Di malam hari kami berkumpul di penginapan untuk membahas apa yang telah kami lakukan hari ini. Sonra membahas soal informasi yang telah ia kumpulkan, menurut pengamatan dari petualang di sekitar sini, pasukan raja iblis akan mulai menyerang beberapa minggu lagi. Kecepatannya lebih tinggi dari yang kami duga, padahal kami perkirakan bahwa negeri sebelah tidak akan mudah tumbang.
kami juga mendengar desas-desus tentang pertengkaran para bangsawan usai Raja Luvlia memberikan perintah kami untuk pergi. Serta pasukan ksatria yang dikerahkan juga sedang mencari kami dengan tujuan menangkap kami semua.
"Mereka bilang jika seluruh pahlawan yang dipanggil mati, maka mereka bisa melakukan pemanggilan ulang," jelas Sonra yang bersandar di dinding, untungnya kami menyembunyikan senjata Renkarna kami, karena senjata Renkarna biasanya cukup dikenali sebagai seorang pahlawan.
Dan satu lagi, biasanya bila pahlawan tak membawa senjata Renkarna satu-satunya mengenalinya adalah dengan membawakan penyihir yang bisa mendeteksi perbedaan itu sendiri. Jadi meskipun kami sudah membaur di kota, kami cukup berhati-hati.
"Sudah kuduga mereka memang orang-orang munafik, sebaiknya kita pergi dari kota menuju ke desa kecil saja." Sonra melanjutkan perkataannya.
"Tapi Sonra, bagaimana dengan penyerangan Iblis, akan banyak korban jiwa kan? Kita tak bisa membiarkannya begitu saja." Pinova mencoba membantah perkataan Sonra, seperti biasa mereka selalu bertikai dengan masalah ini.
"Kita bahkan bukan dari dunia ini, dan kau tahu sendiri bahwa tempat ini meskipun belum diduduki iblis suasananya benar-benar seperti tempat iblis," bantah Sonra.
Realita disini memang begitu, kedamaian kota di siang hari seperti tak dapat menyembunyikan kegelapan hati manusia yang berkeliaran di malam hari. Butuh dari sekadar pahlawan untuk memperbaiki ini, kalau di duniaku, keadaan semacam ini butuh banyak tokoh revolusioner untuk mengubahnya.
"Tapi bagaimana dengan penduduk yang tidak bersalah?!" nada Pinova sedikit meninggi. Sepertinya ini takkan selesai jika perdebatan ini terus terjadi.
Pada awalnya kami ingin mengalahkan raja iblis itu, kembali ke istana agar kembali di kirim ke dunia kami. Namun nampaknya, sekarang kami punya halangan lagi, itu adalah kaum bangsawan yang tidak percaya pada para pahlawan yang dipanggil sekarang, kami bisa saja bertarung melawan iblis, namun sekembalinya itu bukan berarti kami akan mendapatkan hak kami.
Kami juga belum tahu keberadaan dari pahlawan yang membantai pahlawan lain, juga pahlawan bertombak yang kabur sendirian yang sepertinya berniat mengejarnya.
Yang diincar oleh iblis biasanya berisi pemukiman yang padat penduduk, jadi Sonra berniat mengajak kami ke tempat yang kecil untuk meningkatkan level, terlebih level kami sekarang yang paling tinggi hanya Pinova.
Iblis yang aku lawan sebelumnya berlevel 30, jadi jika rata-rata iblis berlevel itu atau diatasnya, akan menyulitkan bagi kami untuk menang. Karena petualang di sekitar sini rata-rata hanya berlevel 20 sampai 30.
"Begini saja, kita bagi dua tim, Sonra! Bagaimana jika kau dan Ryuna pergi dulu ke Talain, kami berdua akan berada disini membantu para petualang melawan iblis dan berunding dengan para bangsawan jika mereka ada disini, jika tidak memungkinkan situasinya, kami akan ke tempatmu."
Aku mencoba untuk memberikan strategi lain pada mereka, setidaknya itu akan meredakan perdebatan Pinova dan juga Sonra.
Namun tiba-tiba Ryuna yang sedari tadi diam melayangkan protes ke arahku, "Tapi Kak, aku ingin bersamamu."
"Ryuna? Disini terlalu berbahaya untukmu, sebaiknya kau bersama Sonra, dia juga pasti butuh bantuanmu nanti disana."
Setelah pertarungan dengan Ryuna waktu itu, sepertinya Ryuna telah membuka hatinya untukku setelah Pinova. Namun masalahnya dia belum akrab sama sekali dengan Sonra.
"Ah, baiklah-baiklah, kita akan membantu para petualang itu."
Tapi, nampaknya Sonra kalah suara, jadi akhirnya kami sepakat akan berada di kota ini sementara waktu untuk menahan serangan iblis.
**
Dalam persiapan melawan iblis kami tiap harinya rutin meningkatkan kekuatan, rank petualang kami pun naik secara cepat dari yang semula terdaftar sebagai rank F menjadi rank C. Untuk sekarang aku berada di level 10 dalam sistem skill ini, Sonra ada pada level 40, sementara Pinova sudah benar-benar tak terkejar, ia berada di level 290. Aku jelas tak paham berapa batas levelnya itu.
"Pinova?"
"Ya."
Saat ini kami berjalan di dalam hutan mengerjakan quest lain sesekali berburu monster jika ada, kami sudah cukup terkenal sebagai petualang disini, untuk meredakan orang-orang yang iri, kami seringkali berbagai atau menyerahkan buruan pada petualang yang berada di peringkat lebih atas.
"Bagaimana rasanya berada di level tinggi dalam waktu singkat?"
"Ini sudah mulai menyulitkan untuk meredam kekuatannya, sepertinya aku akan berhenti membunuh monster untuk membuat persiapan minggu depan."
Memang naik level bukan berarti semuanya menjadi untung karena kekuatan player akan menjadi semakin kuat, Pinova sendiri sebenarnya enggan, namun karena melindungi kota adalah keputusannya, ia berniat menaikkannya hingga level maksimal supaya tak jatuh korban jiwa. Namun bahkan sampai sekarang, levelnya belum maksimal, namun tubuhnya sudah terlihat mencapai batas.
"Hei, mau mencoba bertarung denganku?"
Dia menggelengkan kepalanya, "Tidak usah Mikka, bukankah kondisimu lebih menyulitkan sekarang."
"Aku tak merasakannya, selama aku tak membenturkan energinya, itu baik-baik saja kan."
Pinova diam, lalu melihat ke arah langit sesaat, lalu pandangannya kembali ke depan dan mulai berbicara lagi padaku, "Apa kau, merasa tertinggal ketika ada seorang yang lebih kuat darimu?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku pernah diposisi yang sama, aku tertinggal oleh kakakku."
"Tapi dia lebih tua kan? Sudah jelas kalau pengalamannya berbeda."
"Tidak, umur kami sama, kami lahir di tempat yang sama dan dibesarkan di tempat yang sama, tapi, dia lebih hebat dariku, disaat aku melangkah hampir seribu langkah, dia yang tanpa melangkah sanggup mencapai semua itu, bukankah itu tidak adil?"
Pandangan Pinova nampak menunduk, sepertinya hal itu membebani dirinya, sesaat kemudian ia memegangi kepala dengan tangan kirinya, "Aghh ..."
"Pinova kau tak apa?"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Travel in a Different Sky
FantasiHidupku terasa hampa dan melelahkan. Meskipun sudah melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, aku masih terjebak dalam dunia korporasi, ekonomi, dan politik yang monoton. Tidak ada lagi orang yang percaya padaku, terutama setelah aku dipecat karena f...