ENAM - NAUMETREP

150 13 2
                                    

Setelah menghabiskan sarapan, aku langsung menuju ke taman hutan raya.

GOA BELANDA, AKU DATANG!

"Nih, senter dan walkie talkie-nya. Kalo ada masalah, kamu bisa calling kita yang di luar," kata salah satu penjaga di sana.

Aku menghampiri kelompok pengunjung yang akan kupandu.

"Selamat pagi semua! Saya Natalia Tanusaputra, tour guide kalian hari ini. Kalian masing-masing akan diberi senter. Harap jangan berpisah dari kelompok. Jadi, kita mulai saja. Inilah, goa Bel--"

Langkahku terhenti.

Apa kalian tahu?

Oh, tidak! AKU LUPA APA ARTINYA GOA!

***

Goa yang ada di pikiranku saat pertama kali mendengarnya adalah sesuatu yang seru dan menantang, apalagi dengan adanya denah ini, kupikir aku dapat menjelajahinya dengan mudah.

Sementara itu, goa yang ada di depanku ini, gelap, sunyi, dingin, dan mencekam.

Oh, Tuhan! Apa aku harus pulang saja?

TIDAK! AKU HARUS BISA MELEWATI INI!

Aku membawa kelompokku masuk ke dalam goa. Kelompok ini terdiri dari 5 orang, seorang ibu dengan 4 anak laki-lakinya.

"Jadi, bagi Belanda, goa ini sangat menarik bagi strategi militer karena lokasinya terlindung. Nah, dalam terowongan ini dibangun jaringan goa sebanyak 15 lorong dan 2 pintu masuk setinggi 3,20 meter, luas pelataran yang dipakai goa seluas 0,6 hektar dan luas seluruh goa berikut lorong nya adalah 548 meter. Selain untuk kegiatan militer, bangunan goa ini digu--"

"Eh, mbak, ini anak saya mau kencing dulu. Mbak lanjutin aja penjelasannya," kata Ibu itu.

"Oh, iya, Bu, tidak apa-apa."

Ibu itu keluar lagi dari gua bersama anak laki-lakinya yang paling kecil. Kami memang baru berjalan lurus sejauh 6 meter dari pintu masuk, so, pintunya masih terlihat sangat jelas.

"Oke, kita lanjut, ya. Selain buat militer, goa ini digunakan buat stasion radio telekomunikasi Belanda, karena station radio yang ada di Gunung Malabar terbuka dari udara sehingga tidak mungkin dilindungi dan dipertahankan dari serangan udara. Meski--"

"AUUU!!! KAKAK! SAKIT TAU!" kata salah satu anak laki-laki.

"Kan, Kakak gak sengaja!" kata anak yang lebih tinggi.

"POKOKNYA AKU BALES!"

Anak itu hendak memukul kakaknya, namun kakaknya berlari menjauh, adiknya mengejar.

"TUNGGU, DEK! JANGAN LARI! NANTI KESESAT!" kataku berusaha meraih tangan anak itu namum kurang cepat.

Anak laki-laki yang paling besar itu berkata padaku, "Mbak tenang aja, saya kejar adik saya dulu."

"HEH! KAMU JANGA--"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, anak itu sudah berlari.

"ARRRRGGG!!!"

Aku segera berlari menyusul mereka. Mereka berlari sungguh cepat sehingga jarak kami semakin jauh.

Napasku terengah-engah. Teriakan anak-anak itu sudah tak terdengar lagi, begitupun dengan sinar senter mereka sudah tak terlihat lagi. Aku memutuskan untuk berjalan sambil memanggil-manggil mereka. Semakin lama, aku merasakan senterku semakin redup dan... PET! Mati total.

"Plis, senter, plis nyala!" kataku sambil memukul senternya ke telapak tanganku.

Hasilnya sia-sia.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang