103. Kebangkitan Ingatan_

28 5 0
                                    

Terlihat awan tipis mengitari langit dengan panorama malam berbintang layaknya sekumpulan galaksi, semilir angin berputar saling bercengkrama, menari menelisik di celah-celah dedaunan.

Di tengah kedalaman danau, nampak terlihat gadis yang terlihat bersisik sebagian tubuhnya, dengan ekor bersirip bergelombang layaknya daun berwarna yang memiliki corak gradasi biru hijau kekuningan. Tidak lain itu adalah Pinova, ia hanya berdiri melayang di tengah air dengan tatapan yang sayu, wajahnya menyiratkan rasa yang tertekan sekaligus sendu. 

_Dimana kau Kakak? Kenapa aku harus mengalami kesendirian ini_

_Kenapa aku harus hidup, kenapa takdir selalu berbicara bodoh_

Sejenak terlihat buliran warna hitam mulai menyelimuti tubuhnya, dari bawah sendiri air yang nampak gelap mulai menutupi sebagian kejernihan danau. Buliran hitam itu kemudian mewujud menjadi nampak layaknya Pinova, seperti sebuah bayangan yang lalu mendekat di sisinya untuk membelai tubuhnya.

“Kakakmu sudah pergi, tak ada gunanya semua ini, mereka semua meninggalkanmu, tidak akan ada satupun yang mau dengan makhluk campuran sepertimu,” ucap bayangan tersebut yang suaranya bergema di seluruh tempat ini.

“Kenapa kau mengatakan hal sekejam itu?” Wajah Pinova nampak pasrah, namun meski begitu pikirannya yang masih murni merasa ada yang salah dengan semua ini.

“Sekejam apa? Dunia ini bahkan lebih kejam padamu kan? Sangat wajar bila kita perlu membalas kekejaman itu, jika dunia kejam denganmu, maka bertindaklakulah kejam terhadap dunia, jika dunia tidak adil padamu maka lakukan ketidakadilan pada dunia, jika dunia berusaha menghancurkanmu, maka hancurkanlah dunia.”

“Tapi ...”

“Tak apa, ini semua bukan salahmu, serahkan padaku, jikalau kau tidak mampu atau berbuat salah, itu bukan salahmu, itu adalah salah dunia yang telah membuatmu seperti itu.”

Perlahan kegelapan itu membalut tubuh Pinova hingga hampir menutupi matanya, namun kemudian terlihat cahaya kecil layaknya kunang-kunang. Cahaya itu membias membuat pemandangan kembali berubah menjadi padang rumput.

Pinova berdiri sedang melihat Mikka, Sonra, dan juga Ryuna yang mendirikan tenda, telintas beberapa ingatan masa lalu yang membias dalam kesadarannya.

“Apa yang kau lakukan? Kau tidak seharusnya berada disini, mereka hanyalah cahaya kecil yang akan memudar cepat atau lamban," ucap bayangan yang agak jauh berada di belakangnya, terlihat dalam rerimbunan yang gelap bercampur dengan pepohonan.

“Kau benar, cahaya adalah sesuatu yang amat kecil dan rapuh, tapi bukankah itu terlihat menarik?”

“Tunggu kau mau kemana?”

“Sudah jelas kan?”

***

Kembali ke dalam realita, Mikka sudah tertusuk lengannya oleh senjata Renkarnanya sendiri, namun saat Pinova kembali akan menyerang, langkahnya tertahan, kesadarannya mulai saling tumpang tindih. Ia mundur kebelakang dengan memegangi kepalanya, nampak begitu kesakitan.

“—Agh!”

Mikka yang melihat itu nampak begitu heran, ia dengan sekuat tenaga segera mencabut pisau yang menancap lengannya. “Pinova, bangunlah!”

Mikka memaksa dirinya untuk bangun dan mencoba menyadarkannya, namun tubuhnya sudah cukup lemas untuk dapat berdiri, sehingga ia kembali jatuh.

“Aku—pasti— Aghh!“ Pinova memegang tanduknya yang melingkar di kepalanya tersebut dengan kedua tangannya, dengan kekacauan kesadaran dalam dirinya ia menarik sekuat tenaga tanduk tersebut. Nampak ia cukup kesakitan, energi ditubuhnya terlihat menghempas ke area sekitar, dalam waktu singkat dengan usaha kerasnya—

Tak!

Ia berhasil mematahkan tanduknya, napasnya sedikit berat, namun Pinova berhasil mengambil kesadarannya kembali, ada sedikit darah yang menetes melalui tanduknya yang patah membuatnya sedikit meringis.

“Pinova, kau ...“

“Hehe, aku berhasil –Aghh!”

Jrash!

Tanpa disadari Mikka maupun Pinova, rupa-rupanya Doreran sudah mengamati mereka sedari tadi, wajahnya menyeringai tajam pedangnya telah menghunus kembali ke punggung Pinova hingga tembus ke dadanya.

“Kalian pikir aku sudah kalah? Tidak akan semudah itu!”

Grash!

Doreran mengayunkan senjata membuat bagian samping dada Pinova terbelah sampai ke bagian rusuk dan menembus samping tubuhnya.

“Sialan kau!” Teriak Mikka, tanpa mempedulikan rasa sakitnya ia melemparkan pisau Renkarnanya dengan menteleportasikan senjata tersebut, namun Doreran melompat ke belakang untuk menghindarinya.

Pinova yang akan terjatuh kemudian ditangkap oleh Mikka yang tubuhnya hampir terhuyung. Wajah Mikka nampak sangat khawatir dengan tubuh Pinova yang sebagiannya sudah rusak, bahkan organ dalamnya nampak hancur dengan darah yang terus keluar.

“Pinova, jangan khawatir aku akan—“

Belum sempat Mikka mencoba menyembuhkan Pinova, ia memegang tangan Mikka untuk tidak menyembuhkannya.

“Tak apa Mikka, aku masih bisa.”

“Tunggu ... kau?”

Mikka heran dengan luka seperti itu, Pinova masih sanggup untuk mencoba berdiri, bangun dari pangkuan Mikka yang masih nampak khawatir dengan keadaannya.

“Obati saja dirimu, Mikka, Aku sudah ingat beberapa hal jadi—Aku takkan kalah,” ucap Pinova dengan wajah yang masih pucat.

“Hei, kau pikir ini adu ketahanan? Kau bukan seorang tokoh utama dalam panggung ini. Apa yang kau bisa dengan tubuh yang sudah rusak itu?” Doreran nampak meremehkan, aura gelap mulai menyelimutinya, fisiknya pun berubah terdapat jalur-jalur berwarna merah menjalar ke tubuhnya, “Tapi jangan kau pikir aku akan seperti musuh yang menurunkan kewaspadaan disaat seperti ini.”

Doreran dengan langkah yang cukup kilat, membuat serangan kembali dengan menciptakan tulang-belulang yang melayang terbuat dari pedang, lalu pedang itu memutari area dimana Mikka dan Pinova berpijak, lalu menghunus tajam ke arah mereka berdua.

“Tarian 6, Pembalik Merah,” gumam Pinova.

Seperti layaknya sesuatu yang berubah, tiba-tiba seluruh senjata yang ditujukan Doreran berbalik arah, seperti ruang dan waktu membalikkan layaknya kaca. Doreran posisinya berubah membelakangi Mikka dan juga Pinova, sementara pedang-pedang itu juga menuju ke arah sebaliknya yaitu menjauhi Mikka dan Pinova.

“Jangan kau pikir hanya kekuatan semacam ini, bisa mengalahkanku.” Doreran kembali berbalik lalu mengendalikan pedang tulangnya tersebut yang kini terlapisi elemen angin dan api membuat suhu sekitar naik.

Pinova yang nampaknya sudah tahu bergerakan Doreran, mencabut helaian sirip di ekornya secara sekilas berubah menjadi pedang panjang, “Tarian 7, Karma Hidup.”

Pinova memutar pedangnya lalu menancapkan ke tanah layaknya sebuah tarian, sesuatu yang misterius terjadi membuat Doreran terhempas ke atas kemudian jatuh layaknya terkena hempasan, membuat tubuhnya menabrak permukaan tanah dengan momentum terpental beberapa kali. Tulang-tulang yang mulanya akan digunakan untuk menyerang Pinova dan juga Mikka berbalik menghantam Doreran menciptakan ledakan kuat.
 

*****

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang