan, tak dapat dipungkiri.

Setelah membisikkan itu, tiba-tiba Tirta dengan jemarinya yang lembut dan dingin menarikku perlahan melawan arah sehingga pikiranku bingung karenanya.

"Ada apa Tirta?"

"Jangan disini, ada jebakan, ayo pindah ke jalur lain."

Tak kusangka ternyata seseorang sepertinya bisa salah juga, aku pikir akan lancar-lancar saja.

Ia kemudian kembali berkata padaku tanpa menatap dan masih menggandengku, "Kau tahu tempat ini sebenarnya berubah setiap detiknya."

"Aku tak merasakan apapun Tirta."

Aku melihatnya tak lebih hanya seperti lorong-lorong yang saling terhubung satu sama lain. Ini memang ruangan yang begitu besar, tapi dengan kepadatan temboknya sangat sulit bahwa jalurnya berubah setiap waktu.

"Itu karena jalurnya mempengaruhi persepsi kita agar terlihat tetap," Ia masih menggandengku, kurasa agar aku tak terlepas lalu terpisah darinya. Ia menggenggamku cukup erat, lalu mulai berjalan lebih cepat, "Ayo, percepat langkahmu, Mikka."

Aku mulai mempercepat langkah, kemudian berlari mengikuti langkahnya, beberapa saat aku merasa agak pusing karena berputar-putar.

Namun setelahnya, pusing itu hilang ketika kami keluar dari labirin itu.

***

"Kenapa kita kembali?" tanyaku padanya.

"Keamanannya lebih kuat, selain labirin tersebut berpindah-pindah ia juga memiliki sistem dimana jika kita tak sampai ke pusat dalam beberapa menit, kita akan terjebak di tempat itu selamanya."

Pemaparannya sungguh tak masuk akal, tapi itu benar-benar menyeramkan. Aku masih terengah-engah mengambil napas, labirin itu juga rupanya seperti menyedot daya hidupku.

"Mikka kau tak apa?" tanyanya padaku ketika aku terduduk dan masih bernapas cepat. "Peganglah tanganku, ini akan membuatmu lebih baik."

Rasanya tubuhku kembali teraliri energi olehnya, ia seperti memberi energi tambahan padaku.

"Entah kenapa aku merasa jadi beban," ucapku padanya setelah ia melepas tanganku begitu staminaku kembali penuh.

Lalu ia membalas perkataanku sembari memejamkan mata, "Ya, kau memang beban, jadi jangan mengeluh agar kau tak menambah beban lagi."

Biasanya orang lain takkan bilang begitu, lalu akan menghibur lawan bicaranya, tapi di situasi seperti ini Tirta bersikap berbeda padaku.

"Sungguh blak-blakan sekali."

"Ya, sesekali aku memang seperti ini, jadi kau harus terbiasa."

Baiklah Tirta, aku mengerti, aku rasa untuk sekarang aku akan mencoba untuk tak mengeluh.

Tapi tempat ini, tetap saja sulit sekali membayangkan bisa menembusnya.

Tirta masih melihat-lihat celah lain yang bisa ia lewati, "Ayo kesana, Mikka." Ia menunjuk ke arah lubang di atas tumpukan piramid paling atas yang terletak paling pojok.

"Apa disitu tempatnya?" tanyaku.

"Hanya menebak, sesekali hidup perlu mengandalkan keberuntungan bukan?"

Aku harap ia benar-benar memiliki sebuah keberuntungan, nyatanya di dunia nyata aku sendiri kurang beruntung dalam beberapa hal.

Tirta nampak antusias ia kembali menarik tanganku, lalu aku mengikutinya menaiki beberapa bebatuan berwarna hitam yang bertabur salju, agak licin tapi tak masalah, aku sudah terbiasa melompati bebatuan licin dengan menggunakan kemampuan astral dengan memfokuskan tenaga dan energi pada kaki.

Tak berapa lama kami kemudian sampai di lubang paling atas, karena lubangnya kecil jadi kami terpaksa merangkak.

"Tolong jangan mengintip ya," ucap Tirta.

Itu disebabkan meski cuaca cukup dingin ia masih menggunakan rok pendek, aku heran kenapa ia tetap memakai pakaian yang terbuka di bawah padahal udaranya begitu dingin.

"Kenapa kau tak berganti pakaian saja Tirta?"

Tirta mulai merendahkan tubuhnya lalu mulai merangkak, "Kalau seperti itu aku tak bisa bergerak secara elegan dan manis. Sebagai seorang ratu daya tarik juga penting."

"Memangnya kita sedang ingin melakukan acara pameran?"

*****

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang