7. Membuat Peluru Es

216 8 0
                                    

"Nah, simbol ini dibaca Per," ucap Tirta menunjuk salah satu teks yang ada dalam buku ini.

"Per? Bentuknya seperti ulat yang melingkar."

"Ya, kau bisa menyimpannya ke dalam otakmu tentang hubungan per dengan ular melingkar, itu akan membuatmu mudah untuk belajar."

"Ah, aku pernah mendengar itu dalam konsep pembelajaran."

Itu kalau tak salah disebut teknik mnemonik, dimana seseorang dapat menghubungkan sesuatu di ingatan yang sudah tertanam bisa disebut sebagai cara untuk merapikan ingatan.

"Sebenarnya konsep apapun yang kamu pakai juga tidak masalah, selama kamu dapat mengingatnya dengan jelas."

Setelah itu ia kembali mengajariku membaca dan menulis, ia cukup pintar dalam memberikan tips lain untuk belajar. Yang pada akhirnya aku dapat belajar lebih cepat dari sebelumnya.

***

Sore berganti malam, setelah makan malam aku berada di aula bersama Tirta. Ini adalah hari pertamaku berlatih soal kekuatan astral.

"Kemarikan tanganmu."

Ia kembali menggenggam tanganku, lalu ia menyalurkan energinya, sensasinya berbeda dari kemarin, sekarang tubuhku serasa di aliri oleh air.

"Bisa kau pejamkan matamu, dan fokus."

Intinya ia menyuruhku untuk membuat tubuhku lebih rileks dan merasakan alirannya. Semakin lama, ia menambah tekanannya, aku seperti terbawa di sebuah arus yang cukup deras, tenggelam, hingga ia kemudian melepaskan genggamannya.

"Baik, sudah cukup. Kau bisa mencobanya sekarang."

"Mencoba apa?"

"Mari kita ke ruang latihan."

Kami kembali memasuki labirin, lalu ia menjelaskan beberapa hal, pada dasarnya jika seseorang paham sebuah energi astral, maka seseorang dapat melakukan sesuatu yang luar biasa seperti menciptakan partikel, mengendalikan, atau merubah suatu hukum fisika.

"Kedengarannya tidak masuk akal."

"Kau tahu? Tidak ada yang tidak masuk akal, hanya saja sebuah akal memiliki batasan, maka terkadang sudut pandang diri kita akan menganggapnya tidak masuk akal. Kekuatan astral memang terdengar tidak masuk akal, tapi memang tidak masuk akal sebenarnya."

"Jadi yang benar yang mana?"

"Lihat saja dan amati."

Tirta melakukan sedikit peregangan sembari melakukan perbincangan denganku.

"Tapi, tak selamanya juga segala sesuatu harus dijelaskan dengan akal dan otak kita kan?"

"Bukankah itu bertentangan dengan yang kamu katakan sebelumnya?" sanggahku yang masih memperhatikannya melakukan peregangan.

"Jika kamu yakin itu adalah sebuah pertentangan maka itu adalah pertentangan atau sebaliknya."

Ia selesai melakukan peregangan tubuh lalu menyuruhku untuk memperhatikannya dengan seksama. Ia menggunakan jari-jarinya membentuk gerakan seperti sedang membidik dengan jari telunjuknya.

"Perhatikan."

Dari ujung telunjuknya tercipta sebuah air yang kemudian membeku membentuk sebuah peluru es kecil, lalu peluru es itu melesat dan menghantam tembok yang ia bidik hingga tertembus menimbulkan sebuah retakan.

'"Cobalah lakukan ini. Hebat bukan, ini seperti sulap."

"Mencoba bagaimana?"

"Lakukan saja seperti contoh."

Aku kemudian menunjuk ke arah tembok lalu merapatkan jari-jariku. Ia sedikit membenarkan poseku agar bisa lebih efektif. Tapi ia terlalu dekat, aku bisa merasakan napasnya dan bau tubuhnya yang harum, ini terlalu mendebarkan, semoga ia tak merasakan apa yang kurasakan.

"Sekarang kau bisa membayangkan hal yang kulakukan seperti tadi." Ia lalu melepaskan pegangannya pada lenganku, ini membuatku lega.

Lalu maksud perkataannya, mungkin seperti mengimajinasikan sesuatu keluar dari ujung jariku, sebuah peluru es, saat kucoba fokus perlahan aku bisa merasakannya, sesuatu yang dingin terbentuk, saat ini aku memejamkan mata lalu kemudian fokus melepaskannya, tapi kemudian fokusku buyar ketika muncul gelak tawa dari Tirta.

Hal itu bukan tanpa sebab aku memang menciptakan peluru es namun cukup kecil sekali, dan ketika aku melepaskannya peluru itu bukannya melesat tapi malah jatuh begitu saja.

"Hei, kapan kau berhenti tertawa soal ini," tanyaku, karena tertawanya cukup lama, jadi aku khawatir soal itu.

"Ahahaha ... Maaf-maaf, aku sudah lama tidak mengajari seseorang yang payah."

Benar-benar terlihat ia meremehkanku, tapi entah kenapa tertawaannya itu lebih seperti sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama. Tak masalah juga, jika kepayahanku ini bisa sedikit meringankan bebannya.

"Aku lupa mau bilang sesuatu, jadi ..."

Ia menjelaskan untuk membuat sesuatu lebih efektif maka kita harus memiliki keyakinan dan melakukan sebuah katalis seperti pengucapan mantra, segel tangan, gerakan tertentu, atau jimat. Fungsinya untuk merangsang imajinasi dan keyakinan agar dapat mengafirmasi diri supaya ketika mengaktifkan kekuatan astral dapat tersalurkan secara lancar. Bisa juga dengan membayangkan partikel pembentuknya.

"Entah kenapa itu seperti mengada-ada saja."

"Segala sesuatu berasal dari yang tidak ada lalu diada-adakan, bukankah begitu?"

"Kau terdengar seperti seorang filsuf."

"Benarkah? Kalau begitu itu bagus, aku akan duduk disana sebentar, mungkin kau butuh ruang supaya tidak tegang."

Tirta menjauh dariku, aku memang memiliki kecenderungan untuk belajar sendiri, kurasa ia menyadari hal tersebut, tapi bukan berarti aku tak butuh pengajaran dari orang lain.

Hanya saja ketika aku sudah mendapatkan suatu pengajaran dari orang lain, aku perlu mengendapkannya supaya aku bisa lebih paham dengan apa yang dimaksudkan oleh pengajar tersebut.

Hal itu jadi mengingatkanku tentang pekerjaanku dulu, bisa dibilang aku sedikit kesulitan untuk melakukan kerjasama tim karena terkadang aku memiliki pemikiran sendiri dan butuh ruang untuk mengerjakannya sendirian.

Baiklah, kembali fokus, karena ini seperti mengimajinasikan sesuatu, aku akan mencoba cara terakhir yang diberitahu Tirta dengan membayangkan lebih rinci partikel penyusunnya, air merupakan senyawa yang penyusunnya adalah oksigen dan hidrogen. Aku kemudian membayangkannya penyatuannya terlebih dahulu, lalu suhunya merendah hingga membeku membentuk kristal, setelahnya kristal es ini akan melesat seperti sebuah tembakan peluru kemudian lepaskan.

Slak!

Aku berhasil melesatkannya, namun kecepatannya masih terlalu lamban, dan kristal esnya masih terlalu rapuh untuk menghantam tembok tersebut. Dari arah kanan terdengar Tirta bertepuk tangan ketika aku berhasil melakukan itu walaupun tidak sekuat dirinya. Ia kemudian berdiri berjalan ke arahku.

"Bagaimana?" tanyaku.

"Lumayan, selama seminggu ini kita akan berlatih ini."

Ia tiba-tiba memegang tanganku, lalu melihat lengan-lenganku, menekan-nekan dengan jari telunjuknya, entah kenapa rasanya telunjuk jarinya serasa cukup dingin seperti es.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Hanya memeriksa."

"Ngomong-ngomong, apakah hal yang kulakukan seperti tadi ada batas atau efek sampingnya?"

"Kalau efek samping tidak ada selama kau menggunakannya secara tepat, untuk batasannya itu semua tergantung dari staminamu atau tidak ya?"

"Kenapa malah bertanya balik."

"Sejujurnya sampai sejauh ini, aku juga masih mendalaminya, namun-- Tidak, kurasa kau bisa melakukannya, Mikka."

Aku lega mendengarnya, dengan adanya dirinya aku sepertinya bisa menjadi manusia sakti, rasanya lumayan menyenangkan karena aku belajar hal baru. Namun kemudian, terdengar suara dentuman sepertinya berasal dari luar.

*****

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang