ENAMPULUHTIGA - (2) IATNAP

2 0 0
                                    

Jujurly udah ga sanggup nulisnya. Siapkan hati. "Happy" reading!

***

Kemoterapi selalu menjadi hal yang Darrel benci. Setiap kali kemoterapi, inilah kegiatanku. Memegangi kantong muntah Darrel sambil mengusap-usap punggungnya. Setelah Darrel cukup lega, ia akan tertidur karena tenaganya cukup terkuras habis. Aku keluar dari kamar Darrel, membuang kantong muntahnya, dan menangis di teras rumah Darrel.

Ya Tuhan, apa bisa sakit yang dia rasakan dibagi dua? Biar setidaknya, dia tidak menanggung itu semua sendirian.

***

Aku menemani Darrel duduk bersantai di bangku ayunan pada taman belakang rumahnya. Aku melempar sebuah bola tenis. Dennis mengerjarnya. Barangkali perlu aku ingatkan, Dennis adalah nama yang diberikan Darrel untuk anjing golden retriever-nya. Nama panjangnya Alexander Dennis. Iya, aku sepakat dengan kalian bahwa nama itu memang terlampau keren.

Tak sampai satu menit, Dennis telah membawa kembali bola itu di mulutnya, meletakkannya pada bangku ayunan di antara aku dan Darrel. Kami melempar bola tersebut bergantian. Kali ini adalah giliran Darrel. Tangannya yang lemah dan semakin ringkih itu hanya mampu melempar bola tersebut sejauh satu meter. Dengan cepat, Dennis menggigit bola itu dan meletakkannya kembali di bangku. Aku mengambilnya lagi, melemparnya. Entah apa yang aku pikirkan, aku melempar bola itu terlampau jauh, hingga bola melewati pagar pembatas taman belakang rumah Darrel. Dennis berlari mengerjarnya.

Darrel menyentuh tanganku. "Tenang, dia bisa balik lagi kok ke sini." Lengkungan ke atas tercipta di bibirnya yang pucat.

"Darrel, udah waktunya istirahat, ya. Yuk balik ke kamar." Kami berdua menengok ke belakang melihat Tante Lita yang berdiri di pintu ke arah taman.

Aku segera berdiri dan mendorong kursi roda ke dekat Darrel. "Yuk, Rel, saatnya anak Mama tidur."

"Aku mau jalan dong, Ta. Tapi kamu pegangin ya?" ucapnya.

Aku berhenti sebentar, ragu. Tapi aku tidak mau membuat Darrel kecewa. Darrel menapakkan kakinya ke rumput taman lalu berusaha berdiri. Darrel merangkulkan tangan kanannya di pundakku.

"Duh, udah kayak kakek-kakek aku, Ta, pake dituntun segala."

"Loh engga dong. Masa aku pacaran sama kakek-kakek?"

Kami berdua tertawa.

Sesampainya di kamar, Darrel segera berbaring.

"Jangan mimpiin aku ya, Rel."

"Iyalah. Kamu tuh terlalu indah untuk hanya jadi sekedar mimpi."

"Gombal aja."

Darrel tersenyum, lalu memejamkan mata.

Aku menuju pintu pagar karena mendengar suara-suara yang tidak asing. Aku melihat Meli, Dito, dan Fio keluar dari mobil Steffan. Tante Lita segera membukakan pintu.

"Eh, Ta!" tegur Meli.

Aku menghampiri mereka di pintu pagar. "Kalian ke sini mau ketemu Darrel ya? Yah, Darrelnya baru aja tidur."

"Bangunin lagi lah, kangen gue sama tuh anak." Pukulan Meli langsung menyambar lengan atas Dito. "Eh, maap, canda-canda."

Tante Lita tersenyum ramah. "Yuk, pada masuk."

Rumah Darrel yang tadinya sepi, kini ramai dengan anak-anak Six Kwek-Kwek yang tiada hentinya berceloteh. Terutama karena Meli dan Dito yang heboh, kini sudah menghabiskan dua pertiga toples berisi kue kering.

"Sebenernya kita ke sini juga mau ngobrolin satu hal sih," ucap Steffan sambil menatap aku dan Tante Lita bergantian. "Waktu itu pas mau ngelamar Fio, aku kan udah janji mau bayarin kita jalan-jalan ke Bali. Dengan keadaan Darrel sekarang..." Steffan terhenti.

Terdengar suara pintu kamar Darrel yang terbuka perlahan. "Eh, kalian pada dateng." Darrel hampir terjatuh, untung ia bertumpu pada meja di samping pintu kamarnya. Aku segera menghampiri dan menuntunnya ke ruang tamu.

"Tadi ngomongin ke Bali? Jadi kita ke Bali kapan?" tanyanya antusias.

Kami semua hening, ada yang saling melirik, ada yang menunduk.

Aku menghela napas dan memegang tangan Darrel. "Rel..."

"Aku boleh ikut, kan?" tanyanya.

Aku melirik ke arah Tante Lita. Belum sempat Tante Lita bicara, Darrel terlebih dahulu angkat suara.

"Aku tau aku lagi sakit. Parah lagi. Tapi aku pengen menjalani hidup, yang aku gak tau tinggal berapa lama lagi ini, seperti aku menjalani hidup aku yang biasanya. Bali selalu jadi tempat dengan momen spesialnya. Aku gak mau ketinggalan. Jadi boleh kan? Boleh Darrel ikut ke Bali, Ma?"

Tante Lita menatap Darrel yang sangat berharap. Ia mengangguk pelan. Aku sempat kaget, tapi tersenyum saat Darrel menatapku.

"ASIKKK JADI SIX KWEK-KWEK KE BALI LAGI!!!" teriak Meli sangat bersemangat.

"Mel, gak usah pake teriak-teriak segala, deh!" protes Fio sambil mengusap-usap telinganya.

"Kesian bener dah tetangga," tambah Dito.

"Tapi Mama minta satu hal sama Darrel ya." Ucapan Tante Lita membuat suasana hening kembali. "Selama di sana, kamu pake kursi roda. Nata, Tante minta tolong jagain Darrel bisa ya?"

Aku dan Darrel sama-sama mengangguk.

"Tenang, Tante. Kita semua bakal jagain Darrel, kok," ucap Steffan diikuti anggukan yakin yang lain.

Aku tidak tahu apakah keputusan ini tepat atau tidak. Tapi asalkan Darrel bisa bahagia dan menikmati waktu yang ia miliki, sesungguhnya aku hanya bisa pasrah sama yang di atas.

***

"LAUUUTTT AKU DATANGG LAUUTT!!!!" teriak Meli hingga beberapa ibu-ibu menjauhkan anaknya dari dekat kami.

"Mel, lu bisa gak sih gak berlebihan! Udah kek anak karyawisata lu!" ucap Dito.

Meli, Dito, Fio, dan Steffan sudah bersiap untuk berolah raga air.

"Yuklah langsung let's go saja!" ucap Meli sangat bersemangat. Dito menyusulnya.

"Yuk, Fi," ucap Steffan sambil menggandeng tangannya. Fio tak berkutik.

"A-aku masih trauma. Kalau nanti kebawa arus lagi gimana?"

Steffan menghela napas. "Kamu mau tunggu sini aja sama Nata sama Darrel?"

Belum sempat Fio menjawab, Darrel terlebih dahulu berkata, "Pergi, Fi. Hadapi rasa takut itu. Rasa trauma gak bawa kamu ke mana-mana, Fi. Kali ini kamu gak bakal kenapa-napa. Ada Steffan yang siap jagain kamu selalu. Iya, kan, Stef?"

"Iya, Fi, jadi kamu mau ikut kan sekarang?" tanya Steffan sambil memegang tangan Fio.

Fio menghela napas, meyakinkan diri. "Oke."

Sambil menunggu Meli, Dito, Fio, dan Steffan selesai, aku menemani Darrel duduk di bawah payung besar berwarna putih di pinggir pantai.

"Ta, kalau kamu mau ikut mereka main, ikut aja. Aku yang jagain barang-barang di sini. Gak apa-apa, kok," ucap Darrel.

Aku meraih tangannya. "Gak mau. Aku harus jagain kamu, Rel. Nanti aku tinggal, eh, kamu malah jajan-jajan minuman sembarangan. Gak boleh."

"Ih yaampun, pacar aku udah kayak baby sitter, ya," ucap Darrel. "Ta, aku jadi inget deh waktu pertama kali kita ke Bali bareng, pas masih kuliah tingkat 1 itu. Pas aku berusaha nembak kamu. Tuh, tepat di situ." Darrel menunjuk satu daerah di pinggir pantai.

Aku tersenyum mengingat kejadian itu. 

Darrel mengeluarkan kameranya dari wadah. "Nih fotonya masih ada. Foto sunset maha karya Natalia Tanusaputra. Dulu harusnya sebelum ini ada foto kamu, eh, tapi malah kamu hapus karena ngambek."

Kami tertawa bersama.

"Oh, ya, Rel, jadi inget deh. Waktu itu kamu nyelamatin Fio dan kamu meluk Fio, aku sempet cemburu."

"Hah? Waktu itu kamu cemburu? Wah, ternyata kamu emang dari dulu punya rasanya tuh buat aku ya. Aku senang." Darrel tersenyum kemenangan.

Aku harap kamu akan selalu senang, Rel. Namun detik terus berjalan dan akhir kisah yang udah dirancang Sang Pemilik Semesta harus terjadi.

Bersambung...

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang