ENAMBELAS - LAGGNAJ

118 12 4
                                    

"Ini, Ta. Bukunya, sih, ini. Cuma sampulnya, kok, ada yang biru ada yang merah, ya? Kalo isinya beda masa harus beli dua-duanya? Gue kagak tau bedanya," jawabnya sambil garuk-garuk kepala.

"Hmmm, gue panggil petugasnya, ya," ucapku lalu memanggil salah satu petugas yang ada di sana.

Petugas itu dengan sigap menghampiri kami berdua.

"Mas, ini judulnya sama tapi, kok, covernya beda, ya?" tanyaku.

"Oh, ini sama aja, Mba. Kan, don jajs e buk bay its kaper," jelasnya.

"Tapi, kok, kayak lebih enteng yang merah, ya?" ucap Malika sambil menimbang-nimbang kedua buku.

"Oh, itu... karena..." ucap petugas itu menggantung.

***

Kami berdua menatap dan menunggu kalimat lanjutan darinya.

"Cie.. cie.. nungguin, yah?" ucap petugas itu pada kami.

"Emmm, Mas. Belum pernah dilempar pake bambu runcing masa penjajahan?" ucap Malika menahan emosi.

"Belum, Mbak. Cintaku dibalas juga belum pernah," ucap petugas itu mulai baper.

"Mas, plis jangan bercanda," ucapku.

"Ya, maaf, Mbak. Karena sesungguhnya jati diri saya adalah seorang pelawak, Mbak. Tapi takdir berkata lain. Jadilah saya petugas di toko buku ini. Tapi saya percaya. Di balik pekerjaan ini, ada rencana Tuhan yang besar, bekerja dalam kehidupan saya, Mbak," ucapnya dengan gaya seorang pemberi motivasi.

Malika bertepuk tangan.

"Saya salut, Mas, sama pandangan hidup masnya," ucap Malika sambil menepuk-nepuk bahu masnya.

"Aduh, Mal, kok, salah fokus, sih?! Bukunya!" ucapku mengingatkan.

"Ehehehe, maaf, Ta. Terbawa suasana gue. Jadi, Mas, ini kenapa lebih enteng, yah?" tanya Malika lagi.

"Soalnya yang merah cetakan kedua, Mbak. Kertasnya kertas daur ulang karena penerbitnya menyayangi bumi, planet kita ini," jelas petugas itu.

"Oww, gitu," ucapku.

"Tuh, Mbak, kalo masih pada jomblo, kontak aja penerbitnya. Sama planet bumi aja sayang, gimana sama kamu... cia.. cia.. ciaaa... Sikat bosku jangan kasih kendor!" ucap petugas itu keluar topik pembicaraan lagi.

"Ya, udah, makasih, Mas. Kita ke kassa, yuk, Mal," ucapku sambil sedikit mendorong Malika untuk berjalan.

"Ta! Kok, buru-buru, sih! Gue masih mau ngedengerin ocehan masnya. Lumayan, tuh, nambah skill ngelawak gue!" ucap Malika.

'Bisa gila gue dengerin ocehan dia! Aneh!' batinku.

Setelah membayar bukunya, kami segera pulang ke rumah masing-masing. Ya, iyalah, ke rumah masing-masing. Masa ke rumah abang? Itu, mah, nanti kalo abang udah halalin aku... cia.. cia.. ciaa...!

Tuh, kan.

Ketularan masnya.

***

6.45 AM

Aku telah mandi dan bersiap. Hari ini aku akan menemani Darrel ke salah satu tempat digital printing untuk mencetak spanduk acara di kampus. Aku melihat Kak Nes sedang senyum-senyum sambil memainkan ponselnya di ruang tamu.

"Ada yang seneng banget, nih, kayaknya," ucapku.

"Nata! Kamu gak bakal percaya apa yang kejadian kemaren!" ucap Kak Nes sangat bersemangat.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang