ENAMPULUHDELAPAN - TAMAT

2 0 0
                                    

Hidup memang tidak seindah nada yang membangun lantunan lagu, namun tetaplah hidup sekuat nadi yang senantiasa mengalirkan kehidupan. Aku pamit, Ta. Warna-warna kehidupan itu. Terima kasih atas semuanya.

Ingat selalu bahwa kamu gak pernah kehilangan aku, Ta. Semangat, kebahagiaan, dan mimpi-mimpi, aku selalu ada bersamamu di sana. Tersenyumlah, karena semesta selalu menyediakan harapan untukmu, Natalia Tanusaputra.

Aku sayang kamu, selalu, selamanya.

Video itu selesai, meninggalkan aku dengan air mataku yang belum dapat berhenti. Terima kasih banyak, Darrel Lijaya. Aku kini tahu ada pribadi yang bisa dengan dalamnya mencintaiku sebagai kekasihnya. Aku tidak pernah menyesal dipertemukan dengan kamu, meski harus berakhir dengan perpisahan yang tak mungkin menciptakan pertemuan kembali.

Sekali lagi... terima kasih, Rel.

Karena kamu... Alasanku hidup bahagia

Selalu. Selamanya...

***

Aku memegang dua buku itu di tanganku. Keduanya adalah buku diary. Suatu buku yang tak sembarang orang bisa melihat isinya, apalagi diserahkan pada orang lain. Yang kutahu, buku itu harus ada di tangan orang yang terpercaya.

Apa aku adalah orang itu?

"Heh, Ta! Bengong aja kerjaan lu!"

Aku terkejut tapi untungnya kedua buku ini tak lepas dari tanganku.

"Masih kepikiran sama isi bukunya?" tanya Malika.

"Iya. Lu tau, kan, mereka berdua percaya bahwa gue bisa ngewujudin impiannya. Menurut lu, gue bisa?"

"Okay. Gue gak tau apa yang bakal terjadi ke depannya, but, at least gue tau lu dan... ya, gue YAKIN lu bisa."

Aku menganggap kata-kata dan tepukan di pundak itu sebagai penyemangatku.

"O, iya, pacar lu mana? Bukannya harusnya udah dateng?"

"Tar lagi kayanya, Ta."

Terdengar suara rem mobil dari bawah.

"Itu mobilnya?"

"Iya, itu."

Langkah kaki terdengar mendekat ke arah kami.

Mereka berpandangan sebentar lalu berpelukan.

"Ta, kenalin. Ini pacar gue yang sering gue ceritain ke lu."

"Lu..."

"Natalia?"

Itu Richard.

"Lah, kalian udah saling kenal?" Malika heran menatap kami bergantian.

"Ini temen aku dari kecil, Yang. Dulu kami tetanggaan malah," jawab Richard menerangkan.

Mulut Malika membentuk huruf O.

Aku dan Richard duduk di ruang tamu rumahku. Malika sibuk meminjam dapurku, berniat memasak masakan spesial dalam rangka menyambut kekasihnya.

"Ternyata selama ini pacar Malika adalah lu dan lu adalah pacar Malika," ucapku benar-benar tercengang dengan fakta yang baru kuterima.

Richard tertawa kecil.

"Emm... Ta..."

"Iya?"

"Gue turut berduka cita ya soal, Darrel..." Richard menundukkan kepalanya.

Aku mengangguk pelan.

"Soal itu, Ta... sebenernya..." Richard masih menundukkan kepala. Aku melihat ke arahnya. Ia melanjutkan, "Gue sebenernya udah tau Darrel sakit sejak tahun lalu."

Aku tersentak. Richard melihat ke arahku singkat.

"Lu inget waktu Darrel pernah izin ke Aussie buat seminar kedokteran?"

Dia sebenernya berobat.

"Dia sebenernya berobat, Ta. Gue waktu itu lagi di rumah sakit yang sama, lagi ada mata kuliah kedokteran gue. Gue ketemu dia. Dia nyeritain semuanya ke gue. Termasuk kalo lu belum tau soal penyakitnya. Dan gue... maaf gue udah janji ke dia untuk gak ngasih tau ke lu. Maaf, Ta."

Richard masih tertunduk. Aku memejamkan mataku. Menghela napas.

Aku menaruh tanganku di bahu Richard. "Lu gak salah, Chad. Gue percaya Darrel. Gue percaya dia ngelakuin yang terbaik yang bisa dia lakuin kok."

"Rasanya lega udah bisa ngasih tau lu tentang hal ini. Tapi somehow bener deh, gue ngerasa bersalah sama lu..."

"Kalo lu bersikeras masih merasa bersalah, lu mau bantu gue ngelakuin sesuatu?"

"Apapun, Ta. Apapun gue lakuin demi lu dan Darrel."

Aku tersenyum. Malika menghampiri kami sambil masih memakai apron dan membawa spatula.

"Makanan udah siap. Ayo diserbu!"

***

"Nak Dirga pasti seneng kalo tau anak panti bisa balik lagi ke tempat ini. Makasi ya, Nak Nata dan Nak Justin."

Anak-anak panti kini resmi kembali ke tempat lama. Gedung dengan segala kenangan mereka bermain bersama Kak Dirga dan Kak Oliv. Tembok-tembok dengan segala coretan dan gambar mereka seperti hidup kembali. Anak-anak senang juga karena kembali bisa bermain di halaman rumput yang luas.

Panti ini kembali menjadi hak milik Bu Asih atas bantuan Kak Justin dan bagian kemasyarakatan di perusahaan J-Corp miliknya. Dan berita baik lainnya, Mama dan Tante Lita dengan senang hati menjadi pengurus panti. Aku senang melihat Tante Lita yang telah kembali semangatnya karena anak-anak. Tak ada lagi kesedihan atas kehilangan putra semata wayangnya itu.

Berita baik lagi-lagi masih ada. Di sebelah panti tersebut, dibangun rumah sakit untuk anak-anak dan warga yang kurang mampu. Berkat Richard, Fio, dan teman-teman kedokteran lainnya, mimpi Darrel terwujud. Lagi-lagi didanai oleh perusahaan milik Kak Justin seluruhnya.

"Darrel pasti bangga sama temen-temennya. Sama kalian semua..." ucap Tante Lita sambil menggendong salah satu anak panti.

Kak Nes dari tadi menggandeng tangan Kak Justin erat ke mana pun ia pergi. Ya bagaimana tidak. Mulai besok Kak Nes akan pergi ke Singapura untuk melanjutkan kuliah S3-nya. Lagi-lagi, berita baik.

Mama menghampiri dan merangkulku.

"Mama bangga sama kedua anak Mama. Dua-duanya bener-bener tumbuh jadi gadis-gadis yang hebat. Papa di sana juga pasti bangga sama kalian."

Gedung Rumah Sakit Lijaya dan Panti Asuhan Anggara berdampingan.

Aku menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata.

Aku harus mengutip kata-kata Darrel.

Hidup memang tidak seindah nada yang membangun lantunan lagu, namun tetaplah hidup sekuat nadi yang senantiasa mengalirkan kehidupan.

NADA NADIKU SERIES
TAMAT

***

WOEE TAMAT WOEEEEEEEEE!!! /nangis bombay/

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang