107. Itu Seperti Bermain Dengan Karakter SSR

27 2 0
                                    

“Saat aku bertarung, kau mendengarku berbisik soal tarian dan soal kemampuan darah pada rasku bukan?” ucap Pinova.

“Ya tentu saja.”

“Jika digabungkan itulah caranya, aku tinggal menyayat darahku lalu menciptakan keturunan dengan memanipulasi darahku sendiri menggunakan tarian.”

Entah aku harus takjub atau apa, tapi rasanya agak aneh saja, meski begitu dari perkataannya itu, aku dapat mempercayai sepenuhnya.

“Begitu ya, aku takkan heran. Tapi kau bisa saja menciptakannya ...”

Ucapanku terhenti begitu aku membayangkan soal darah yang diberikan padaku untuk menyembuhkanku waktu itu. Aku jadi ingat film alien dimana suatu makhluk membawa telurnya ke makhluk lain lalu makhluk itu lahir melalui inangnya kemudian memakan inangnya.

“Maksudmu kelahiran dalam tubuhmu, itu takkan terjadi,” ucapnya sedikit terkekeh lalu berpaling, “Agak mengerikan juga cara berpikirmu, darah Noirn yang terkontaminasi takkan dapat menciptakan sesuatu.”

“Tapi, bukankah kau sendiri bilang bahwa tubuhmu sendiri terkontaminasi iblis di duniamu waktu mengalahkan iblis?”

Beberapa hari lalu Pinova juga bercerita soal tanduknya, sebenarnya sebuah kecelakaan menimpanya, ia tak menjelaskan apapun tentang itu, tapi tanduk yang tumbuh di atas kepalanya itu bukanlah tanduk ras Noirn, umumnya ras semacam dirinya tak memiliki tanduk. Tanduk itu tumbuh karena tubuhnya terkontaminasi iblis kuat saat dirinya menjadi petualang.

“Darah dari luar dan darah dari dalam itu beda sifatnya, sejujurnya memiliki dua sifat kontradiksi yang berbeda, tergantung dari bagaimana cara menggunakannya, namun umumnya yang terkontaminasi dari luar akan cepat memudar dan memiliki sifat saling menghancurkan.”

“Lalu bagaimana yang kau bilang soal pernikahan ras campuran antara Noirn dan ras lain itu, bagaimana mereka memiliki—“

“Haruskah aku menceritakannya, kau harusnya sudah tahu dan itu menjijikkan.” Pinova tiba-tiba langsung memotong pembicaraanku, sepertinya aku tahu maksudnya, ia kembali berpaling dan terlihat malu. Siapapun orang yang sudah dewasa sudah pasti tahu, jadi aku tak ingin melanjutkan percakapan ini

“Ah, maaf, aku mengerti.”

“Baguslah.”

**

Dalam beberapa menit kami kembali fokus pada kertas-kertas itu, kembali menggambarkan diagram rumit dari buku, layaknya merangkai sebuah alat. Aku sendiri memutuskan membantu mencari lembaran buku yang lembaran putihnya mulai menguning, sudah jelas cukup kuno. Sangat beruntung pustakawan kerajaan mau meminjamkannya pada kami dan membawanya kesini.

Beberapa kali Pinova membenarkan rambutnya yang berkelebat diterpa angin, memang benar di dekat sungai seperti ini membuat pikirannya terlihat cemerlang dan nampak cakap menata setiap informasi dalam buku yang ada.

Bisa kubandingkan dengan waktu diperpustakaan mungkin kecepatannya 1 banding 3, tapi masalahnya ia kerapkali membenarkan rambutnya, awalnya mungkin terlihat anggun tapi lama kelamaan jika dilakukan berulangkali jadi terlihat aneh.

“Pinova, tidakkah sebaiknya kau mengikat rambutmu saja?”

“Oh, kau menyadarinya, sebenarnya aku tidak terlalu pandai mengikatnya,” jawabnya dengan nada ragu. Wajahnya merunduk seolah mencoba memikirkan sesuatu, namun kemudian perlahan ia melihatku, “Mau mengikat rambutku?”

“Kenapa aku?”

“Kau tahu, terakhir kali aku mengikatnya, aku hampir saja mencabut kulit kepalaku.”

“Kedengarannya mengerikan.”

Entah salah ikat, atau ia sedang membenarkan ikatannya, tapi itu jelas sesuatu yang tidak biasa, mencabut satu rambut saja terkadang menyakitkan apalagi sampai kulit kepala ikut terkelupas gara-gara rambut.

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang