Aku berlari mendekati goblin pertama, napasku teratur dan tenang. Saat kapaknya meluncur ke arahku, aku berputar ke samping, menghindari serangan itu dengan cekatan. Dalam gerakan cepat, pisauku menyayat pergelangan tangannya, darah mengalir deras.
Goblin itu meringis kesakitan, tapi aku tak memberinya kesempatan untuk pulih. Dengan satu ayunan kuat, tongkatku menghantam kepalanya, mengirimnya terpental ke tanah. Tak membuang waktu, aku melemparkan pisau yang kini berselimut api ke jantungnya. Pisau itu menembus dada goblin dengan mudah, mengakhiri nyawanya seketika.
Suara pertarungan itu menarik perhatian goblin lain. Ia berlari ke arahku dengan teriakan marah. Aku menguatkan pijakanku, lalu menerjang maju. Dengan satu gerakan halus, aku menekuk lututnya, membuatnya terjatuh keras. Sebelum ia sempat bangkit, pisauku telah menusuk tepat di bawah tulang rusuknya. Aku menghantam gagang pisau dengan kuat, memastikan luka itu menembus organ vitalnya. Goblin itu terkulai, mati.
Goblin terakhir tampak ketakutan dan mulai melarikan diri. Aku tahu tak boleh membiarkannya pergi. Dalam sekejap, aku menarik kembali pisau dari tubuh goblin yang tewas, melapisinya dengan api, lalu melemparnya dengan tenaga penuh.
Pisau itu terbang lurus, menembus punggung goblin yang kabur. Ia jatuh tersungkur, tak bernyawa.
Seusai aku mengalahkan yang terakhir, Tirta langsung mendekatiku dengan langkah tenang, wajahnya menunjukkan senyum tipis yang terlihat santai. "Kau terlihat cukup terampil sekarang ya?" suaranya terdengar datar namun penuh perhatian.
Aku menghela napas, masih merasakan sedikit adrenalin yang mengalir di nadiku. "Jangan memujiku, kau bahkan lebih kuat dariku kan?"
"Ya, itu memang benar, tapi setidaknya sekarang kau mampu bertahan bila ada satu pasukan elit yang menyerangmu."
"Pasukan elit?"
"Ya, itu semacam pemimpin yang membawahi komando dari perintah raja iblis."
Tirta lalu menjelaskan juga kalau pasukan iblis cukup terstruktur seperti halnya sebuah pemerintahan, dimana ada tentara dan divisinya juga.
"Apakah para iblis itu sudah membentuk suatu negara di sebuah wilayah?"
"Semacam itu, hanya saja mereka suka sekali melakukan penyiksaan, jadi sistem yang mereka buat adalah dikhususkan untuk menyiksa makhluk lainnya, namun kadangkala mereka saling bertarung satu sama lain."
Tidak perlu diperjelas, dari penjabarannya yang singkat itu, aku bisa merasa bahwa sosok mereka cukup menyeramkan dalam menjalani kehidupan. Mungkin seperti halnya tempat para kriminal atau mafia yang keji.
"Agak sulit memahami struktur kehidupan mereka, semacam kegilaan seperti halnya orang-orang menggambarkan neraka," lanjutnya.
Dingg!
Muncul notifikasi pada gadget yang dipegang oleh Tirta yang berbentuk seperti sepotong kaca persegi. Itu adalah notifikasi dari Vall dimana ia memberitahu bahwa ada sekumpulan makhluk iblis yang berbaris.
Tirta kemudian menyuruhnya untuk mengambil jarak lalu melewatinya saja.
"Untung saja dijarak seperti ini tak ada iblis lain, jika ada mereka pasti akan mengeroyok kita seketika, walaupun aku bisa membasminya, tapi itu cukup menguras energi."
Para iblis seperti memiliki sinyal tertentu untuk mengundang iblis lain bila terjadi bahaya, maka Tirta melakukan hal ini agar tidak terjadi suatu hal yang merepotkan. Seperti kelelahan sebelum sampai di tempat tujuan.
"Tirta, bagaimana kalau kita melakukan teleportasi saja?"
"Ah, itu ide buruk, kau tak mau tiba-tiba ada musuh di sekelilingmu kan? Lihat pohon tinggi yang ada di ujung sana. Kalau kita melihat disini, mungkin akan terlihat baik-baik saja, namun jika kita mendekat, bisa saja musuh ada yang sembunyi di tempat tersebut."
Secara logika memang benar kemungkinan itu bisa terjadi, kami pun melanjutkan perjalanan, sampai beberapa menit kemudian Tirta menyuruh Lina dan Vall untuk berkumpul di tengah-tengah, yaitu ke arah kami.
**
Setelah melakukan perjalanan kaki yang cukup melelahkan, tibalah kami di benteng salah satu desa iblis, Ini benar-benar sebuah desa seperti abad pertengahan dikelilingi oleh dinding kayu yang ringkih dan usang. Dinding tersebut tampak seperti akan runtuh kapan saja, dengan beberapa bagian yang ternoda oleh darah kering atau kotoran yang menjijikkan. Lalu ada penjaga di sekitarnya.
Lagi-lagi goblin!
Mereka memiliki tampang kasar berwarna hijau dan mata merah, berdiri di sepanjang dinding.
"Kenapa iblisnya terus-terusan goblin?" tanyaku berbisik pada Tirta.
"Akan sangat buruk jika aku menceritakannya padamu, jadi lebih baik tidak perlu kuceritakan."
"Itu malah membuatku semakin penasaran."
"Baiklah, pada dasarnya mereka adalah makhluk yang sangat infasif, mereka adalah makhluk yang dapat berkembang biak bahkan dengan ras lain. Dan kecepatan pertumbuhannya benar-benar mengerikan."
Wajah Tirta kelihatan serius, sementara Vall dan Lina ikut heran ketika mendengarnya, seperti yang dikatakan sebelumnya aku menyesal setelah mendengarkan penjelasannya itu.
"Umur mereka untuk mencapai dewasa hanya butuh satu sampai dua hari, sementara ketika masa dewasa umurnya bisa sampai dua ratus tahun. Selama itu, mereka terus memperbanyak diri. Jadi itulah yang membuat jumlahnya semakin banyak."
"Kedengarannya cukup mengerikan."
Aku tak sanggup membayangkan jika sebuah desa diserang oleh mereka, dan bagaimana penderitaan yang akan dialami ketika desa seperti manusia berhasil ditaklukkan.
"Untungnya mereka bukanlah individu yang kuat, kemampuan mereka berteknologi dan berbahasa hanya seperti kaum bar-bar."
Sembari menjelaskan, Tirta menciptakan bola kecil di telapak tangan kirinya, lalu ia memejamkan mata.
Saat ini ia sedang mendeteksi banyaknya iblis yang ada di pemukiman tersebut, kemudian setelah beberapa menit ia kembali membuka matanya dan kemudian berucap, "Cukup buruk juga, akan langsung kulenyapkan saja desa ini. Semoga mereka mendapatkan tempat yang lebih baik."
Pakaiannya berubah, kali ini seperti baju ksatria abad pertengahan. Ia bersiap-siap dengan membawa tongkat seperti sebuah tongkat sihir yang kemudian Tirta merapalkan mantra. Entah dunia mana yang ia pakai kemampuannya sekarang.
Sesaat setelah ia merapal, entah kenapa aku merasa janggal dengan perkataan ia sebelumnya. Jadi langsung saja aku tanyakan di tengah rapalannya itu.
"Tunggu Tirta, apa maksudmu mereka mendapatkan tempat yang lebih baik? Kau tak berbicara soal penduduk yang di sandera kan?"
"Tentu itu soal mereka, namun percuma menyelamatkan mereka sekarang."
"Apa maksudmu percuma?"
"Itu karena mereka sudah terpakai, artinya kehidupan mereka telah rusak baik raga maupun jiwanya."
Namun, entah kenapa aku merasa tidak ingin patuh soal ini. Meski dalam keterpurukan seseorang pasti bisa bangkit asal ia mau berusaha.
"Tapi!?"
"Huff ... Aku mengerti, akan kulepaskan satu orang saja."
"Tapi bagaimana dengan?—"
Lina yang berada di belakang menepuk pundakku, menggerakkan kepalanya mengisyaratkan bahwa itu cukup untuk sekarang.
"Baiklah."
Aku akan menurut saja, sangat disayangkan, tapi mungkin ada alasan lain kenapa Tirta tak mau menyelamatkan mereka. Tapi jika itu menyangkut trauma, harusnya masih bisa disembuhkan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasyHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...