ENAMPULUHEMPAT - NIGNI

4 0 0
                                    

"Oh, ya, Rel, jadi inget deh. Waktu itu kamu nyelamatin Fio dan kamu meluk Fio, aku sempet cemburu."

"Hah? Waktu itu kamu cemburu? Wah, ternyata kamu emang dari dulu punya rasanya tuh buat aku ya. Aku senang." Darrel tersenyum kemenangan.

Aku harap kamu akan selalu senang, Rel. Namun detik terus berjalan dan akhir kisah yang sudah dirancang Sang Pemilik Semesta harus terjadi.

***

Kami berenam masuk lewat gerbang bertuliskan "Festival Lampion" yang terbuat dari lampu-lampu. Kami langsung disambut oleh terowongan yang dindingnya diselimuti lampu-lampu kecil berwarna hijau. Lampunya berkedip-kedip dalam irama yang berganti-ganti. Dari antara deretan lampu hijau, terdapat lampu berbentuk bunga berwarna merah. Keduanya menyatu, berbentuk seperti tumbuhan merambat di dinding, dengan bunganya yang sedang merekah.

Keluar dari terowongan, kami disambut oleh lampion-lampion besar berbentuk jamur bermotif polkadot merah dan putih. Tak seberapa jauh dari sana, lampion berbentuk bunga menunjukkan kemegahan mahkotanya pada kami. Rumput-rumput juga dihias oleh lampu-lampu kecil yang saling tersambung. Ada yang berwarna hijau muda, ungu, dan kuning.

Berjalan beberapa langkah lagi, kami melihat pohon tinggi tanpa daun, seperti meranggas di musim gugur. Batang utama dan rantingnya diselimuti lampu-lampu dengan warna seragam. Ada yang merah muda, jingga, dan hijau tua.

Malam itu sebenarnya cukup gelap. Penerangan hanya dari lampu warna-warni dan dari lampion. Aku mendorong kursi roda Darrel. Darrel melihat ke kanan dan ke kiri. Kadang ia menunjuk-nunjuk lampion berupa unik dan membuat candaan tentangnya. Sesekali aku membungkuk sedikit untuk melihat wajahnya yang riang. Penerangan yang tak cukup seakan menyingkirkan pemandangan pucat dari wajahnya.

Setelah dibuat kagum oleh lampion-lampion berbentuk gajah, burung merak, rusa, dan harimau, kami menuju ke pantai di dekat situ. Lampion-lampion terbang berbentuk tabung tinggi satu per satu melayang, menghiasi langit dengan cahayanya. Kami membeli lampion untuk masing-masing, lalu menyalakannya.

Aku berjongkok di sebelah Darrel dengan kursi rodanya untuk menyamakan tinggi.

"Make a wish dulu, Ta, sebelum diterbangin." Darrel mengingatkanku.

Aku mengangguk lalu memejamkan mata. Setelah selesai, aku membuka mata dan melepas lampion. Lampion itu semakin mengangkasa, menyatu dengan lampion lain yang sudah terbang tinggi. Aku lihat Darrel belum menerbangkan lampionnya.

"Ta, lampion punyaku aku kasih ke kamu. Segala harapanku dan anganku, aku kasih ke kamu." Darrel meraih tanganku dan menyerahkan lampionnya padaku. "Make a wish dan biarin harapan kamu terbang setinggi mungkin, Ta. I'm very grateful to have you. I wish I can always be with you. Di masa depan nanti, aku gak tau apakah aku akan ada atau engga untuk kamu. Tapi, aku tau, Sang Empunya Semesta selalu jaga kamu dengan segala mimpi-mimpi kamu."

Satu tetes air mataku jatuh. Darrel mengusapnya lembut dengan jarinya. Ia mengangguk. Aku memejamkan mata sekali lagi, lalu membuka mata, menerbangkan lampionku dengan segara harapan. Atas diriku, atas Darrel, dan atas segala rancangan baik semesta.

 Atas diriku, atas Darrel, dan atas segala rancangan baik semesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Dingin, remang. Bunyi melengking setiap beberapa putaran jarum detik. Selang-selang. Namun dia yang kutunggu belum juga membuka mata.

Sepulangnya dari festival lampion, kami segera kembali ke villa untuk beristirahat. Pagi harinya, aku terbangun karena goncangan kencang di bahuku.

"Ta, Darrel, Ta!" Suara Steffan bergetar.

Aku segera menuju ke kamar Darrel, Steffan, dan Dito. Darrel terbaring di kasur paling tengah. Ada bercak darah di bantalnya. Aku menepuk-nepuk pipi Darrel, namun Darrel tak kunjung sadar. Aku memegang pergelangan tangannya. Nadinya berdenyut sangat pelan.

"Telpon ambulans!"

Kami berlima naik ke ambulans, duduk di sebelah kiri dan kanan ranjang Darrel. Aku menelpon Tante Lita. Tante Lita panik, langsung memesan penerbangan tercepat ke Bali.

Hari hampir tengah malam. Sudah lama sekali rasanya dokter dan tenaga medis lainnya berada di dalam ruangan bersama Darrel. Tante Lita baru sampai. Ia menyuruh kami segera kembali ke villa dan membiarkannya yang menjaga Darrel. Kami bersikukuh untuk ikut menunggu di rumah sakit sampai Darrel sadar.

Pintu ruangan terbuka. Dokter meminta Tante Lita untuk bicara terlebih dahulu dengannya. Aku segera melangkah masuk ke ruangan. Tante Lita mencegatku.

"Nata, kamu ikut Tante, ya. Tante rasa kamu perlu tahu."

Aku melirik yang lain dan langsung mengikuti Tante Lita dan dokter.

Ruangan berukuran 3x3 itu sungguh senyap. Udara terasa dingin menusuk. Namun tetap saja kalah menusuk jika dibandingkan apa yang dokter katakan mengenai kondisi Darrel.

"Dari kondisi hari ini, sayangnya kemo dan pengobatan sama sekali tidak memperlambat tumbuhnya sel kanker di tubuh Darrel. Saya perkirakan Darrel hanya bisa bertahan 2-3 hari ke depan. Itu pun dengan berbagai komplikasi di organ-organ vital di tubuhnya."

Tante Lita menutup mulutnya. Terisak. Aku memeluk sambil mengusap-usap punggungnya.

"Dokter... to... tolong lakukan apa saja supaya anak saya bisa sembuh. Tolong dokter... pasti ada caranya... pasti ada caranya..."

"Kita akan selalu memantau kondisinya dan memberikan apa yang sekiranya diperlukan. Sisanya, kita serahkan sama yang di atas ya, Bu. Dokter dari segala dokter."

Kami bertiga kembali ke ruang rawat Darrel. Steffan, Fio, Dito, dan Meli duduk tertunduk di salah satu sisi ruangan. Tante Lita mengelus pipi Darrel.

"Nak, kamu bangun ya? Bangun yuk, Nak..."

Tante Lita terisak kembali.

Steffan, Fio, Dito, dan Meli memutuskan kembali ke villa untuk mengemas barang-barang. Tante Lita tidur di sofa karena kelelahan sesudah perjalanan jauh dan menangis. Aku tidak bisa tidur dan memutuskan untuk menetap di posisi yang sama, duduk di samping ranjang Darrel sambil menggenggam tangannya. Terlepas dari alat berbunyi nyaring itu, aku lebih memilih untuk merasakan denyut nadinya sendiri. Memastikan dia masih benar-benar berada di sisiku dan tidak pergi terlampau jauh.

Aku dibawa jauh oleh ingatanku, ketika kami pertama kali bertemu. Anak berbadan gemuk, mata sipit, dengan kacamata berbingkai hitam. Aku yang membantunya meraih pujaan hatinya sewaktu SMP, walau harus berakhir tak bahagia, sama seperti cinta pertamaku. Sejak saat itu, Darrel mewarnai hari-hariku. Membawaku bersenang-senang menaiki ferris wheel yang mesinnya berhenti ketika kami berada di paling atas. Juga saat kami berdua terjebak di lift sampai oksigen hampir habis. Tepat di hari kasih sayang, aku dan Darrel resmi berpacaran.

Kejadian duka kami lewati bersama. Papa kami berdua menjadi korban kecelakaan saat sedang berada di perjalanan bisnis bersama. Pecahnya guci kenangan Darrel dan papanya menjadi penyebab retaknya hubungan kami berdua. Darrel menjalin hubungan dengan pujaan hatinya waktu SMP. Aku mati-matian berjuang agar Darrel sadar bahwa pujaan hatinya itu hanya ingin memanfaatkan Darrel. Aku pikir, kisah kami berakhir di situ, hingga akhirnya Darrel sadar dan kami kembali berbaikan.

Bersambung...

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang