DUAPULUHEMPAT - RAJEK

101 7 0
                                    

"IYA! Tadinya gue juga kaga percaya! Terus gue tanya emak gue, katanya emang bener. Tapi, gak ada yang berani ngelaporin dia ke pihak berwajib karena orang yang milih ibu itu jadi pengurus panti itu orang penting alias pejabat penting yang punya kekuasaan kuat. Takutnya kalo ngelaporin, tuntutannya malah balik ke kita!" jelas Malika.

"Terus, anak-anak gimana, dong, Mal!" ucapku cemas. "Mana gue udah nyumbangin uang lomba gue buat panti itu!"

"HAH?!?!? LU NGASIH-" ucap Malika menepuk dahinya, "KENAPA LU KASIH?!?!?! Itu gak bakal buat anak-anak, tapi masuk kantong sendiri!"

"Gu... gue harus ke sana, Mal. GUE HARUS KE SANA!" ucapku memakai tas selempangku kemudian beranjak dari bangku.

"EH?! Ke sana gimana maksud lu?" ucap Malika kaget.

***

"Gue bakal perjuangin hak anak-anak," ucapku beranjak pergi.

"EH, TA?!?! MAU GUE TEMENIN?" ucap Malika berteriak.

Aku berbalik sebentar, menggeleng, lalu melanjutkan langkahku. Aku keluar kampus lalu segera mencari angkutan umum terdekat. Anak-anak tidak punya siapa-siapa lagi. Aku ingin mereka bahagia.

Aku menghentikan angkutan umum di jalan besar dekat panti. Aku berjalan sebentar dan kemudian sampai. Di luar terlihat sepi, panti tak dijaga sama sekali, bahkan bapak-bapak yang kemarin itu tak ada.

Aku langsung masuk. Aku terkejut mendengar suara teriakan seseorang. Aku mendekat ke arah suara itu.

"Kamu pasti yang ngabisin nasinya, kan? NGAKU KAMU! Dasar anak-anak tukang nyuri!"

Itu suara ibu-ibu kemarin. Ibu ketua panti yang telah menggelapkan uang untuk dimasukkan dalam kantong sendiri. Apa aku lapor polisi saja? Tapi polisi perlu bukti. Aku mengeluarkan ponselku dan merekam tindakan ibu itu.

Maafin Kak Lia. Kakak belum bisa tolong kalian sekarang, batinku.

"BU! ANAK INI DATANG LAGI! DIA MEREKAM IBU!" Tiba-tiba seorang bapak berada di belakangku. Ibu itu jadi mengetahui kehadiranku.

"Pegang anak itu! Jangan sampai kabur!" Bapak itu dengan sigap mengunci kedua tanganku dari belakang. Ia mengambil ponselku.

"LEPASIN! Kalian orang-orang jahat! Kalian gak seharusnya ngambil keuntungan dari panti ini!" teriakku berusaha melepaskan diri. Aku terlalu lemah.

"O, jadi kamu sudah tahu semuanya, ya?" ucap Ibu itu mendekat padaku, memegang daguku kasar agar mau menghadap kepadanya. "Tapi, di aturan main tidak boleh ada saksi mata." Ibu itu berjalan ke dekat salah satu laci. Pistol. IA MENGELUARKAN SEBUAH PISTOL!

Napasku terengah-engah. Aku ketakutan setengah mati. Apa aku harus mati tertembak olehnya?

BRAK!

Anak-anak melempar mainan pada ibu itu tepat pada kepalanya. Ia meringis kesakitan. Bapak yang memegangku kaget. Aku memanfaatkan ini untuk meronta, menendang perutnya dengan dengkulku dan merebut ponselku secepat mungkin.

"ANAK-ANAK SIALAN!" Ibu itu mengelus kepalanya. "HEH KAMU! JANGAN BIARIN DIA LOLOS! KEJAR!" Ibu itu memerintahkan dua bapak lainnya yang ada di situ untuk mengejarku. Seakan punya energi penuh, aku berlari secepat mungkin.

Aku keluar dari panti dan langsung belok ke kanan. Entah ke mana kakiku akan membawaku. Aku terus berlari, sesekali menengok ke belakang, namun dua bapak itu masih mengejarku. Kakimu mulai penat, napasku terengah-engah. Aku belum mau mati! Bapak itu membawa pistol dan siap siaga menembakku kapan pun!

Aku harus menemukan tempat persembunyian sebelum energiku habis lalu aku tertangkap dengan sukses. Aku melihat taman dengan pohon yang cukup tinggi di depannya, cukup baik untuk tempat bersembunyi. Merasa sudah tidak diikuti, aku bersandar ke sebuah pohon di situ, tentunya di sisi terjauh dari pintu masuk taman ini.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang