EMPATPULUHEMPAT - AID

58 3 0
                                    

Hening, hingga Darrel membuka mulutnya. "Kita break dulu, Ta."

"Break? Buat apa?"

"Aku rasa hubungan kita udah gak sehat. Kita sama-sama sibuk. Kita udah jadi budak emosi kita masing-masing. Cemburu gak pasti."

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Gak, Rel. Kita cukup ngelupain apa yang udah lewat. Kita bisa mulai dari detik ini secara baik-baik lagi, kayak awal sebelum masalah ini muncul."

"Kita cuma perlu waktu sendiri, ngerenungin perasaan sama hubungan ini. Aku cuma mau kita istirahat sebentar, bukan putus. Kamu gak mau kita putus lagi, terus aku harus nembak kamu lagi untuk yang ketiga kalinya, kan?"

Kata-kata itu menusuk sungguh tajam dan dalam.

***

"Rel, bisa gak, sih, sekali aja lu kalo bikin keputusan itu bersama, jangan cuma keputusan sepihak." Itu bukan aku. Itu Dito, tiba-tiba menghampiri kami berdua. "Nata bener. Lu berubah, Rel. Lu bukan Darrel sobat gue yang selalu mikir dengan kepala dingin."

"Sorry, Dit. Ini urusan gue sama Nata. Ini keputusan terbaik." Darrel pergi meninggalkan kami berdua.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya sedikit lagi kakiku tidak kuat untuk menahanku berdiri. "Dit, bisa anterin gue pulang?" ucapku sambil menahan tangis.

Dito mengantarku pulang tanpa banyak protes seperti biasanya. Untunglah, dibalik sikap ter-ga-bisa-diem-nya, dia masih punya rasa peka terhadap keadaan. Satu belokan lagi menuju rumahku. Namun, Dito berbelok ke arah lain.

"Dit, rumah gue--"

"Gak, lu gak boleh pulang," ucap Dito masih fokus ke jalan raya.

"Terus mau ke mana? Gue cuma butuh pulang, Dit," ucapku.

"Lu gak butuh pulang. Gue bakal anter lu ke tempat yang lebih lu butuhin."

Aku bersandar pada jok mobil, pasrah. Entah ke mana si gamers ini akan membawaku.

***

Dito membawaku ke sebuah lapangan kecil. Letaknya cukup tinggi. Dari sini, aku bisa melihat kota dengan kelap-kelip cahaya malamnya. 

"Aturan pertama di tempat ini, lu boleh nangis, lu boleh teriak sepuas lu. Aturan kedua, setelah dari tempat ini, gak boleh lagi ada beban yang lu bawa pulang," ucap Dito.

Aku hanya diam di tempat dan tidak berbuat apa-apa.

"Kok, diem, sih?" protes Dito.

"Gue ga bisa nangis kalo ada yang ngeliatin," ucapku.

Dito memutar matanya malas. "Ya, udah. Gue sembunyi di belakang semak-semak dulu." Dito berjalan ke salah satu rerumputan tinggi tak jauh dari tempat aku berdiri.

Aku memejamkan mata, mengembuskan napas perlahan. "DARREEELLL JAHAAAATTTTTT!!!!!!!" Sekumpulan kawanan burung terbang menjauh. Air mataku deras mengalir. Kenapa, sih, air mata ini selalu terjatuh untuk orang yang aku sayangi?

Aku berteriak sekencang mungkin. Entah berapa kali aku menyebutnya jahat. Entah berapa kali juga aku menyesal mengatakan itu. Tapi setidaknya, biarlah hatiku lega lebih dulu.

"Nih." Dito berdiri di sampingku. Aku mendongak dan mengambil beberapa lembar tisu yang ia sodorkan. Ia lalu duduk di sampingku. "Gue gak mau nganterin lu pulang, abis itu lu masuk kamar dan nangisin sobat brengsek gue itu semaleman. Makanya, gue ajak lu ke sini."

"Thanks, Dit," ucapku. "Gue gak nyangka Dito yang gue kenal bisa sedewasa ini."

Dito tersenyum. "O, iya, ntar gue punya sesuatu buat lu." Dito berjalan ke arah mobilnya, mengambil sebuah kotak makanan dari bagasinya.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang