EMPATPULUHSATU - APUL

43 3 0
                                    

Matahari mengenai wajahku. Aku berusaha membuka mataku yang bengkak karena menangis kemarin. Aku melihat sekeliling kamarku, terutama langit-langitnya, dipenuhi oleh balon gas berwarna-warni. Aku mengambil balon yang terdekat denganku. Ada sebuah gulungan kertas yang terikat pada talinya.

Aku adalah laki-laki yang membuat pilihan paling bodoh. Lebih memilih untuk membiarkan mulutnya sendiri mengucapkan kata maaf, daripada mencegah mulutnya untuk menyakiti perasaan.

Aku adalah laki-laki yang bertindak paling bodoh. Semudah itu membuat orang yang dicintainya kecewa. Semudah itu meladeni emosi tanpa berpikir.

Kamu adalah bagian dari hidupku. Bagian yang telah melengkapi aku hingga kini. Namun, aku yang aneh ini dengan mudah membuat matamu menitihkan air mata begitu deras.

Maaf, maaf, maaf. Aku sungguh minta maaf. Mungkin sebanyak apapun balon permintaan maafku tak bisa menutupi sekeping kecil pun kesalahan yang aku buat dua hari lalu.

***

"Maaf, Ta. Maafin aku. Aku salah. Aku bener-bener salah. Aku gak mau nyakitin kamu lagi, Ta." Darrel muncul di depan pintu kamarku yang terbuka.

Aku menyeka singkat air di pelupuk mataku. Aku memegang kertas itu dengan tangan kanan, bergerak segera menuruni ranjang, melangkah menuju Darrel.

"Maaf... maafin aku. Please, Ta..." Darrel merangkum kedua tanganku.

Aku menatap matanya yang penuh dengan rasa bersalah.

"K... kamu emang salah... Tapi... aku yang akan lebih salah lagi kalo gak maafin kamu. Maafin aku juga, ya," ucapku.

Darrel memelukku erat. "Thanks for forgiving me... Maafin aku yang gak sempurna ini, nekat jadi pacanya Natalia Tanusaputra..."

"Kamu emang gak sempurna, Darrel Lijaya. Tapi aku yakin, kamu cukup untuk menyempurnakan aku."

Aku dan Darrel melepas pelukan.

"Kita baikan, ya..." Darrel memajukan jari kelingkingnya.

Aku memukul dada bidang Darrel dengan kedua tanganku.

"Aishhh, Ta! Kok, mukul, sih?!" protes Darrel sambil mengusap-usap dadanya.

"Iiihhh! Aku itu niatnya marah sama kamu seminggu tau!" ucapku kesal.

"Kan, udah aku bilang. Kalo marah sama pacar ganteng kamu yang satu ini, kamu gak bakal kuat lama. Percaya, deh, sama aku," ucap Darrel menyentuh singkat hidungku.

"Aku laper. Kamu udah sarapan?" tanyaku.

"Belum. Sarapan di depan, yuk. Ada Pak Somad. Aku traktir lumpia basah kesukaan kamu, deh," ucapnya.

Hari itu aku berbaikan dengan Darrel. Begitu mudahnya aku luluh karena sorot matanya. Niat marah seminggu pun jadi sirna.

"Ta..." panggil Darrel yang sedang menyumpit lumpianya.

"Hmm?"

"Besok kamu ada acara?" tanya Darrel.

"Emmm... ada," jawabku.

"Jam berapa?"

"Sekitar jam 7 sampe jam 12anlah. Kenapa, Rel?"

"Aku punya berita bagus."

"Apa?"

"Aku..."

"Iya?"

"Mau..."

"Heeh?"

"Dilantik jadi anggota palang merah!" ucap Darrel sungguh bersemangat.

"Dilantik jadi anggota palang merah? Serius?"

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang