14. Sistem AI Dan Kasta

143 8 0
                                    

Setelah beberapa hari di wilayah ini, aku baru mengerti sekarang bahwa ada sistem AI yang mengatur kehidupan warganya, keseharian mereka dipantau menggunakan chip yang terpasang pada tubuh mereka sehingga pemerintahan dapat mengawasi setiap gerak-geriknya.

Namun, tidak semua orang patuh pada sistem ini. Di hunian kumuh tempat aku berada, banyak yang memanipulasi chip mereka, membuat laporan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tempat ini dipenuhi oleh para penjahat, mafia, dan kelompok lainnya yang menentang kontrol pemerintah.

Ada 3 sistem kasta yang menaungi negeri ini, yaitu wilayah luar yang ku tempati sekarang, ini adalah wilayah rakyat jelata. Lalu menuju ke tengah sistem pemerintahan yaitu ada rakyat menengah, dan di pusat negeri ini sendiri dihuni oleh kalangan elit.

Ada beberapa hal untuk bisa naik kasta atau turun kasta, diantaranya dengan kelompok yang kutempati sekarang yaitu mendobrak salah satu gerbang yang menuju ke pusat kota, jika berhasil, sistem mungkin mempertimbangkan untuk menaikkan kasta kami.

"Hei, Vall! Sampai kapan kau berada di kamar ini terus? Aku tahu kau bukan Vall jadi jangan mengotori kamarnya," ucap seseorang yang tak lain adalah Lina. Salah satu kelompok mafia di tempat ini.

Lina berdiri di ambang pintu, menatap tajam ke arahku. Aku bisa merasakan ketegangan dalam suaranya, meski ia mencoba terdengar tegas.

Setelah beberapa hari, aku baru mengerti, ia dan satu orangnya lagi bersandiwara sebenarnya, mereka membohongi kelompoknya sendiri.

Mereka sebenarnya tidak tahu dimana Vall, tapi demi menjalankan rencana yang sudah disusun sebelumnya, mereka mau tidak mau memasukkan orang asing sepertiku agar kelompoknya tidak pecah.

Ia melemparkan sebuah minuman kaleng kepadaku, aku lalu refleks menangkapnya.

"Ikut aku sebentar," katanya dengan nada lebih lembut namun tetap tegas.

Aku lalu mengikutinya keluar.

Lina memang nampak selalu terlihat dingin setelah aku bertemu dengannya beberapa hari lalu meski rambutnya itu dicat berwarna-warni tapi tidak untuk sikapnya yang terlihat putih abu-abu sedingin salju.

**

Ia mengajakku ke atas puncak gedung dan melihat pemandangan malam, pemandangan di kota ini terlihat amat gemerlap dan lebih terang dari duniaku. Tentu saja ini bukan kencan romansa malam, lebih ke arah interogasi karena ia tidak percaya padaku.

"Jujur saja, kau nampak asing dengan peralatanmu dan juga fisikmu yang terlihat masih seratus persen manusia, aku sudah melihat di database tidak ada data tentangmu. Aku tidak percaya Morio mempercayai seseorang yang numpang lewat sepertimu. Jika kau memang berasal dari tempat lain, apa kau kemari mengincar sesuatu atau kau mata-mata yang dikirimkan pemerintah untuk memberantas kami?"

"Yang jelas aku bukan mata-mata."

"Baguslah, jika tidak aku akan membunuhmu, lalu mencincang Morio menjadi makanan cepat saji."

Ancamannya terdengar sangat mendramatisir, tapi baiklah tak apa, setidaknya aku mendapatkan tempat tinggal disini.

"Apa kau punya hubungan tertentu dengan Vall?" Aku mencoba mencari celah untuk memahami situasi ini lebih baik.

"Bukan urusanmu," balasnya singkat.

Tiba-tiba ia kemudian berada di depanku dalam sekejap mengangkat kerahku dengan satu tangannya, gerakannya cepat seperti teleportasi saja. Aku tak dapat melihatnya. Matanya menatapku tajam, mencoba mengintimidasiku.

"Jangan macam-macam denganku," bisiknya dingin. "Aku bukan keroco seperti mereka."

"Baiklah, aku mengerti. Sepertinya sekarang waktunya makan bukan, bagaimana kalau kita keluar sebentar?"

Yang pasti aku takkan memancing keributan, dengan tetap tenang dan mencoba membaca situasi akan menciptakan suasana yang lebih baik.

"Jangan sok perhatian," Ia melepaskanku dan melangkah mundur.

**

Memang susah bernegosiasi dengan orang yang wataknya cukup keras, aku yakin di kota ini ia mungkin sudah banyak melalui kejadian-kejadian buruk, seperti penghianatan dan lain sebagainya.

Ujungnya, kami kemudian keluar dari apartemen melihat beberapa orang yang sedang berpesta makan. Bau asap dari generator tua dan daging yang dipanggang memenuhi udara, bercampur dengan aroma alkohol murahan. Orang-orang duduk di sekitar meja logam yang berkarat, tertawa dan berbicara dengan suara keras di bawah cahaya neon yang berkedip-kedip, memancarkan warna-warna neon cerah yang kontras dengan lingkungan kumuh di sekitar.

Di sudut belakang, gedung tua dengan iklan holografik yang terus berputar, menampilkan produk-produk yang tidak terjangkau. Layar-layar rusak lainnya menampilkan berita yang sudah usang dan pesan propaganda dari pemerintah yang tidak lagi diindahkan oleh penghuni disini.

"Hoi, Vall! Kemari, mari kita pesta makan!" ucap salah seorang yang memanggilku, wajahnya merah karena alkohol.

"Kau tidak ikut?" tanyaku pada Lina.

"Aku tidak suka makanan mereka. Pergi saja sendiri."

Lina masih tampak tak mempedulikan, aku segera mendekat ke arah mereka yang sedang berpesta, beberapa orang meminum bir sembari memakan daging dan beberapa sajian makanan lain. Tapi dagingnya nampak aneh kelihatannya.

"Hei Bill makanan apa ini?"

"Sudahlah makan saja."

Tapi aku kaget ketika Bella memunculkan sebuah tengkorak manusia yang ada di salah satu sajian. Yang tak lain itu adalah rekan mereka sendiri, itu gila. Mereka memakan rekan mereka sendiri.

"Sungguh malang nasib Berrlius," ucap Bella dengan nada datar dengan wajah yang nampaknya melukiskan kesedihan yang samar.

Beberapa hari lalu aku mendengar Berrlius memang tewas pada sebuah misi, namun aku tak menyangka mereka membawa jasad mereka untuk di makan.

Di tempat ini memang makanan cukup kurang bagi orang-orang karena kepadatannya, tapi aku tak berpikir mereka sampai memakan rekannya sendiri. Ini adalah kanibalisme, aku segera menolak mereka dengan sopan, lalu pergi segera menemui Lina.

**

"Apa kau sudah berpesta dengan mereka?" Lina bertanya saat aku kembali menemuinya.

"Aku tidak jadi. Apa mereka benar-benar memakan rekan mereka sendiri?"

"Kami kekurangan makanan," jawab Lina dengan suara datar. "Dengan itu, kita bisa bertahan lebih lama dan berhemat. Kau tidak setuju, bukan? Aku juga, tapi apa boleh buat."

Jika membandingkan kehidupan ini dengan kehidupanku sangat berbeda sekali. Mereka nampak santai sekali meskipun kehidupannya dibayang-bayangi oleh kematian. Kurasa tangisan atau keluh kesah itu sudah tak dirasa oleh mereka dengan kehidupan yang amat ekstrim ini.

"Apa kau pernah memakannya?" tanyaku, ingin tahu.

"Tidak," jawabnya tegas. "Lebih baik aku mati kelaparan."

Aku duduk bersama dengan Lina dekat dengan mesin penjual minuman, sejujurnya ia mungkin paling senior disini.

"Kau pasang dimana alat pengaktif nanomu itu?"

"Itu ..."

"Tidak kau jawab juga tidak apa-apa," katanya, melambaikan tangan seolah tidak peduli. "Semua orang punya rahasianya masing-masing."

Lina nampak mengacuhkanku. Tapi itu juga membuatku lega karena aku tak harus mengarang cerita lagi. Sejujurnya aku cukup heran dengan pakaiannya yang minim itu namun ia tak kedinginan. Mungkin karena lingkaran yang menyala di tengah dadanya itu yang membantunya mengatasi suhu di tempat ini.

Kami duduk dalam diam beberapa saat, mendengar suara bising pesta yang masih berlangsung di kejauhan. Aku melihat Lina, mencoba memahami apa yang membuatnya begitu kuat dan tidak terpengaruh oleh lingkungan yang keras ini.

"Apa yang membuatmu bertahan di sini, Lina?" tanyaku pelan.

Dia menatapku sejenak sebelum menjawab, "Rahasia, aku tak berkewajiban memberitahumu."

***** 

Travel in a Different SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang