DUAPULUHTUJUH - NAIPMI

111 7 2
                                    

Fio masuk sambil menggendong boneka bayi. Ia menggunakan kebaya. Aku menahan tertawa melihatnya susah berjalan dengan baju seribet itu. Ia berperan sebagai Fatmawati.

"Ada apa ini Kangmas?" tanya Fio pada Steffan.

"Nimas, pemuda-pemuda ini akan membawaku dan Hatta ke Rengasdengklok," ucap Steffan.

Aku akui Steffan dan Fio memang cocok memerankan Soekarno dan Fatmawati. Haha. Pasangan serasi.

Adegan selanjutnya yaitu penyusunan naskah proklamasi. Aku terkejut. Yang masuk dan berperan sebagai Ahmad Soebarjo itu... APA KALIAN BERCANDA?!

***

Darren, salah satu anak panti itu mengenakan jas. Ia sempat melihat ke arahku, namun ia sadar ia sedang memainkan drama.

"Kami... bangsa Indone-sia... emmmm... dengan ini menyatakan kemeldekaan Indonesya..." ucapnya. Ah, imutnya. Bisa-bisanya mereka menyuruh anak berumur lima tahun untuk memerankan Ahmad Soebardjo!

"Baik, sudah saya tulis," ucap Steffan.

"Lanjutannya, Bung. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," ucap Darrel.

Setelah itu, bagian yang paling aku tunggu-tunggu. Proklamasi. Semoga Steffan sebagai Soekarno bisa dengan lancar membacakan pidatonya.

"Saudara-saudara sekalian, saya telah meminta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah bangsa kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi..." Steffan terhenti. Ia sepertinya lupa kelanjutannya. Darrel, berbisik dari samping.

"O, iya! Eh," ucap Steffan menutup mulutnya. "...jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak ada henti-hentinya,..."

Steffan akhirnya dapat menyelesaikan pidatonya dengan lancar. Ia menutupnya dengan pernyataan proklamasi dan kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku turun dari ranjang dan ikut bernyanyi. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu untuk mengenang perjuangan bangsa ini sampai berhasil meraih kemerdekaannya.

Aku bertepuk tangan pada mereka bertujuh.

"Aaaaaaa, guys! Kalian kereeeeennn bangetttt!!!" ucapku. Kami bertujuh berpelukkan.

"Kak Lia, akting Delen bagus gak?" tanya Darrel padaku. Aku berlutut dan mengelus punca kepalanya.

"Kamu bagus banget! Kamu masih kecil aja bisa main drama! Kamu keren, Darren! Kak Lia suka banget. Makasih, ya!" ucapku padanya. Aku teringat sesuatu. "O, iya, Darren sekarang kamu tinggal di mana?" tanyaku padanya. Aku baru teringat soal anak-anak panti.

Cklek!

Pintu ruang rawatku terbuka. Seorang bapak berkacamata masuk.

"Eh, Om. Mau jemput Darren, ya?" tanya Steffan pada Bapak itu. Teman-teman yang lain sepertinya sudah mengenal bapak itu. Sementara, aku tak mengenalnya sama sekali.

"Iya. O, iya. Kamu yang namanya Natalia?" tanya bapak itu padaku.

"I, iya," ucapku masih bingung.

"Saya mau berterimakasih ke kamu. Berkat kamu, anak-anak panti bisa selamat. Sebenarnya, panti itu milik saya, tapi saya limpahkan ke pada adik saya. Saya juga tidak tahu kenapa dia bisa berbuat sejahat itu," ucapnya.

Darrel merangkulku yang masih kebingungan. "Ini Pak Agung, pengelola asli panti asuhan. Sekarang, anak-anak Panti Jelita udah aman sama dia dan timnya. Kamu gak usah khawatir lagi, Ta," ucapnya.

Nada Nadiku 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang