Aku bisa saja memakan pil kemampuan itu untuk lebih cepat mensukseskan misi ini, tapi sebetulnya aku masih ragu dengan efek sampingnya, dan batas pemakaiannya tidak ada catatan apapun yang diberikan oleh Tirta. Tapi tetap akan kupertimbangkan jika keadaan benar-benar darurat.
Aku masih mengamati beberapa kelompok yang mulai bergerak. Aku pun mulai menuju ke bawah tempat mereka menyerbu. Tak berapa lama terdengar bunyi tembakan disusul sebuah suara dentuman. Aku tak tahu pasti, tapi diantara mereka sudah memulai pertempuran di dalam bangunan kastil.
Aku mulai memasuki lorong kastil yang lumayan luas, dengan dinding-dinding tebal dari logam yang dipoles halus. Setiap langkahku menggema di lantai yang dingin.
Setelahnya, aku melihat beberapa robot penjaga, mereka bergerak dengan lincah di atas kaki-kaki roda mereka, sementara lengan mekanis mereka berderak lalu mulai menembakiku.
Segera kuciptakan es sebagai perisai dan bersembunyi di salah satu penyangga bangunan dari tembakan para robot itu.
**
"Tim alpha bagaimana keadaan kalian?"
Aku menghubungi salah satu tim yang berada di depanku, tapi entah kenapa tidak ada respon. Aku coba hubungi tim lain, tim yang bersama Lina masih aman karena mereka tim utama yang menyerang kastil, sedangkan tim lainnya dalam keadaan terdesak.
Aku melihat beberapa suara tembakan beruntun di salah satu tim, aku menyuruh beberapa dari mereka mundur. Apa boleh buat, sebenarnya timku adalah tim pancingan.
Kemudian setelah memastikan posisi mereka, aku segera bergerak dari tempat berlindung membuat beberapa manuver lalu melempar pisau yang kulapisi es tipis untuk menyerang beberapa robot.
Tak! Tak!
Beberapa robot berhasil kutumbangkan.
Melihat ketebalannya, sudah pasti kebal dengan peluru biasa, jadi aku menggunakan pisau yang dilapisi es untuk memperkuat dan mempertajam serangan, untung saja itu berhasil menembus besi-besi bergerak itu.
Aku terus melakukan serangan hingga sekitar 40 robot berhasil kulumpuhkan, lumayan untuk pemanasan. Namun, pemandangan berikutnya membuat perutku mual.
Di depanku, beberapa mayat timku tercerai-berai tubuhnya, bergelimpangan di lantai. Seharusnya aku datang lebih awal. Tanganku bergetar, meski aku berusaha menenangkan diri. Dadaku sesak dan napasku agak tersengal. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, mengendalikan rasa mual yang mengancam naik ke tenggorokanku.
Memang ada perbedaan jauh melihat jasad monster dan jasad manusia, tapi tak kusangka akan sampai sejauh ini. Tapi, tetap saja aku harus menahannya demi menjalankan misi.
Dari depan, aku melihat seseorang membawa parang yang sudah berlumur darah. Parang itu sepertinya dilapisi oleh teknologi laser sehingga dapat memotong sesuatu dengan mudah, terlihat dari anak tangga dan jasad yang bergeletakan di tempat ini.
Lututku hampir lemas, namun aku menguatkan diri. Wajahku tegang, mata terbuka lebar, namun aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku sekarang. Aku mengatur napas, menggenggam erat pisau es di tanganku, siap menghadapi musuh yang ada di depan.
Tanpa sepatah katapun darinya, ia berjalan lalu mulai berlari ke arahku, segera kemudian aku menghindari tebasannya. Melemparkan beberapa peluru es ke arahnya.
Namun ia berhasil menangkisnya dengan perisai yang melayang di tubuhnya berbentuk cekung. Ini lebih sulit dari dugaanku, gerakannya juga cepat.
"Hei, bagaimana posisimu disana?"
"Aku terdesak, bagaimana denganmu Lina."
"Sejauh ini berjalan lancar, mundurlah dan kemari jika sempat, kami akan membantumu."
Karena Lina telah menghubungiku, aku yakin mereka sudah mengambil alih kastil dan menyelesaikan pertempuran ini, tak kusangka cukup cepat juga, tapi masalahnya sekarang jika aku lari ia bisa saja mengincar titik lengahku meskipun aku menggunakan kacamata dengan penglihatan 360 derajat, tapi dalam mode tidak benar-benar siaga ia bisa menebasku begitu saja.
"Aku ada sedikit masalah, seluruh kelompokku habis."
"Apa maksudmu?"
"Aku menghadapi kesulitan disini, yang jelas aku perlu menyelesaikan ini segera."
"Baiklah, kami akan menyelesaikan semuanya dulu, sampai saat itu bertahanlah."
Aku akan bertahan pasti dengan segenap tenagaku. Ia merubah senjatanya menjadi sebuah pedang dan satunya lagi tangannya berubah menjadi perisai dan alat untuk menembak, setengah tubuhnya kurasa sudah menjadi bahan mekanik.
Aku kemudian melemparinya dengan pisau yang sudah kulapisi dengan es namun ia berhasil menangkisnya dengan perisai di tangannya yang cukup kuat. Tapi setelah kuamati lagi, perisai itu sama saja seperti saat aku menyerang robot sebelumnya, hanya saja gerakan yang ia lakukan berbeda untuk menghalau seranganku sehingga bisa mementalkan pisau yang kulemparkan kepadanya.
Ia kemudian menembak dengan cara memberondong, aku menciptakan dinding es untuk menghalau serangannya, tapi itu tak bertahan lama. Ia segera melesat berada di atas mengayunkan pedangnya, aku segera menangkisnya dengan pisau yang kulapisi dengan es, namun senjatanya terlalu kuat hingga memotong senjataku, dadaku sedikit tersayat karenanya.
Untungnya aku sempat menghindar, jadi lukanya tak terlalu dalam.
Sungguh menyebalkan, aku kembali beradu kemampuan dengannya namun gerakannya semakin lama semakin baik membuatku tak berkutik, beberapa bagian tubuhku menjadi penuh luka, entah kenapa ia seperti menikmatinya.
Staminaku mulai terkuras, tapi aku masih belum menemukan titik celah untuk mengalahkannya.
Selanjutnya serangannya lebih liar dari sebelumnya dan mulai mengincar titik-titik vital. Terkadang ia mengincar mataku, dan beberapa bagian tubuh seperti bagian jantung dan ingin menebas bagian anggota gerak.
**
Kalau begini terus aku bisa mati kehabisan darah, anehnya serangannya itu seperti sengaja membuatku menghindar, entah apa yang ingin ia incar?
Apa boleh buat, sebenarnya ini adalah keadaan yang cukup terdesak aku merogoh saku untuk memakan pil yang sebelumnya diberikan oleh Tirta. Namun sebelum aku melakukannya, terjadi tembakan yang mengarah ke lawanku. Itu adalah Lina dan Bella, mereka datang untuk membantuku.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bella padaku.
"Seperti yang kau lihat."
Ia memberi pertolongan terhadapku untuk menutup luka dengan memberikan perban, sementara Lina berhadapan dengan manusia setengah robot itu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasíaHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...