DUAPULUH - IGREP

113 10 0
                                    

Siapkan hati.
Happy reading!

***

Kami sampai di cafetaria. Aku berpesan pada Darrel untuk menyamakan pesanan makananku dengannya. Aku duduk di salah satu meja di situ. Darrel segera menghampiriku sambil membawa bon pemesanan yang telah ia bayar.

"Ta! Jangan bengong, dong! Yang tadi jangan dipikirin," ucap Darrel sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

"Aku gak ngerti lagi. Ada orang kaya gitu, ya, ternyata," ucapku sambil berpangku tangan.

"Ta, kayanya aku gak jadi, deh..." ucap Darrel menggantung.

"Gak jadi apa?" tanyaku.

***

"Gak jadi... Jadi dokter jiwa...," ucap Darrel.

"Emang kamu mau ngambil tentang kejiwaan?" tanyaku.

"Iya, sih, tadinya. Abis seru aja gitu ngeliat orang gila. TADINYA," ucap Darrel.

"Idih! Apanya yang seru!" ucapku.

Segera setelah kami menghabiskan makanan, aku dan Darrel segera menuju ke ruang tunggu lagi. Terlihat sepi, sepertinya daritadi dokter belum keluar dari ruangan...

Cklek!

Pintu ruangan Kak Dirga terbuka, dokter keluar. Aku segera berdiri menghadap dokter itu.

"Dok! Gimana keadaannya?" tanyaku.

"Pendarahan yang dia alami memang sudah berhenti. Tapi, dia belum sadarkan diri," kata dokter itu.

Aku menutup mulutku, hendak menangis lagi namun kutahan.

Aku memasukki ruangan itu bersama Darrel setelah kami memakai pakaian khusus.

Banyak alat yang dipasang pada tubuh Kak Dirga. Kabel di mana-mana. Bunyi alat pendeteksi detak jantung menusuk telingaku. Aku tak berani melihat garis grafiknya.

Aku duduk di kursi sebelah ranjang Kak Dirga, memegang tangannya yang dingin itu. Kurasakan denyut nadinya.

Lemah.

"Kak Dirga..." kataku lembut.

"A... aku di sini... nemenin Kakak..." kataku mulai bergetar.

Air mataku mengalir lagi. Darrel berdiri dibelakangku sambil mengelus pundakku.

Satu, dua detik.

Tiga, empat menit.

Lima, enam jam.

Tujuh hari.

Kak Dirga, aku mohon. Bangunlah. Aku mau Kak Dirga menyapaku. Aku tidak ingin Kak Dirga tertidur terus seperti ini. Aku mohon.

"Udah tujuh... TUJUH HARI..."

Bu Asih histeris. Ia memelukku erat sekali. Kak Dirga sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Ibu mana yang tega melihat anaknya seperti ini. Ibu mana yang tega mendengar bahwa tidak ada lagi yang bisa dokter lakukan selain mulai menghentikan pengobatan yang sia-sia ini.

Kak Dirga tetap tidak sadarkan diri.

Kak, halo? Kak Dirga!

Aku memasukki ruangan Kak Dirga. Duduk di sampingnya, memegang tangannya.

"Halo, Kak! Kakak bangun, yuk! Banyak, lho, yang mau ketemu Kak Dirga."

Aku menggoyang-goyangkan bahunya lembut.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang