ENAMPULUHSATU - IJNAJ

2 0 0
                                    

Aku melihat sekilas bahwa Darrel sedang tidur. Di sampingnya berdiri Tante Lita dan seorang dokter.

"Kankernya sudah menyebar ke organ-organ vital. Operasi kemarin yang di Singapur cuma bisa mengambil sebagian kecil kanker. Dan pengobatan saat ini cuma bisa diharapkan untuk memperlambat kerusakan organ yang lain. Tapi kita akan terus pantau kondisinya."

Aku melangkah mundur dan keluar ruangan. Aku berlari ke arah toilet sambil menutup mulutku.

Kenapa? Kenapa aku baru sadar sekarang? Semua tanda-tanda menyerbu pikiranku, bertubi-tubi menunjukkan gambaran peristiwa.

***

Waktu itu, setelah berbaikan dengan Darrel, aku seharusnya tidak membiarkan Darrel berlari di tengah hujan untuk mengambil mobilnya. Air hujan itu jahat bagi Darrel, ia sampai memegangi kepalanya, kesakitan.

Waktu itu, saat Darrel menangis di makan papanya, membawa selembar kertas. Seharusnya aku tahu, mengapa ia bergegas menyimpan kertas itu di dalam sakunya. Mengapa ia menangis begitu keras. Mengapa pandangannya kosong saat aku mengajaknya makan bersama setelah itu. Sampai-sampai keluar kalimat dari bibirnya.

"Mungkin aku masih wajar kalo kita gak bisa atur yang ada di luar kita. Tapi, sayangnya yang di dalem pun gak bisa kita atur, ya, Ta."

Waktu itu, saat Darrel izin ke Australia selama hampir tiga minggu, yang ia bilang mengikuti seminar, seharusnya aku menaruh curiga. Sebagai sesama anak kedokteran, bahkan Fio tidak tahu bahwa ada seminar semacam itu yang diadakan. Darrel semakin sulit dihubungi lewat panggilan suara dan video. Darrel bukan mengikuti seminar... tapi Darrel...

Waktu itu, saat Darrel masih di Australia, aku mengantar kue ke Tante Lita, mama Darrel.

"Kamu anak yang kuat, Nata. Inget, kebahagiaan lain bisa orang temui di mana aja. Kebahagiaan gak cuma satu sumber dan kamu yang tentukan sumbernya."

Waktu itu, saat Darrel akhirnya kembali dari Australia. Ketika kami berada di rooftop hotel tempat pernikahan Kak Nes diselenggarakan.

"Kamu cantik banget, Ta. Aku berasa lagi latihan liat malaikat di surga pas nanti aku meninggal."

Waktu itu, saat Tante Lita menelpon Darrel, mengingatkannya untuk minum obat. Darrel bukan sakit pilek. Sungguh bukan.

Mimpi waktu itu.

Darrel. Pingsan. Rumah sakit. Pergi.

Kejadian ini dan apa yang baru aku dengar barusan.

Darrel. Pingsan. Rumah sakit. Aku mohon, jangan pergi.

Aku telah sangat amat terlambat menyadari. Sekarang vitamin tidak akan cukup lagi untuk membuat Darrel sehat. Entah apa yang akan cukup.

"Maaf, Ta. Tante gak kasih tau ini ke kamu lebih dulu."

***

"Ta?"

Aku merasakan tepukan di pipiku lembut. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sambil kembali duduk tegak. Darrel sudah sadar.

Aku menatap Darrel yang memakai masker oksigen.

"Kamu... udah tau semua ya, Ta?"

Aku masih menatapnya. Aku rasa Darrel menaruh perhatian lebih pada mataku yang bengkak. Darrel berusaha meraih tanganku.

"Maaf, ya, Ta. Aku bikin kamu nangis lagi. Aku... aku gak tau gimana caranya ngasih tau kamu." Suara Darrel lemah.

Jangan nangis, Nata. Jangan nangis.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang